
Oleh: Sary Dafrossa
InspirasiINDO.my.id.-Kamu tidak terlalu menarik untuk kupuja-puja mati-matian. Juga bukan orang kaya yang bisa kubanggakan di depan tetangga yang suka menghina seolah-olah mereka sempurna. Tapi entah kenapa, aku selalu senang bertanya padamu. Aku suka melihatmu menjelaskan topik mata kuliah yang sebenarnya sudah kupahami.
"Setelah melakukan pengkajian, langkah selanjutnya adalah menentukan diagnosa keperawatan dengan mengidentifikasi masalah utama dan mencari faktor penyebabnya," katamu sambil mencatat data hasil pengkajian di buku. Aku hanya tersenyum kecil sambil memperhatikan proses analisis diagnosa tersebut.
Waktu berjalan cepat, rasa kagum yang kusimpan perlahan berubah jadi suka. Tapi harapan itu pupus saat kudengar kamu dekat dengan teman seangkatan. Dari awal, aku yakin selera kamu cocok dengan gadis pintar yang jatuh cinta pada teori farmakologi. Aku? Ah, jangankan farmakologi, bahkan untuk membuat grafik tanda-tanda vital, saya lebih suka memakai aplikasi charting medis.
Kita beda kelas, jadi melupakan perasaan yang seharusnya tidak ada, jadi mudah. Pertemuan singkat beberapa jam seminggu seolah membantu aku melupakanmu.
Sampai saat acara Dies Natalis Fakultas, aku sengaja menghindari acara-acara di GUT Lantai 5 yang bisa bikin aku ketemu kamu. Kau tahu? Patah hati sebelum punya hubungan ternyata lebih sakit daripada luka di kaki.
Aku menjalani tahun-tahun berikutnya dengan mudah, mengalami banyak kisah cinta, dan aku tidak lagi menganggap kamu sebagai orang yang aku kagumi secara diam-diam. Bagiku, kamu hanyalah sebuah cerita yang harus aku akhiri, meskipun sebenarnya cerita itu belum pernah benar-benar dimulai
Memang benar, seperti kata pepatah, "Sejauh apa pun kamu mencoba menghindar, jika memang takdirmu untuk bertemu dengannya, maka kalian tetap akan bertemu."
Sekali lagi, alam semesta mengundangku bermain dengan cara mempertemukan kita kembali. Tiba-tiba kamu mengirimkan pesan singkat. Sesaat aku lupa siapa kamu, tapi hatiku membalas dengan cara yang berbeda, seolah memberi tanda bahwa pemiliknya sudah datang.
Berangsur-angsur, aku mulai mengingatmu kembali. Awalnya hanya dari pesan singkat, namun perlahan hal itu membuat kita menjadi lebih dekat. Aku merasa senang mengetahui bahwa kedekatan kita kini melebihi sebelumnya. Rasanya seperti bermain di dalam sebuah labirin, di mana aku terperangkap dalam kenyamanan yang diberi label sebagai teman.
“Sedang apa?”
Kamu terus mengulangi pertanyaan itu berulang-ulang padahal kita sudah tidak punya topik untuk dibahas lagi.
“Memikirkanmu, apalagi?” Jawabku itu akan kau sambut dengan tawa yang hangat. Kini aku tak lagi ragu membuka tabir perasaanku padamu, karena pernah terdengar bisikan bijak yang berkata “Lebih baik terbang mencoba meski jatuh, daripada tak pernah melangkah lalu sisa penyesalan dalam diam”.
Kamu sering menceritakan tentang segala sesuatu yang terjadi di harimu, mulai dari keluh kesah sampai kebahagiaan saat semuanya berjalan mulus. Kamu juga tidak lagi ragu menelpon aku berjam-jam, meski kita hanya saling diam, lalu akhirnya tertawa bareng tanpa alasan.
Kebahagiaan yang kurasakan begitu meluap hingga aku lupa bahwa di balik setiap kegembiraan terselip duka yang memanggil. Seusai seminar buku di rumah baca aksra tiba-tiba kamu mengungkapkan keinginan untuk bertemu. Dengan penuh nyaman, aku segera menuruni anak tangga satu per satu, karena aku tidak ingin membuatmu menunggu lebih lama, layaknya seorang perawat yang sigap merespons panggilan darurat.
Di sana, di depan ruang baca aku melihat seorang lelaki jangkung dengan kemeja
gelap tengah mengutak-atik ponsel pintarnya. Aku tersenyum.
“Hai, sudah lama nunggu?” sapaku.
“Lumayan, masuk dulu !” ajakmu, dan aku hanya mengangguk dan mengikutimu memasuki
ruang baca yang sangat jarang aku kunjungi.
Aku terus mengalirkan kata-kata saat kita duduk berdampingan di bangku rumah baca tersebut. Tak ada niat untuk meraih satu pun buku dari rak-rak yang tersusun rapi, karena dinginnya, menatap dirimu jauh lebih memikat daripada isi halaman-halaman yang membisu. Namun, di hadapanku, kamu tetap terperangkap dalam layar ponsel pintarmu, yang terus-menerus berbunyi membawa nada pesan tanpa henti. Sekali-sekali suaramu memecah keheningan dengan jawaban singkat yang dingin. Sementara buku yang seharusnya menjadi perhatian kita tetap tertutup, aku semakin merasa jenuh dengan sikapmu yang menolak terhubung, membiarkan aku tenggelam dalam kesendirian di tengah keramaian itu.
“Chatting sama siapa?” tanyaku setelah sekian lama.
“Bukan hal yang penting” Kamu menjawab sambil meletakkan ponsel di meja ruang baca. Aku tetap diam dan membiarkanmu terus memeriksa ponsel yang berdering berulang kali.
Aku benar-benar dilanda kejenuhan, lalu mengembara dengan pandangan menyusuri setiap sudut ruang baca, berharap bisa menangkap pemandangan yang lebih memesona. Tatapanku akhirnya terhenti pada sosok lelaki yang tenggelam dalam lautan kata, membaca dengan begitu serius seolah takut terlewati satu huruf pun. Sungguh pemandangan yang manis.
“Tampan, bukan?”
“Ya. Sangat tampan,” jawabku asal. Semua laki-laki tampan, bukan? Tak ada
laki-laki cantik kecuali artis-artis yang senang melakukan operasi plastik.
“Apa kamu suka?” tanyamu. Aku tersenyum dalam hati. Betapa aku ingin berteriak di telingamu bahwa dirimu jauh lebih memikat daripada pemandangan apapun di sekitarku.
“Tidak,” sahutku lagi sebelum keheningan kembali menyelimuti.
“Mari keluar. Aku sudah bosan di sini,” Kataku yang akhirnya kamu balas dengan anggukan penuh keyakinan. Setelah itu, kita berdua meninggalkan tempat yang sunyi itu.
***
Sore kian merunduk di ufuk barat saat kita memutuskan berhenti di sebuah bukit kecil, di mana sungai deras mengalir dengan gemuruh di bawahnya. Angin lembut berbisik melalui pepohonan, membawa kesejukan yang menenangkan jiwa, meskipun aku tetap merasakan takut yang membelit karena ketinggian.
“Dulu, tempat ini pernah hijau dan subur, tapi mungkin musim panas yang tak berujung telah mengubahnya menjadi gersang,” kataku, memecahkan keheningan yang mencekam. Kamu hanya membalas dengan senyum misterius, membuatku bertanya-tanya apa rahasia dalam otak jeniusmu saat itu.
Kita berbicara panjang lebar di tempat itu, bermenantikan pengalaman-pengalaman yang pernah kita jalani dan membahas segala yang kita saksikan. Tak lupa, kita tertawa bersama melihat orang-orang yang berlalu-lalang.
“Ada yang ingin kubicarakan.”
“Sedari tadi kita berbicara.”
“Aku serius” Aku menemukan seseorang yang mampu menenangkan hatiku, dan saat ini aku sedang menapak jalan cinta bersamanya.
Senyumku memudar, dada terasa sesak, aku bingung harus menjawab apa. Setelah beberapa saat keheningan, aku pun tersenyum pahit, berusaha menahan air mata yang seolah hendak mengalir bagai anak sungai di wajahku.
“Sudah lama?”
“Ya. Hubungan kita jarak jauh. Aku mengenalnya di suatu grup. Aku menyayanginya.”
Kamu bercerita dengan mata yang berkilau bagai bintang, tanpa sadar aku diam-diam merasakan luka yang tajam menusuk di dalam hati.
“Semoga langgeng, kalau begitu.”
“Terima kasih.”
“Ayo pulang, sudah sangat sore.”
Saat itu, aku ingin segera pulang ke rumah dan meredakan kesedihan dengan air mata. Langit yang tadinya cerah perlahan berubah menjadi redup, namun aku tahu itu hanyalah jeda sebelum cahaya senja kembali merekah. Meski semesta seolah menguji, aku tetap percaya senjaku akan segera bersinar penuh harapan.
“Kenapa diam saja?” tanyamu di tengah perjalanan pulang.
“Aku hanya lelah,” jawabku.
Tanpa diduga, kamu menepi di pinggir jalan. Aku yang sedang tenggelam dalam lamunanku terhentak kaget saat tatapanmu tiba-tiba menyambutku, membuat jantungku berdegup lebih cepat dan rasa cemas melingkupi rongga dadaku.
“Kenapa murung?” tanyamu.
“Aku hanya lelah. Ayo jalan lagi.”
“Sebentar, apa aku berbuat salah?”
Bukan kamu yang salah, melainkan aku yang tersesat dalam menyimpan hati. Terngiang dalam jiwa sebuah petikan dari film yang pernah kutonton tahun lalu, bahwa Tuhan terkadang mematahkan hati yang terluka karena memilih tempat yang tak seharusnya..
“Kenapa melamun? Apa benar aku berbuat salah?”
“Tidak. Aku hanya lelah,” kataku sekali lagi.
“Kamu berbohong. Katakan saja apa yang terjadi.”
“Yang terjadi adalah aku menyukaimu di waktu yang salah.”
Kamu terdiam sejenak, menarik napas panjang, lalu dengan lembut mengatakan, 'Namun, ada hati yang harus kujaga.'"
“Aku hanya mengatakannya seperti yang kamu minta. Aku tidak berniat meminta
hatimu.”
“Tapi….”
“Sudahlah.
Ayo kita pulang.”
“Lalu setelah sampai rumah, apa kamu akan menangis?”
Pertanyaan bodoh macam apa itu? Perempuan mana yang tak menangis jika patah hati? Ini
bahkan lebih dari sekadar patah hati. Ternyata ada yang lebih menyakitkan daripada
berakhir, yaitu kehilangan sebelum memiliki.
Kamu kembali melajukan motormu. Sesekali memperhatikanku melalui kaca spion dan tentu
saja aku menghindar dari tatapan mautmu itu.
“Jangan menangis. Aku tak bisa melihatmu menangis,” ucapmu di tengah ke heningan.
Aku hanya diam tak menanggapi.
Setelah sampai di rumah, kamu tak lantas pergi. Kamu masih menatapku menahan air mata
yang mungkin sebentar lagi akan tumpah.
“Semoga kamu menemukan orang yang lebih baik daripada aku.”
Aku hanya mengangguk. Rasanya aku tak kuat untuk sekadar menjawab kalimat
menyakitkan itu.
"Terima kasih atas kebersamaannya, aku pamit dulu”.
“Hati-hati di jalan”
ucapku berbalik. Saat kau hidupkan kembali motormu dan melaju pergi, aku tetap berdiri di tempat yang sama, menyaksikan kepergianmu dengan tetesan air mata yang membasahi jiwa. Hujan pun turun, bagai pelindung yang setia, menutupi setiap luka yang tergores di hatiku.
No comments:
Post a Comment