Oleh : Afri Ampur
Mahasiswa STFT Malang
InspirasiINDO.Com- Aku menatap langit-langit kamarku. Air mata membasahi pipiku. Aku masih tidak percaya dengan isi pesan dari adik perempuanku. “Selamat sore KK Pater, KK Sula yang rumahnya di persimpangan jalan meninggal dunia tadi pagi. Kemarin dia masuk RS Ruteng karena dipukuli suaminya” demikian isi pesan itu. Jujur, aku seperti orang yang disambar petir di siang bolong. Sedih dan marah campur aduk dalam diriku. Aku bingung mau marah kepada siapa. Oh iya, aku memarahi budaya dan mentalitas masyarakat di kampungku. Mereka telah merenggut kebebasan memilih dari anak muda di kampungku. Mereka masih melihat harta dan keturunan raja sebagai segala-galanya. Memori-ku menampilkan slide-slide beberapa tahun yang lalu.
Baca: Pembina PIA dan PIR Berdiskusi: Implementasi Program “Paroki Mengajar”
Sebelum ayam berkokok ibu dan ayahku mengantar aku di persimpangan jalan. Aku harus meninggalkan kampung supaya tidak menyaksikan pernikahan gadis pujaan hatiku dengan laki-laki perjodohan orang tuanya. Ibuku membasahi bahuku dengan air matanya. “nana kami minta maaf, karena kamu memiliki orang tua yang miskin seperti kami, sehingga lamaran-mu kemarin ditolak” kata ibuku sambil mengusap air matanya. Ayahku menatap aku dengan mendalam. Tatapan-nya memiliki banyak makna. “Bapa dan mama tidak perlu minta maaf, lahir dalam keluarga miskin bukanlah salah bapa mama maupun saya, tetapi kalau saya mati dalam keadaan miskin dan bodoh itu adalah kesalahan saya” jawabku dengan tegas untuk menguatkan orang tuaku. Perpisahan ini disaksikan oleh ayam jago dari atas pohon kopi. Dia pun berkokok untuk mengiringi kepergianku.
Sepanjang perjalanan, aku teringat perkataan dari orang tua gadis itu, ketika kami bertandang ke rumahnya. Kalimat mereka masih mengaung-ngaung di telingaku. “ Kalian seharusnya tahu diri ya, kalian itu berasal dari keturunan babu, sangat tidak pantas bersanding dengan putri kami. Kalian juga tidak punya apa-apa. Kalian sangat berani melamar anak kami” kata ayah gadis itu dengan nada tinggi. “anak kami akan menikah dengan anak kraeng Kani. Mereka berasal dari keturunan kraeng . Mereka juga memiliki banyak kerbau. Esok mereka akan masuk minta” kata ibu gadis itu sambil mengunyah daun siri. Kalimat mereka seperti singa yang mengaum-ngaum mencari mangsanya. Kalimat mereka juga membuat aku melangkah lebih cepat untuk meninggalkan kampung halamanku. Kota Malang merupakan tujuanku. Aku pantang pulang sebelum namaku semakin panjang. Mada Pujian dari kapela menyadarkan aku dari lamunan masa laluku. Aku bergegas mengambil jubah yang merupakan cincin pertunanganku dengan Kristus dan gabung dengan kaum berjubah lainnya.
Aku menatap batu nisan yang ada di hadapanku. Aku seperti mimpi membaca nama yang tertera dalam batu nisan itu. Perempuan yang menjadi pemeran utama dalam khyalanku beberapa tahun yang lalu, kini tinggal kenangan. Dia meregang nyawa di tangan laki-laki yang dijodohkan oleh orang tuanya. Aku teringat saat dia berlutut di hadapan ayahnya dan memohon agar dia menikah denganku. Dia juga berlutut di hadapan orang tuaku, agar memaafkan perkataan kedua orang tuanya. Keluarganya sudah dibutakan oleh harta benda. “ om patel?” panggil seorang bocah perempuan kecil yang menggemeskan dari belakangku. Ada muka perempuan yang namanya tertera pada batu nisan pada anak itu. “kk Pater, ini anak dari KK sula” kata adik perempuanku. Aku langsung memeluk anak itu sambil menahan air mataku yang hampir keluar. “ waktu sd, om Patel teman kelas mama saya k?” tanya anak itu dengan suara cadelnya. “iya sayang, mamamu saingan pater dalam merebut peringkat satu di kelas” kataku sambil mengecup kening anak itu.
Baca: Silence Night di Beranda Kapela Santa Maria Parakan
Aku berjalan-jalan menyusuri pematang sawah. Hari ini aku akan memimpin perayaan Ekaristi di kampung kelahiranku. “Bukan perempuan cantik dan seksi yang membuat aku berpaling dari janji imamat-ku. Melainkan perempuan yang mengalami penderitaan dalam rumah tangganya karena hasil perjodohan dan disiksa oleh suaminya. Hatiku sangat miris melihat kejadian demikian dan berpikir untuk meninggalkan imamat-ku dan merangkul-nya dengan penuh cinta. Kalau bapak ibu mendukung aku untuk tetap jadi imam, tolong hentikan perjodohan yang kerap kali terjadi di kampung ini ” kataku dengan tegas. Aku tidak sadar air mataku membasahi Kitab Suci yang ada di mimbar. “perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki. Kenapa perempuan tidak diciptakan dari tulang kaki laki-laki? Karena derajat perempuan tidak lebih rendah dari laki-laki dan perempuan diciptakan bukan untuk ditendang. Kenapa perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki? Karena perempuan itu sejajar dengan laki-laki, perempuan itu harus dirangkul atau di sayang” kataku dengan berapi-api.
Setelah perayaan Ekaristi selesai, aku bertamu ke rumah orang tua dari gadis yang menjadi saingan-ku merebut peringkat satu. “Kraeng tu’a, aku akan bawa putrinya Sula ke Malang. Aku akan menyekolahkan dia. Setelah otaknya diisi dengan ilmu, aku akan kembalikan dia ke kamu. Setelah itu, kraeng tu’a boleh menjual dia ke laki-laki yang berasal dari keturunan kraeng dan memiliki banyak kerbau. Aku yakin, harga belisnya nanti sangat mahal melebihi ibunya” kataku dengan nada sindir.
No comments:
Post a Comment