Iklan

Menjelang Pemilu: Resah, Takut, Semoga Tidak!

Thursday, 8 February 2024 | February 08, 2024 WIB Last Updated 2024-09-03T05:55:57Z
Sebagai warga negara yang baik dan generasi muda yang kerap ditempatkan sebagai generasi penerus, saya terus memikirkan nasib bangsa Indonesia, terutama di hari-hari terakhir menjelang Pemilihan Presiden, 14 Februari 2024, mendatang.

Meskipun bukan politikus atau tidak berafiliasi dengan partai politik mana pun, saya tetap memiliki tanggun jawab moral terahadap keselamatan bangsa tercinta ini. Ibaratnya saya adalah salah satu anak buah perahu yang terus merawat agar layar perahu ‘Indonesia’ tetap awet dan tak tersobek angin.

Saya terus memperhatikan layar itu dengan detail agar tetap mampu membawa perahu yang luar biasa besar ini berlayar menuju kejayaan. Di tengah hangatnya diskursus tentang pemilihan umum dan adu gagasan tentang siapa yang layak menjadi nahkoda Indonesia tercinta, saya tidak membebankan tanggung jawab moral saya sebagai anak bangsa hanya kepada kawan-kawan mahasiswa, para akademisi, pengamat politik, dan siapa pun yang senantiasa menyerukan agar pemilu kali ini sungguh-sungguh langsung, umum, bebas, jujur, dan adil (Luberjurdil) serta demokrasi tetap kokoh berdiri; saya juga bertanggung jawab, meskipun dengan tindakan sederhana seperti menghormati pilihan politik orang lain, mengajak orang lain untuk mencoblos, dan lain sebagainya.

Selain itu, bentuk lain dari tanggung jawab moral saya terhadap bangsa ini ialah saya resah! Saya resah karena ada pencalonan tokoh tertentu yang dinilai melabrak hukum, ada tokoh-tokoh yang memegang jabatan penting di instansi sentral pemerintah bertindak ‘kotor’ dengan melanggar etika profesinya, dan ada pejabat public yang tidak netral dengan dalil kebebasan berpendapat dan hak politik.

Saya resah karena orang-orang ini menjadi sumber perpecahan, dan mengusik rakyat akar rumput yang tidak tahu apa-apa! Selain resah karena tingkah orang-orang ini, saya juga resah karena satu pertanyaan pokok yang perlu direfleksikan secara mendalam dan kemudian diantisipasi: apa yang terjadi pada masa pasca pemilu, terutama jika Paslon Prabowo-Gibran (02) memenangkan pemilu, entah satu putaran atau dua putaran?

Pertanyaan di atas mungkin dianggap sepele atau receh oleh orang-orang yang tidak menaruh perhatian pada masa-masa sebelum pemilu ini atau oleh mereka yang memilih untuk masa bodoh. Mereka mungkin akan menjawab: ya, kalau mereka menang tinggal dilantik, memimpin bangsa, setia pada konstitusi, prinsip-prinsipp demokrasi.

Jawaban-jawaban ini memang secara faktual benar, karena yang terpilih akan menjabat. Tetapi apakah kita sempat berpikir tentang pencalonan Gibran, Putra Presiden, Wali Kota yang belum tuntas memerintah Solo dan mengklaim diri sebagai wakil kaum muda?

Proses pencalonan Gibran diwarnai pro-kontra, polemik, gonjang-ganjing, dan bahkan isu-isu yang kebenarannya belum dapat dipastikan: Nepotisme, Dinasti, dan sebagainya. Hal-hal ini makin menjadi perhatian publik manakala Mantan Ketua MK, paman Gibran, Anwar Usman, serta Ketua KPU yang sudah disanksi keras untuk kali kedua, Hasyim Asy'ari, bersama jajarannya, dinyatakan melanggar kode etik, masing-masing oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).

Anwar dinilai melanggar kode etik sehubungan dengan uji materi perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang batas usia capres-cawapres yang ‘membentangkan’ karpet merah bagi Gibran yang sebelumnya terkendala batas minimu usia sehingga tidak dapat mencalonkan diri sebagai Capres; sedangkan Hasyim melanggar kode etik karena alasan yang juga melibatkan dan bahkan meloloskan Gibran untuk menjadi Calon Wakil Presiden.

Semua fakta yang meresahkan ini membuat saya menjadi makin resah, bahkan gelisah, manakala pertanyaan kecil yang cukup mendalam: apakah jika paslon 01 dan 03 beserta para pendukung maupun partai-partai pengusungnya terima dengan rendah hati jika yang menang pilpres adalah pasangan 02?

Menurut saya pertanyaan ini mengandung bahaya-bahaya luar biasa jika pendukung maupun pengusung paslon 01 dan 03 menjawab ‘tidak’, dan ‘menolak’. Jawaban ini berpotensi mengancam keamanan bangsa dan ‘layar’ yang telah dipasang, yakni cita-cita bersama bangsa sebagaimana termaktub dalam Pancasila.

Penolakan atas hasil pemilu, dengan alasan bahwa Gibran cacat hukum dan penggemaan kembali tentang kode etik yang dilanggar, akan melahirkan gelombang aksi yang berdampak tidak kecil. Simak saja kericuhan dan demonstrasi manakala pada 2019 ada pasangan yang tidak menerima hasil pemilu dengan lapang dada.

Sebenarnya saya takut! Kalau-kalau dampak yang lebih besar akan terjadi. Semoga tidak, tetapi jujur saya takut. Takut jika bangsa ini dipertaruhkan. Takut jika ada nyawa yang hilang dan gugur, takut jika fasilitas negara dibakar, takut jika ada yang saling melempar batu di jalanan, takut jika yang berbicara tiba-tiba hilang entah kemana.

Sekali lagi, semoga ini tidak terjadi. Manakala terjadi, saya sangat menyesal karena gasa-gara satu orang yang ‘haus’ kuasa, bangsa, perahu yang layarnya dibentuk para terdahulu dengan kokoh, dicabik-cabik.
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Menjelang Pemilu: Resah, Takut, Semoga Tidak!

No comments:

Post a Comment

Trending Now

Iklan