Kepada siapa lagi aku bercerita? Engkau telah memutuskan untuk pergi, --walaupun pilihan belum kau jatuhkan, tetapi semalam kau bersaksi bahwa kau tak lagi senyaman saat kita jumpa. Aku sendirian, bukan? Dan kaubiarkan aku berada dalam kecemasan beralasan. Ah, kepada siapa lagi aku bercerita kalau bukan kepadamu? Bukankah kita telah sepakat bahwa di kota yang membuat aku menjadi orang asing ini –tanpa ayah, ibu, saudara-saudari—kaulah yang akan mendengarkanku?
InspirasiINDO.Com. Langit Yogyakarta masih berparas sama. Cerah bagai wajah Aphrodite, Sang Dewi Kecantikan milik orang-orang Yunani, dan memesona seperti rembulan pada malam. Awan-awannya enggan bergelantungan. Semuanya sepakat untuk memperlihatkan potongan langit kota nan damai ini secara terang benderang, polos tanpa cacat sedikitpun.
Di kolong langit berpadukan keindahan itu, aku bertutur pada berlembar-lembar surat, tentang hati yang pelan-pelan patah karenamu. Berhadapan dengan ketidaknyamanan yang kauakui tanpa basa-basi, aku tak bisa apa-apa.
Aku bukan siapa-siapa sehingga mampu membuatmu takluk. Aku hanya manusia biasa yang mencoba mencintaim dengan segudang ketulusan. Aku juga tak punya apa-apa. Aku hanya editor mula, belum tahu banyak, yang mencari keberuntungan di salah satu penerbit ternama di negeri ini. Atas semua itu, tak ada hal lain yang dapat kulakukan.
Aku akan merelakanmu jika kau benar-benar ingin pergi. Kurelakan kau bukan karena aku tak lagi mencintaimu. Tapi, aku tak mau kalau kau merasa terpenjara ketika tetap bersamaku.
Aku tak mau ketidaknyamanan mematikan hasratmu atau memberhentikan pencarian hatimu akan seorang pendamping hidup yang kepadanya kau layak menyandarkan kepalamu. Hanya saja, sebelum kau benar-benar pergi, izinkan aku sedikit berbagi kisah pada semesta. Tentang kau yang meluluhkan hati yang terlanjur muak pada janji. Tentang kau yang menawan diri ini. Dan tentang rindu yang menggelora tiap kali aku mengingat namamu!
….
Sebulan lalu, ketika sedang asyik berselancar dengan smarphone milikku, aku tak sengaja menemukan fotomu. Seketika aku terkesima. Terpikat pada bola matamu yang menawarkan keteduhan. Terserap oleh rambut panjangmu yang terurai.
….
Sebulan lalu, ketika sedang asyik berselancar dengan smarphone milikku, aku tak sengaja menemukan fotomu. Seketika aku terkesima. Terpikat pada bola matamu yang menawarkan keteduhan. Terserap oleh rambut panjangmu yang terurai.
Sungguh, tanpa sadar benih-benih ingin bercakap-cakap denganmu tumbuh-kembang tak terbendung. Aku segera mengirimmu pesan singkat dan berharap ada jawaban darimu. Entah mengapa, kau kabulkan saja angan diri ini.
Jawaban singkatmu membuatku girang bukan main. Dan, selepas itu kita bertukar pesan, lalu tanpa sadar jatuh dalam kenikmatan cinta yang luar biasa. Secepat itu: komunikasi, nyambung, nyaman, jatuh cintai, dan akhirnya kita saling memacari. Saat itu, kau tak sedikitpun ragu meski aku menanyaimu berkali-kali. Kau tetap dengan keputusanmu: menerima aku memacarimu, dengan segala kenyataan tentang aku dan kita!
Waktu berlalu. Tiga minggu setelah aku berlabuh di Kota yang kautempati, semuanya terasa runyam. Ini bukan tentang aku yang terjebak pada kubangan rindu atau aku yang menyesuaikan diri dengan warga kota yang sedikitnya was-was dengan kehadiranku sebagai yang berbeda identitas dengan mereka.
Tapi, tentang kau yang tiba-tiba mengambil jarak dan mendadak tak semesra sebelumnya. Awalnya aku tak keberatan. Aku malah memujamu. Sangkaku, kau bukannya tak merindu tetapi hanya tak hendak mengganggu kesibukanku. Nyatanya, perasaanmu telah berubah. Kau telah was-was dengan kita yang tak sama.
Kita yang berbeda. Kita yang berjarak. Kita, kira-kira ini yang kupahami dari omonganmu semalam, yang tak mungkin bersama!
Aku tak tahu harus berkata apa. Aku sadar bahwa memaksamu untuk tetap bersamaku adalah jalan terjal yang tak mungkin diambil. Aku tak mau kalau kebebasanmu untuk menemukan kenyaman pada hati yang lain kurenggut. Aku tak mau kalau kau pura-pura mencintaiku. Pergilah bila kau merasa itu yang terbaik. Dan, untukmu selalu kusediakan jalan pulang, bila aku masih ada dalam kepingan kisah yang belum tuntas kita selesaikan.
…
Dalam nuansa kecewa, kupandangi langit Yogyakarta yang meneguhkan. Mungkin, dengannya semua kegaduhan dalam hati ini lenyap. Akankah kecewa ini akan menjadi awal untuk hati yang remuk?
…
Sejatinya, aku tak berkeinginan jikalau kisah ini berhenti. Tapi, bila kau tak lagi mencintai aku dalam ketidaknyaman yang ada di antara kita, dengan berat hati kubiarka kau pergi. Hanya saja, semoga kelak kau bersandar pada hati yang tepat: seorang pria yang mengalpakan ketidaknyamanan dari penggalan hidupmu.
No comments:
Post a Comment