Aku Merelakanmu Jeje (Cerpen Fredy Ndalung, S.Fil)
Oleh: Fredy Ndalung, S.Fil
InspirasiINDO.com-Setelah dua belas tahun berlalu, pada hari ini aku menyaksikan suatu peristiwa mulia. Perasaan gembira dan terharu menyelimti diriku disaat aku menyaksikan dia yang pernah hadir dalam hidupku mengucapkan janji setia di hadapan Allah untuk selama-lamanya. Dia dithabiskan menjadi imam. Tanpa kusadari Air mata mengalir membasahi pipi lembutku. Terlintas dalam benakku suatu pernyataan bahwa dia akan menjadi milik Tuhan selamanya dan menjadi pelayan-Nya untuk mewartakan kabar gembira kepada semua orang yang dipercayakan kepadanya. Cintanya pun tidak terfokus pada seseorang saja tetapi untuk semua orang.
Baca Juga: MaknaKata Misionaris
Aku mengenalnya berawal dari sebuah kejadian yang tidak terancana. Pada kejadian itu perjumpaanku dengannya berawal. Perjumpaan itu boleh kukatakan kebetulan karena berada di luar kesadaran. Meskipun demikian, perjumpaan itu pintu masuk bagiku untuk hadir dalam kehidupannya. Jeje itulah namanya.
Pertemuan dengan Jeje terjadi di sebuah lorong sekolah. Lorong yang sering dilalui oleh warga sekolah baik para guru, siswa, karyawan, dan siapa saja yang sudah dan hendak masuk ke lingkungan sekolah itu.
Saya dan dia pengejar kebijaksanaan intelektual dalam satu sekolah yang sama. Namun saya tidak mengenalnya, mungkin karena orangnya pendiam, jarang tampil seperti siswa lain sehingga dikenal oleh banyak orang. Karena itu, tidak mengherankan kalau Jeje bagiku orang yang baru kukenal. Pertemuan itu mengisahkan sejarah, kenangan tersendiri bagiku, yang tak pernah terlupakan dalam hidupku.
Pertemuan awalku mengenal Jeje. Waktu itu badanku terasa lemas, pusing, dan tidak bersemangat. Ya, boleh kukatakan gejala demam. Karena itu, saya minta izin kepada guru kelasku dan guru piket untuk pulang rumah. Ketika aku melewati lorong itu saya tidak menjumpai seoramg siswa pun yang nongol di lorong. Mereka semua tentu sedang berada dalam kelas mengikuti pelajaran. Situasi sekolah terasa sepi, sunyi, yang ada hanyalah bunyian dedaunan yang terbawa angin, suara bapak guru yang sesekali terekam telingaku, teriakan para karyawan yang sedang sedang menyelesaikan sebuah bangunan perpustakaan yang cukup jauh dari lorong yang kulalui. Mungkin karena tingkat demam semakin meningkat, aku merasa kekuatanku hilang sekejap yang memungkinkan diriku rebah ke tanah. Dan memang itu yang kurasakan. Ketika badanku yang perkasa ini hendak tumbang tiba-tiba ada seorang cowok yang menopangku. Dalam topangannya aku merebahkan tubuhku yang sudah tak berdaya lagi. Aku tak tahu apa tindak lanjut dari pria itu. Yang pasti bahwa dia melakukan sesuatu untuk mengembalikan kekuatanku yang “termakan” sengat penyakit.
Ketika aku bangun dari tidur lelapku aku merasakan situasi tempat yang jarang kualami. Aroma obat yang begitu tajam, teriakan pasien yang histeris, dan teriakan orang banyak yang sedang sedang menanti giliran masuk ke dalam ruangan pemeriksaan. Tempat itu tidak lain kalau bukan rumah sakit. Saat ini memang aku sedang berada di rumah sakit, gumamku dalam hati. Tetapi aku dihantui oleh kebingungan dan bertanya dalam hati “siapakah orang yang menghantar aku ke tempat ini?” kumencoba memutar kembali peristiwa yang terjadi pada lima jam yang lalu. Sejenak aku mengingat peristiwa ketakberdayaanku ketika aku jatuh tak berdaya dan aku merasa ada seseorang yang menopangku. Tetapi bagiku keberadaannya masih misteri. Siapakah gerangan orang yang menolong aku? Sehingga pada keesokan harinya saya mencari tahu identitas orang yang telah menolongku. Ternyata dia adalah Jeje. Itulah sosok misteri yang menolongku.
Aku mengenal Jeje selama kurang lebih satu tahun. Saya mengenalnya tidak hanya pada kehadiran fisiknya saja tetapi seluruh dirinya termasuk karakter, dan segala sesuatu yang berkaitan dengan dirinya. Pengenalanku akan kepribadian Atman membuatku semakin tertarik padanya. Aku merasa kepribadian Jeje cocok dengan kriteria yang aku dambakan selama ini. Sehingga pada suatu saat aku memberanikan diri mengucapkan kalimat pendek ini,
“I love you, Jeje.”
Kalimat yang terucap lahir dari kedalaman hatiku. Tetapi aku tidak berharap seratus persen Jeje akan menjawab ya. Karena saya masih berpikir kalimat penolakkan yang mungkin akan keluar dari mulut Jeje. Ternyata apa yang saya pikirkan tidak menjadi kenyataan. Jeje merespon secara positif rasa yang sempat kuucapkan kepadanya.
“I love too, Olin.”
Dunia seakan berbalik mendengar jawaban Jeje, perasaan cemas, takut yang tadinya bermunculan di hati dan pikiranku seolah tertelan oleh jawaban itu. Kini saya dan Jeje berpacaran. Saya dan rendi menjalani masa pacaran selama dua tahun. Berbagai kisah telah kualami bersama dia. Kisah sedih, gembira, dan juga berbagai sharing yang dibagikannya kepadaku memberikan inspirasi baru bagiku. Namun, kisah yang pernah kualami itu tidak sampai pada jenjang pernikahan sebagaimana yang telah kubayangkan. Atman ternyata mempunyai keputusan lain. Keputusannya tak pernah terlintas dalam benakku. Hal yang aku pikirkan tentang Jeje terarah pada keberhasilan dunia ini, menjadi pria karir. Maksudku menjadi pria yang sukses dengan usahanya. Ternyata aku salah menilai Jeje. Dalam dirinya ternyata tersimpan sebuah harta terpendam yang sangat mulia. Harta yang tak ternilai oleh apa pun yang ada di dunia ini.
“Lin, aku mau masuk seminari.”
Itulah keputusan yang dia ucapkan kepadaku. Ya, itulah keputusannya. Lebih lanjut dia mengatakan “saya ingin menjadi imam”. Jadi, jelas konsekuesinya dan harus kutanggung. Dia harus melepaskan aku, ya dia akan meninggalkan aku selamanya. Awalnya aku merasa berat untuk mengiyakan permintaannya. Hatiku terasa sakit, kecewa, dan bahkan membencinya dan menganggapnya orang yang tidak pernah ada dalam hidupnya. Tetapi kemudian aku sadar bahwa kehendak Tuhan tidak memang tidak akan pernah sama dengan kehendak diriku, mahluk ciptaanNya. Dia lebih membutuhkan Jeje daripada cintaku padanya. Karena itu, aku rela untuk melepaskan dia. Itulah keputusanku. Aku menyerahkan dia untuk Tuhan, biarkan Tuhan yang memiliki dia. Aku rela melepaskan kepribadiannya yang sangat kusukai. Ya semuanya hanya untuk Tuhan. Semenjak kami berpisah, saya tidak pernah menerima kabar tentangnya. Bagaimana keadaanya, kesehatanya dan yang paling penting adalah bagaimana dengan panggilannya. Kini saya berprofesi sebagai seorang dosen kimia di sala satu universitas di tempatku. Tugas seorang dosen memang tidak mudah apalagi sebagai dosen kimia. Setiap harus menganalisis dan juga memeriksa tugas-tugas mahasiawa.
Tunk, tenk,tunk, tenk, bunyi bel rumah kami. Bel itu menunjukkan kehadiran seorang. Entah apalah keperluannya yang penting dia adalah tamu kami. Kubuka pintu itu. Dia yang datang adalah sang pengantar surat yang sering kita sebut pak pos. Dia menyerahkan sepucuk surat kepadaku lalu pergi entah kemana. Aku penasaran isi surat itu, karena itu, aku segera membukanya. Awalku kuberpikir surat itu hanyalah sebuah undangan biasa. Setelah kubuka, kulihat sebuah picture pria yang pernah aku kenal berpakaian keemasan ala motif budaya Manggara-flores. Dia adalah Diakon Jeje. Sejenak aku terdiam. Tak terasa air mataku membasahi pipiku. Pesan singkat yang tertulis di bagian bawah fotonya “aku akan ditabiskan menjadi imam, doakan aku agar bertahan dalam imamatku”. Aku merindukan kehadiranmu. Nada undangan yang sangat halus. Sore itu aku melangkahkan kaki ke sebuah paroki tempat dia akan dithabiskan. Aku terharu ketika kumelihatnya secara langsung. Dia tidak seperti dulu lagi yang bagiku terkesan pendiam. Kini dia tampak ceriah dan terbuka baik untuk dirinya maupun terhadap yang lain dan yang paling istimewa terhadap Tuhan. Sekali lagi aku hanya meneteskan air mata menyaksikan semuanya itu. Dalam hati aku berdoa “Tuhan sertailah dia selalu supaya setia sampai akhir hidupnya mengabdimu, pakailah dia sesuka hatiMu.” Acara thabisannya sungguh meriah dan mengesankan. Itulah kejadian sore itu.
Baca Juga: Pergilah Kasih dan Lupakan Semua Tentang Kita (Cerpen: Adryan Naja)
Penulis, Alumni STFT Widya Sasana-Malang
Pengajar SDK Santo Yosef Kediri
No comments:
Post a Comment