Iklan

Desakan Pernikahan Pada Usia Dini (Penyebab dan Tantangannya)

Wednesday, 17 April 2024 | April 17, 2024 WIB Last Updated 2024-04-17T09:09:32Z

 


Oleh: Marianus Elki Semit

Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana Malang–Jawa Timur


Kata Elki Semit “Biarlah cinta tumbuh secara alami, seperti pohon yang membutuhkan waktu untuk berkembang, jangan memaksa bunga mekar terlalu cepat” 


Dalam pergumulan hidup manusia pada zaman sekarang tendensi mengalami distorsi yang membuat individu tidak berkembang dan bertumbuh dengan baik di setiap relasinya bersama liyan di dalam keluarga dan masyarakat sosial. Hal semacam ini menjadi topik perdebatan yang  yang hangat dan tiada habis-habisnya diperbincangkan di lingkungan masyarakat sosial. 


Manusia tengah mengalami pergumulan hidup yang penuh dilematis dalam menentukan pilihan hidupnya. Dilematis yang dimaksudkan akibat tekanan eksternal dalam hal ini keluarga dan  masyarakat sosial sehingga individu berada dipersimpangan antara mengikuti keinginan diri sendiri atau yang lain. Realitas kehidupan manusia yang penuh persoalan pada zaman sekarang membuat  semuanya jadi tidak masuk akal, kita hanya bisa berdiam sembari merenung dan menggelengkan kepala. Saat pohon muda dipaksa berbunga  di situlah timbul sebuah refleksi kritis akan segala keabsurdannya. 


Saat pohon muda dipaksa berbunga refleksi filosofis pernikahan pada usia dini, Demikianlah secercah refleksi filosofis yang ditaungkan ke dalam tulisan ini. Dalam konteks  pernikahan di usia muda kita sering menyebutnya sehari-hari pernikahan pada usai dini. Peristiwa ini sebuah kenyataan sosial dengan segala kompleksitasnya.  Apakah kita menutup mata dengan realitas seperti ini? Sebagai manusia yang memiliki nilai kepekaan di dalam dirinya tentu tidak berdiam diri dengan melihat persoalan semacam ini. pohon muda yang dipaksa berbuah sebuah ungkapan metaforis yang penuh dilematis melihat manusia berlomba-lomba memutuskan untuk menikah pada usia muda  tanpa melihat konsekuensi dari keputusan yang dibuat. 


Kita akan melihat multiaspek yang tertuang di dalam isi tulisan ini, yang mungkin menghantar kita ke kedalaman sebuah pergulatan filosofis sembari melihat realitas yang ada di luar diri kita.  Sebelumnya kita akan menyimak peristiwa yang menarik, kisah seorang perempuan yang dipaksa oleh orang tuanya menikah pada usia 17 tahun.


Perjumpaan dengan seseorang yang pernah bersama dengan kita ialah suatu moment yang sungguh sangat menarik. Mengapa menarik ? menarik karena bisa melihat kembali pengalaman-pengalaman yang telah dilalui bersama dengan segala kebaikan dan kebobrokannya. Seseorang yang saya maksudkan dalam pembahasan kali ini ialah mantan kekasih ketika duduk di bangku sekolah menengah atas. Dia (perempuan) memutuskan sekolah ketika mengenyam pendidikan SMA kelas 2 alasannya bukan karena dirinya tidak mampu melainkan karena desakan dari kedua orang tuannya untuk menikah pada usia muda. Dia (perempuan) ini dijodohkan dengan seorang laki-laki satu kampung oleh orang tuanya. Perempuan ini sama sekali tidak mencintai seorang laki-laki tersebut karena terpaksa maka hubungan itu pun diiakan saja.


 26 Juni 2022 bertemu dengannya ketika saya diutus oleh pastor paroki untuk pergi memimpin ibadat sabda di stasi di mana tempat tinggalnya. Perempuan itu bertemu dengan saya dan meminta waktu 30 menit untuk mengsharingkan pengalamannya selama kurang lebih tiga tahun menjalani hubungan pernikahan mereka. Dia (perempuan) terang-terangan bagaimana perilaku suaminya yang sangat kejam kepadanya. Dia dipukul dan melontarkan kata-kata kasar, demikianlan cerita singkat ketika bertemu dengannya setelah saya berpisah dengannya secara terpaksa. Itulah realitas yang sebenarnya, orang tua lebih mementingkan diri sendiri dengan menghalalkan segala cara agar menjadi orang yang terpandang di masyarakat sosial. Dari peristiwa inilah saya menemukan secuil tema yang cukup menarik untuk disantap bersama  saat pohon muda dipaksa berbunga refleksi filosofis Pernikahan pada usia dini.


Apa Kata “world health organization, pernikahan dini early married adalah pernikahan yang dilakukan oleh pasangan atau salah satu pasangan masih dikategorikan anak-anak atau remaja yang berusia dibawah usia 19 tahun.”


Hal yang mempengaruhi kita dalam menentukan pilihan hidup tekanan sosial dan norma budaya. Pernikahan pada usia dini terjadi karena tekanan sosial dan norma budaya. Tekanan ini dapat mengalahkan keinginan individu dan mengarah pada komitmen yang prematur.  


Di dalam pergumulan hidup kita di tengah keluarga dan masyarakat sosial, seringkali kita tertidur dan terbiasa dengan aturan yang penuh absurd. Mengapa absurd? Faktor pernikahan pada usia dini  sudah dianggap sebagai adat dan kebiasaan didorong oleh tradisi serta harapan dari keluarga. Pada hal hidup kita terus bergerak dari waktu ke waktu dan perubahan itu semakin menjadi-jadi. Dalam hal, ini adat tradisi perniakahan pada usai dini di dalam keluarga dan masyarakat sosial perlu dihapus. Kita semestinya harus tahu tujuan dari pernikahan itu bukan hanya berkutat pada dunia seksualitas yang semata melainkan tujuan dari pernikahan untuk mencapai kebahagiaan yang mendalam.


Dalam setiap relasi manusia bersama yang lain tentunya ada dialog yang mendalam antara individu.  Dalam konteks dinamika gender dan struktur kekuasaan  ini juga memiliki peran yang sangat penting dalam pernikahan pada usia dini. Tendensi kaum perempuan yang masih muda taat dan tunduk pada norma patriarki. Hal inilah  yang membuat individu (perempuan) merasa tidak bebas dalam hal ini otonomi dan agensinya terganggu. Pemahaman semacam ini menimbulkan kericuhan dan ketidakseimbangan kekuasaan yang mendorong individu untuk terus memelihara praktik pernikahan pada usia dini. Tentunya hal semacam ini tidak perlu dibiarkan alasan yang mendasar yakni terkait masa depan dari individu dan yang paling penting perkembangan mental. Gangguan mental pada diri manusia membuat semuanya di dunia tidak berguna bagi dirinya dan orang lain di sekitarnya.


Ekonomi juga dapat mendorong individu menuju pernikahan dini. Keluarga yang menghadapi kemiskinan mungkin melihat pernikahan sebagai cara untuk mengurangi beban keuangan atau mengamankan jaringan dukungan sosial. Namun, alasan ekonomi ini sering mengabaikan konsekuensi jangka panjang bagi individu yang terlibat. Konsep berpikir semacam ini sebuah kedunguan yang membawa kejatuhan.  Sangat penting untuk diketahui bahwa pernikahan pada usia dini bukanlah solusi yang tepat dalam mengatasi kemiskinan dan bukan dengan cara pernikahan di usia dini beban ekonomi di dalam keluarga teratasi. Kita semestinya harus sadar bahwa manusia memiliki harkat dan martabatnya yang tak dapat diganggu gugat maka kita pun juga harus menghargai menentukan pilihan hidup serta kebebasannya sebagai manusia. 


Perlu disadari juga bahwa manusia di dunia ini perlu mendapatkan pendidikan yang layak demi perkembangan kualitas hidupnya di tengah masyarakat sosial sedangkan yang lainnya akan ditambahkan. Konteks pernikahan usia dini semestinya harus dikritisi  terkait dapat merusak masa depan seorang individu. Sebagai orang tua semestinya harus sadar bahwa masa depan dari seorang anak menjadi penentu bagi perjalanan hidupnya di kemudian hari. 


Realitas dalam kehidupan sehari-hari bahwa pasangan yang menikah dibawah umur begitu banyak menderita baik dari segi ekonomi, kedudukan di tengah masyarakat, tekanan psikologi, keretakan rumah tangga. Alangkah baiknya prioritaskan pendidikan dan semuanya akan dilengkapi. Pendidikan membawa kita untuk melihat lebih luas tentang segala sesuatu yang ada di dunia.  Pendidikan dan program kesadaran penting dalam mengatasi pernikahan dini. Dengan mempromosikan kesetaraan gender, pendidikan kesehatan reproduksi, dan pelatihan keterampilan hidup, komunitas dapat memberdayakan individu muda untuk membuat pilihan yang berdasarkan informasi dan menolak tekanan sosial.


Setalah ditelaah lebih jauh bahwa pengaruh pernikahan pada usia dini bukan hanya bekutat pada tataran ekonomi dan tekanan psikologi melainkan juga terkait dengan kesehatan dari seorang individu. Dalam konteks ini sangat menggangu pada kesehatan reproduksi, hal ini membawa kepada kedua pasangan ke dalam kegelapan. Kegelapan yang di maksudkan ialah pengantin muda  lebih mudah terkena penyakit, terkhusus bagi seorang perempuan yang sedang mengandung. Hal ini dapat menggangu kesehatan serang ibu dan anak. Tentunya segala statement-statement ini bukan hanya sepekulasi saja melainkan realitas yang sedang di alami oleh kaum muda yang menikah pada usia dini. Kita sangat perlu menaruh sikap kritis terhadap situasi semacam ini yang terjadi di daerah masing-masing.  Perlu ditilik  dari lensa filosofis dalam artian bahwa menjadi manusia harus berpikir kritis terhadap segala keputusan. Harus mencintai segala keputusan dengan kebijaksanaan. 


Dalam menghadapi realitas pernikahan pada usia dini, metafora Saat Pohon Muda Dipaksa Berbunga menjadi cermin bagi berbagai dilema filosofis yang melingkupi praktik tersebut. Fenomena ini menyoroti kompleksitas struktural, sosial, dan psikologis yang terlibat dalam keputusan untuk menikah pada usia yang belum matang. Sebuah refleksi filosofis yang mendalam bahwa pernikahan pada usia dini tidak hanya sekadar masalah individu, tetapi juga merupakan cermin dari dinamika masyarakat yang lebih luas. 


Pernikahan pada usia dini mencerminkan ketegangan antara kebutuhan individu dan ekspektasi sosial, antara tradisi dan hak asasi manusia, serta antara pemenuhan kebutuhan ekonomi dan pengembangan pribadi. Pada intinya bahwa menghargai kebebasan individu di ruang publik dalam menentukan pilihan hidupnya ialah suatu keharusan dan kebenaran absolut. Oleh karena itu sebagai manusia yang hidup saling berdampingan di dunia ini penting untuk menyapa dan merangkul diri sendiri dan yang lain. Hidup akan lebih bermakna apa bila kita lebih memprioritaskan nilai-nilai kebajikan dalam setiap relasi dengan liyan.


Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Desakan Pernikahan Pada Usia Dini (Penyebab dan Tantangannya)

No comments:

Post a Comment

Trending Now

Iklan