Iklan

Berilah Tanda "Koma" Pada Hidupmu "Jangan Titik" (Satu Bulan Di Kertosono dan Cinta Seorang Ibu)

Redaksi
Tuesday, 16 August 2022 | August 16, 2022 WIB Last Updated 2023-11-26T02:40:47Z

 

Berilah Tanda "Koma" Pada Hidupmu "Jangan Titik" (Satu Bulan Di Kertosono dan Cinta Seorang Ibu) 
Berilah Tanda "Koma" Pada Hidupmu "Jangan Titik" (Satu Bulan Di Kertosono dan Cinta Seorang Ibu)


Oleh: Fredrikus Jehaman


Inspirasi-Kuawali kisah ini dengan sebuah kutipan dari filsuf yang saya kagumi, Albert Camus, "Anda tidak dapat menciptakan pengalaman. Anda harus menghadapinya". Bagiku kata-kata filsuf eksistensialis perancis-aljazair ini adalah sebuah dogma. Mesti ada yang mau menggugat, saya membuka ruang baginya. Saya katakan dogma bukan dalam pengertian kebenaran absolut, tetapi lebih karena saya alami sendiri, pengalaman subjektif saya sendiri.


Betapa tidak, pada kedatanganku ke salah satu kecamatan kabupaten Nganjuk ini ada banyak pertanyaan yang berkeliaran di kepalaku. Terutama berkaitan dengan "kampung tengah". "Kondisi dompet"ku (waktu kedatangan awal sangatlah memperihatinkan. Robek sana-sini. Ketakutan tidak bisa mengisi perut, ya itulah yang pertama dan utama. Aku seperti berjalan di lorong gelap. Angan-anganku yang ada dalam benakku tak mampu mengimbangi ketakutan ku. Namanya manusia. Seribu satu kata kenyang tidak pernah mampu mengisi sedikitpun perut kita. Sekali lagi aku takut. Apalagi meminta aku malu, mengemis apalagi.


Baca Juga: Dialog antara Agama di Indonesia


Waktu berjalan sangat lambat. Hari-hariku dibayangi olehnya. Ditengah ketakutanku, kondisi dompet semakin memburuk. Lubangnya bukann hanya semakin besar tetapi semakin banyak. Aku tak punya apa-apa untuk menambahnya. Haruskah aku diam, atau meminta atau mengemis? Aku dilema. Bukan hal mudah melakukan kedua-duanya. Melakukan kedua-duanya bukan pilihan yang tepat.


Mungkinkah benar kata temanku, hidup adalah menunggu mati? Aku tidak tahu, tapi yang pasti aku takut mati. Aku belum mau, apalagi sekarang. Aku masih ingin menggores kisahku sendiri. Paling tidak biar setitik saja, itu sudah cukup. Aku tak minta lebih, syukur kalau satu koma.


Jika ditanya apakah yang mesti saya lakukan? Aku hanya ingin memberi koma pada hidupku, bukan sebuah titik. Koma adalah harapan atau paling tidak ada harapan yang tersembunyi di dalamnya. Artinya saat aku memberikan koma pada hidupku aku masih ingin melangkah, bukan berhenti.


Tetapi dilain pihak aku tidak bisa menciptakan, atau menggoreskannya. Aku hanya bisa menerimanya. Sekali lagi kata-kata Albert Camus ada Benarnya. Aku memang sempat bingung. Atau apalah. Yang pasti ada ketakutan.


Hari pertama di tempat kerja kulalui dengan baik, meski masih ada pikiran tentang cara menyembur kampung tengah. Dua hari berjalan seperti biasa. Hari berikutnya adalah awal dari kisah yang mendorongku untuk menggoreskannya dalam tulisan ini. Bukan maksudku mengucapkan terima kasih melalui tulisan ini. Tetapi baru kali ini aku menulis tentang kebaikan orang kepadaku.


Adalah seorang ibu yang sangat bijak. Sejak awal perjumpaan dengannya aku menemukan aura keibuan yang kuat dalam dirinya. Feeling ku benar. Esoknya dia membawakan makanan untukku hingga saat ini. Aku hanya bisa kagum denganya. Aku tahu ia memberikannya dengan tulus hati. Kebaikannya adalah nafas hidupku. Aku tidak bisa bayangkan bagaimana hidupku di tanah orang seandainya tidak pernah menjumpai orang seperti dia. Kalau tidak mati kelaparan, mungkin aku beralih profesi ke yang lain dan menghalalkanya. Mungkin hal yang buruk.


Kebaikan ibu itu juga mengubah cara pandanganku tentang harapan, yang aku sebut tanda koma. Intinya jangan pernah memberikan tanda titik pada hidupku. Kebaikannya selalu mendorong aku untuk senantiasa memberikan tanda koma dalam hidup ini, atau bahasa umumnya pasti ada jalan.



Hal lain yang saya dapat adalah saya mengamini kata-kata Albert Camus, kita tidak bisa menciptakan pengalaman, yang bisa kita lakukan adalah menerima dan menghadapinya. Aku sungguh mengalaminya. Saat kondisi dompet ku menipis, aku hampir memberi tanda titik (bingung). Aku tidak yakin aku bisa bertahan. Toh dunia ini keras, hidup adalah tentang, meminjam kata-kata Charles Darwin seleksi alam. Siapa yang kuat (jaman sekarang: punya ini, punya itu) bisa bertahan. Yang tidak memiliki akan musnah. Itulah teori Darwin.


Baca Juga: Meneladani Spirit Belas Kasih Maria


Aku sendiri tidak pernah membayangkan ada orang yang sebaik ibu itu. Tidak pernah. Apalagi jaman sekarang. Aku tidak pernah berpikir atau katakan berangan-angan akan ada yang menolongku. Tidak pernah. Sekali lagi benar kata Albert Camus, aku tidak bisa menciptakan pengalaman kebaikan sesorang, yang bisa kulakukan adalah membiarkan dan menerimanya. Dalam hal ini, kebaikan ibu itu bukan karena aku melakukan ini atau itu, melainkan murni karena rasa kemanusiaan yang mampu melewati siapa aku. Bagiku kebaikan ibu itu menegaskan bahwa yang paling penting adalah setiap orang mesti dicintai terlepas dari mana dan siapa dia.


Terima Kasih BU,


Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Berilah Tanda "Koma" Pada Hidupmu "Jangan Titik" (Satu Bulan Di Kertosono dan Cinta Seorang Ibu)

No comments:

Post a Comment

Trending Now

Iklan