Oleh : Michelle Evelyn Lie
Siswi SMP Katolik Maria Fatima Jember
InspirasiINDO.my.id-Belakangan ini trend menyeruhkan untuk selalu berpikir positif semakin booming. Trend “berpikir positif ini” sangat diminati oleh generasi Z. Hal ini disebabkan oleh karena lahirnya persoalan toxic relationship yang sering terjadi dalam dunia pertemanan gen Z.
Toxic Relationship merupakan jenis hubungan yang dapat memberikan pengaruh dan dampak negatif terhadap seseorang yang ada dalam hubungan pertemanan. Toxic Relationship biasanya terjadi karena adanya sikap egois dan kurangnya rasa empati dalam suatu hubungan pertemanan.
Berangkat dari adanya toxic relationship, munculah seruan untuk berpikir positif. Banyak para penasehat dan para pakar yang selalu menyeruhkan untuk selalu berpikir positif. Berpikir positif akan membuat hidup lebih bermakna; singkatnya demikian. Akan tetapi “berpikir positif” disalah mengertikan sehingga kehilangan makna.
Berpikir positif bukan lagi obat yang membantu seseorang untuk memperoleh kebijaksanaan dan kebajikan tetapi menjerumuskannya kedalam apa yang disebut oleh penulis “memendam rasa”. Memendam rasa yang dimaksud adalah seseorang terutama Gen Z selalu memendam apa yang dirasakan, tidak mengatakan isi hati yang sebenarnya dan dihibur dengan kata “berpikir positif sajalah”. Lagi-lagi berpikir positif kehilangan makna.
Kesalahpahaman di atas timbullah persoalan baru yaitu toxic positivity. Toxic positivity adalah situasi dimana seseorang memaksakan dan menuntut dirinya sendiri atau orang lain untuk selalu berpikir dan bersikap positif dalam keadaan apapun itu, bahkan sampai menolak emosi negatif (Adrian K : 2021). Jadi, secara sederhana toxic positivity adalah sebuah keyakinan dimana kita harus selalu positive thinking dalam keadaan apapun bahkan ketika kita sedang tidak baik-baik saja.
Berpikir positif atau positiv thingking tidak selalu membawa kita pada suatu perkembangan tetapi justru terkadang menghambat perkembangan diri. Mereka yang selalu menerapkan positive thinking dalam berusaha mencapai tujuannya sering kali membuahkan hasil yang lebih buruk dibandingkan dengan mereka yang tidak menerapkan positive thinking. Terkadang, positive thinking menipu pikiran kita, beranggapan seolah-olah kita sudah mencapai apa yang kita inginkan, sehingga melemahkan kegigihan kita dalam berusaha mencapainya. Berpikir positif juga bisa menanamkan pikiran”lihat saja ke sisi positifnya” saat diri kita mengalami keadaan yang buruk. Sehingga sikap positif tersebut alih-alih berdampak baik malah menjadi merugikan seseorang.
Positive thinking justru dapat menyebabkan sebagian orang merasa sakit hati, depresi dan stres saat mereka gagal, karena secara implisit menyalahkan diri mereka sendiri jika mereka tidak mendapatkan apa yang mereka inginkan dan tidak merasa bahagia.
Positive thinking yang berlebihan pada akhirnya hanya akan menjadi racun dalam diri kita. Niatnya memang baik untuk memberikan semangat kepada kita supaya tidak sedih terus-menerus, tetapi ketika sikap positif itu sudah berada di tahap toxic, itu akan menyulitkan atau bahkan memperburuk keadaan kita. Misalnya, ketika kamu sedang merasa sedih dan terpuruk karena kamu bekerja di suatu perusahaan yang sangat membawa dampak buruk dan membuatmu tidak nyaman.
Biasanya banyak orang yang akan mengatakan “Jangan sedih, kamu harus bersyukur, banyak temanmu diluar sana yang tidak mendapatkan pekerjaan”. Niatnya ingin memberi motivasi, tapi semakin lama kamu bekerja, kamu akan merasa sangat terpuruk di lingkungan kerja karena itu sangat berdampak buruk bagi kesehatan mentalmu. Contoh kedua, saat kamu berada di lingkungan pertemanan yang tidak baik. Mungkin kamu akan berpikir “Ah gapapa, daripada nanti aku ga punya teman”.
Namun, ketika kamu melanjutkan pertemanan tersebut, kamu akan terus-menerus merasa depresi dan tidak nyaman sehingga bisa menyebabkan masalah kesehatan mental. Dengan contoh-contoh yang telah dipaparkan, kamu mungkin tidak akan bisa meluapkan emosi negatif yang ada dalam diri kamu karena terus-menerus memikirkan hal yang positif. Pada akhirnya, kamu mungkin tidak akan bisa mengontrol lagi emosi negatif yang ada di dalam diri kamu dan pastinya akan meledak di suatu hari nanti.
Mengatasi persoalan yang telah dibahas di atas, maka hal yang perlu dilakukan adalah dengan menerapkan mental contrasting. Mental contrasting adalah menggabungkan positive thinking (membayangkan hasil yang diharapkan telah tercapai) dengan memikirkan hambatan-hambatan atau permasalahan apa saja yang akan ditemui dalam perjalanan mencapai tujuan tersebut. Mental contrasting ini akan membantu mencapai tujuan yang lebih baik dibandingkan dengan mereka yang hanya membayangkan hal positif saja atau mereka yang hanya membayangkan hal negatif saja.
Selain itu, kita juga harus bersikap realistis. Bersikap realistis adalah suatu sikap yang menerima diri apa adanya dan selalu berusaha untuk mengubah diri menjadi lebih baik daripada sebelumnya. Kita juga harus bisa menerima dan mengelola emosi negatif yang dirasakan dalam diri kita. Jadi, jangan takut untuk meluapkan emosi negatif kalian ya.
Penulis Merupakan Siswi SMP Katolik Maria Fatima Jember
No comments:
Post a Comment