Iklan

Surga : Di kaki Ayah Juga (Cerpen: Afri Ampur)

Wednesday, 4 October 2023 | October 04, 2023 WIB Last Updated 2023-11-09T15:39:38Z

 

Surga : Di kaki Ayah Juga (Cerpen: Afri Ampur)

Oleh : Afri Ampur

Mahasiswa STFT

InspirasiINDO.Com. Malam semakin larut semakin sunyi. Malam ini hanya diwarnai paduan suara jangkrik dan kodok. Jarum jam yang ada di layar hp-ku mencium angkat 12. Tetapi mataku masih enggan untuk mengatup. Aku masih membayangkan peristiwa tadi sore.

Air mataku tidak bisa dibendung ketika membayangkan jeritan ayahku setelah motor kami bertabrakan dengan motor yang lain. Ayahku mengerang kesakitan. Darah segar mengalir dari kepala, lutut dan kakinya. Aku menjerit pada dunia dan berteriak pada langit.

“kenapa ini harus terjadi pada keluargaku?”

Langit diam membisu dan hanya memamerkan bulannya yang dihiasi bintang-bintang. Aku terjaga sepanjang malang dan berusaha meyakinkan diriku bahwa semuanya akan baik-baik saja. Tetapi aku tidak bisa mengontrol pikiran-ku. Pikiran menjadi teman terbaik sekaligus musuh terburuk-ku. Benar apa yang dikatakan Budisme, pikiran adalah majikan, keadaan adalah budak. Aku tergelincir ke pemikiran masa lalu dan mengkhawatirkan masa depan.

Aku melihat laki-laki tua itu terbaring lemah di atas tempat tidur. “ohoooo, ohooo, ohooo” batuk laki-laki tua itu membangunkan aku dari lamunan tentang kejadian tadi sore.

Kraeng tu’a minum air” kataku sambil menyodorkan segelas air kepadanya. “kenapa kamu belum tidur? Kamu jangan terlalu memikirkan keadaanku”, kata ayahku sambil merintih kesakitan. “aku susah tidur kraeng tu’a, karena terlalu banyak minum kopi” kataku berbohong.

Laki-laki tua itu kembali pulas. Aku kembali sibuk dengan pikiran-ku. Aku teringat akan curhat sahabat-ku beberapa bulan yang lalu di sebuah taman dekat kampus. Kami bersahabat dari seminari menengah dan sudah saling mengenal. Dia baru menanggalkan jubahnya tahun lalu. Dia sahabat terdekat-ku.

Kala itu, dia memulai curhatnya dengan menggambarkan figur ayah. “Meskipun ayah kita bukan orang terpandang di kampung, tetapi keluarga kita akan disegani kalau ada sosok ayah. Ayah adalah tameng keluarga” kata sahabatku sambil membendung air matanya. kala itu, aku menanti kalimat selanjutnya.

Ayah adalah garda paling depan, tatkala anggota keluarganya dalam masalah. Sayang sosok itu, telah pergi dari kehidupan-ku” kata sahabat-ku sambil mengisap rokok batangan yang dia beli dari warung seberang jalan. Iya, ayah dari temanku sudah dipanggil Tuhan, ketika kami masih di seminari menengah. Aku bangun dari tempat tidurku. Aku memegang hidung ayah-ku untuk memastikan dia masih hidup. Puji Tuhan, tameng-ku masih bernapas.

Nana tolong datang ke sini, bapakmu mengerang kesakitan” kata ibuku dengan nada cemas.

Jujur, mendengar kalimat itu aku seperti disambar petir di siang bolong. Cerita sahabat-ku beberapa bulan lalu menghantui-ku. Aku menyalahkan diri-ku yang belum bisa membalas jasa orang tua-ku walaupun hanya secuil.

“seandainya dulu, perkuliahan-ku tidak meloncat sana-sini seperti anak kambing, pasti kuliah-ku sudah selesai dan sudah bekerja. Tidak heran kalau kaka perempuan-ku memanggil aku mahasiswa kakek-kakek” kataku dalam hati.

Aku terus menyalahkan diri-ku. Sikap-ku memakan banyak korban. Aku meninggalkan orang-orang yang aku cintai. Padahal mereka sangat membutuhkan sosok-ku. Aku berusaha untuk keliahatan tenang, meskipun sedang berperang dengan pikiran sendiri. Aku berteriak pada Tuhan, tapi aku juga bertanya apakah aku percaya? Aku tidak tahu apa yang bisa aku lakukan.

kraeng tu’a bangun, kita minum kopi dulu. Saya ada bawa kue” kataku sambil membantu ayah-ku duduk. Aku menyisihkan uang untuk beli bensin agar bisa membeli sesuatu untuk ayah-ku. Aku akan menceritakan kepada anak-ku nanti, bahwa aku pernah berada di situasi yang sangat sulit ini.

Ayah-ku menceritakan banyak hal kepada-ku. Kami juga bercanda-gurau seperti sahabat. “ hari ini, Bapakmu kelihatan seperti orang sehat. Dia merasa kesepian karena ditinggal oleh kalian” kata ibuku. Iya, ayah dan ibu-ku tinggal berdua di gubuk ini. Mereka lebih nyaman tinggal di sini dari pada di rumah.

Aku menyusuri pematang sawah sambil menenteng speaker kecil. Sawah adalah Satu-satunya tempat yang bisa membuat-ku merasa memiliki tubuh dan pikiran-ku sendiri. Di sini, Padi, kodok, lumut dan percikan air tidak menuntut apa pun dari-ku.

Aku kembali ke pondok untuk mencuci luka ayah-ku. Iya, ini rutinitas-ku beberapa hari belakangan ini. Sebelum masuk ke pondok, aku megirim pesan kepada sahabatku “ Broo, Surga juga ada di telapak kaki ayah” . “hehehehe, betull broo. Ingat badai pasti berlalu” balas sahabat-ku dari Pulau Dewata.

NB : Penulis membuat cerpen ini di atas kapal Rucitra VIII, ditemani segelas kopi Manggarai yang dititip oleh Mama Yus dari Ketang.

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Surga : Di kaki Ayah Juga (Cerpen: Afri Ampur)

No comments:

Post a Comment

Trending Now

Iklan