Oleh: Fr. Cosmas Maria, OSM
“Secara etimologis, pemimpin berarti orang yang memimpin. Menjadi pemimpin juga penuntun. Itu berarti ia harus berdiri pada garda terdepan untuk memerangi segala ketidakadilan sosial yang menyelimuti masyarakat yang dipimpinnya. Ia harus menjadi penopang, pembimbing dan pendorong bagi masyarakat.”
Panggilan untuk melayani
sejatinya menjadi pemimpin merupakan panggilan hidup. Semua orang dipanggil untuk menjadi pemimpin tetapi tidak semua bisa memimpin. Hanya orang-orang tertentu yang memiliki kharisma kemimpinan yang bisa memimpin. Dengan kata lain menjadi pemimpin berarti sebuah talenta atau kemampuan dasariah yang dianugerahkan kepada seseorang untuk memerangi ketidakadilan dan untuk menghantar orang pada kesejahteraan.
Karena itu, perlu disadari bahwa panggilan menjadi pemimpin bukan semata-mata karena keinginan atau hasrat seseorang yang ingin menjadi pemimpin masyarakat melainkan karena kehendak Sang Absolut. Panggilan tersebut dijawab dengan kemauan, kehendak bebas pribadi, dan tanggung jawab untuk merealisasikannya. Itulah misi yang diletakkan di atas bahu pemimpin. Ia harus menjadi pendorong, penopang, dan penuntun serta berdiri pada garda terdepan apabila terjadi ketimpangan sosial dalam hidup masyarakat yang dipimpinya. Panggilan menjadi pemimpin adalah panggilan untuk melayani semua orang. Dan memang itulah kodratnya. Melayani semua dan untuk semua. Satu untuk semua. Maka menjadi pemimpin merupakan panggilan.
Menjadi pemimpin adalah memenuhi tugas perutusan yakni, panggilan untuk melayani orang banyak. Panggilan untuk melayani sesama. Panggilan ini adalah tugas yang paling mulia. Tugas untuk melayani dan menguduskan orang yang dilayani.
Setelah menghantar orang lain mencapai pintu gerbang kekudusan dan mencapai kesejahteraan, tugas pemimpin belum selesai. Undangan melayani terus membuntutinya. Tantangan silih berganti masih menantinya. Roh kepemimpinannya masih diuji. Apakah seorang pemimpin menjalankan tugasnya dengan setia? Apakah ia menjalankan tanggung jawabnya demi maksud dan tujuan yang benar?
Kedua pertanyaan fundamen di atas menjadi titik tolak apabila dalam perjalanan waktu seorang pemimpin menyalah-gunakan jabatan dan statusnya sebagai pemimpin. Atau mengambil langkah yang benar dalam melaksanakan tugas, karya, dan tanggung jawabnya sebagai pemimpin. Kedua Pertanyaan mendasar tersebut menjadi tolak ukur seorang pemimpin dalam menjalankan visi dan misinya. Visi dan misi adalah anggaran dasar dalam mengemban, membimbing banyak orang mendapat hak dan kewajiban yang sama yakni, hidup makmur dan hidup sejahtera, di tempat, di mana semua orang berpijak.
Dewasa ini, tujuan menjadi pempimpin bukan lagi mengejar kesejahteraan dan kemakmuran demi semua orang. Menjadi pemimpin memiliki maksud terselubung. Banyak pemimpin kehilangan kendali. Tergiur oleh tawaran-tawaran dan kenikmatan yang mendatangkan banyak keuntungan bagi diri sendiri. Mengejar harta kekayaan, status sosial, uang, kekuasaan, dan popularitas. Model pemimpin seperti ini gampang terjerumus ke dalam lumpur korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Hal ini merupakan luka yang sangat menyakitkan. Infeksi, membekak adalah penyakit yang menular. Menyebar ke mana-mana. Penyakit menular ini menyerang baik atasan maupun bawahan. Pandemi korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) terus diatasi oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Namun sayang masih saja belum sepenuhnya sembuh.
Pemimpin yang jatuh dalam lumpur korupsi akan kehilangan roh kepemimpinannya. Roda pemerintahan dijalankan dengan setengah hati. Apapun yang dilakukan hanya demi kepentingan pribadi, kelompok, dan keluarga semata. Pendek kata, kepentingan pribadi diletakan di atas kepentingan bersama. Pemimpin yang terjerat dalam lumpur KKN (korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) kehilangan arah. Karena hilang segala pegangan hidup. Sehingga kebimbangan menyelimuti dirinya sepanjang hidup. Mata menjadi gelap. Menggelapkan kepentingan umum menjadi milik pribadi. Sudah mandi sekali dalam sumur dosa, lumpur KKN, ingin yang kedua kali dan seterusnya. Karena, merasa nyaman, buta dan membabi buta, membutakan, menghilangkan, dan mengeruk kekayaan bumi nusantara ini untuk diri sendiri.
Mengapa? Karena anak-anak negeri ini adalah biangnya. Mereka mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia dalam jumlah begitu besar. Menghilangkan uang negara tanpa jejak. Mereka bak pencuri di rumah sendiri. Soekarno pernah berkata “usaha saya menjadi lebih mudah karena saya melawan penjajah. Akan tetapi usaha kalian akan menjadi sulit karena melawan diri sendiri”. Musuh terbesar adalah berani mengalahkan diri sendiri. Pembinaan krakter harus ditingkatkan secara kontinuitas. Sehingga bangsa ini mencetak pemimpin yang berkualitas, sungguh menyadari tanggung jawab dan menyadari tugas sebagai seorang pelayan untuk melayani orang lain. Sebab itu, seorang pemimpin harus benar-benar menyadari bahwa ia dipanggil bukan ia memanggil. Kedua terminologi dipanggil dan memanggil perlu di bedakan dengan baik.
Dipanggil berarti ia dipilih oleh masyarakat atau orang lain melalui sistem demokrasi. Memanggil berarti ia memilih dirinya sendiri dengan menghalalkan segala cara untuk menjadi pemimpin demi memperoleh kesenangan, kenikmatan, dan mendapatkan harta kekayaan sebanyak-banyaknya tanpa mementingkan kebutuhan orang lain. Akhirnya semua yang dirancang dan yang direalisasikan hanya bertujuan untuk mencapai kenikmatan dan kepuasan pribadi, keluarga, dan kelompok. Sebaliknya, orang yang terpanggil berani mendedikasikan seluruh hidupnya kepada semua orang demi melihat orang yang dipimpinnya hidup bahagia dan nyaman walaupun ia sendiri berada di luar zona nyaman.
Menjadi topik perbincangan; Figur publik
Sejak zaman dahulu sampai dewasa ini, orang berlomba-lomba untuk menjadi pemimpin. Pemimpin selalu menjadi topik hangat untuk diperbincangkan. Perbincangan tentang seorang pemimpin tidak akan pernah selesai. Selama waktu terus berlalu dan hari pun terus berganti. Pemimpin juga menjadi sorotan mata dunia. Mata dunia meneropong setiap gerak-gerik, tindak-tanduk, dan segala laku tapa seorang pemimpin. Semuanya dikemas dalam ruang dan waktu yang berbeda-beda. Namun, dilaksanakan dalam waktu dan bersama waktu. Di belahan dunia ini, ruang dan waktu menjadi ukuran dalam menentukan hal yang paling kecil sampai sesuatu yang paling viral dari seorang pemimpin.
Selama bumi masih berputar dan roda kehidupan masih terus bergerak dunia selalu mengenal calon-calon pemimpin dan mengenang sosok-sosok pemimpin masa lampau yang masih kompeten untuk diperbincangkan. Sementara yang masih hangat untuk diperdebatkan adalah yang masih duduk di takhta pemimpin. Entah popularitasnya baik atau kurang baik atau tidak baik sama sekali. Mereka selalu menjadi topik utama perbincangan. Menjadi bahan utama pembicaraan karena mereka adalah orang-orang nomor satu di suatu negara, wilayah, daerah dan di suatu lembaga, institusi, perusahaan serta perkantoran bahkan di kancah dunia internasional.
Di Indonesia, (Jokowi) dikenal sebagai figur pemimpin yang punya krisma, kharismatik, dan mengumat. Sepak terjangnya selalu dibicarakan oleh dunia. Gaya dan jiwa kepemimpinannya tidak diragukan lagi oleh siapa pun. Gaya hidupnya sederhana namun berjiwa besar. Fokus perhatian dan tolak ukur kepimimpinannya adalah melihat semua orang mengecap manisnya kehidupan.
Semua bisa menjadi pemimpin
Bangsa Indonesia adalah negara demokrasi. Secara etimologis kata Demokrasi berasal dari dua suku kata. Demos berarti rakyat dan Kratos berarti kekuatan, kekuasaan pemerintah. Jadi, demokrasi berarti kekuatan, kekuasaan pemerintah berada pada genggaman rakyat. Pemimpin berasal dari rakyat, dipilih oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Bercermin pada sistem demokrasi ini, maka semua orang mempunyai kesempatan yang sama, bisa menjadi pemimpin. Namun, sayang seribu sayang, tidak semua dapat menjadi pemimpin seperti yang diharapkan dan yang tertuang dalam sistem demokrasi bangsa dan negara ini. Sebab sistem yang diterapkan melampaui kapasitas kehidupan masyarakat kecil. Misalnya, menjadi pemimpin harus via partai politik.
Untuk mendapat tempat di partai sehingga dapat diusung sebagai kandidat calon pemimpin dibutuhkan biaya pendaftaran begitu mahal. Karena itu, bagi masyarakat kecil yang punya jiwa kepimpinan yang besar harus menguburkan mimpinya dalam-dalam. Orang-orang kecil ingin menjadi pemimpin harus bermandikan keringat, butuh perjuangan, dan kerja keras. Sementara bagi kaum konglomerat dan kaum borjuis dengan berpangku kaki dan melipat tangan saja nama mereka terdaftar sebagai calon pemimpin. Mereka sangat gampang menjadi kandidat pencalonan pemimpin karena banyaknya uang yang dimiliki. Di sini, uang memainkan peran begitu penting. Uang seolah-olah bisa membeli segala-galanya, padahal uang bukan segala-gala walaupun segala-galanya butuh uang. Sehingga setelah terpilih menjadi pemimpin, tak heran apabila semua dipertaruhkan untuk mendapat kembali apa yang sudah dikorbankan selama proses berlangsung. Uang menjadi hal yang lumrah menyudahi bahwa sebenarnya semua orang punya hak absolut menjadi pemimpin hanyalah mimpi semata.
Keberhasilan menjadi pemimpin merupakan kejayaan dan kesuksesan. Apa saja bebas dilakukan. Main kuasa, dia rajanya. Urusan perkara, ia hakimnya. Pandai bersilat lidah, mereka kaum sofis dan retorisnya. Main kekayaan, mereka sendiri bankernya. Segala sesuatu bisa dilakukan asal bisa memperoleh kepuasan untuk memenuhi nafsu dan keserakahan.
Mengutip kata-kata dari Paulus Wiranto, “tantangan terbesar seorang pemimpin di saat dia merasakan bahwa dia telah berada dalam titik puncak, tetapi tanpa tindakan pelayanan”.
Maka kata-kata indah yang kidungkan, seperti; “beda lidah beda rasa namun beta mau ale rasa beta rasa”, tidak ada faedahnya sama sekali. Sama seperti tong kosong nyaring bunyinya.
Menurut hemat penulis, pemimpin yang lupa akan panggilannya sebagai orang yang terpanggil untuk melayani sesama gampang jatuh dalam kubangan. Jantung dan sanggar suci jiwa kepemimpin terserang penyakit jahanam korupsi, kolusi, nepotisme. Penyakit ini akan menyebarluas apabila ada komplikasi dengan penyakit lain yang sangat berbahaya. Berikut rumusan penyakit yang terdeteksi;
Sifat Ingat Diri
Sifat ingat diri merupakan satu motivasi untuk mempertahankan dan meningkatkan pandangan yang hanya menguntungkan diri sendiri. “Sifat ingat diri adalah ciri sifat arogan, egois dan rakus. Sifat seperti ini pada dasarnya sifat mementingkan diri sendiri melupakan orang lain. Ciri sifat ini makin marak dan menyebarluas di kalangan para pemimpin kita. Kita akan menjumpai model pemimpin atau orang yang bercirikan sifat ingat diri di tempat kerja, lingkungan tempat kita berada, dan di masyarakat sosial tempat kita beraktivitas, berdiskusi dan berinteraksi. Sifat ingat diri dapat membunuh krakter”. Bagi orang yang memiliki sifat ini, nilai tertinggi dalam hidupnya adalah memperoleh sebanyak-banyaknya kepuasan, kenikmatan, hasrat, kebutuhan dan cita rasa bagi diri sendiri. Model kepemimpinan seperti ini mendorong para pemimpin untuk melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
Enggan Untuk Melayani
Tantangan yang turut mempengaruhi seorang pemimpin adalah kurang adanya kemauan untuk melayani. Sebab dia hanya memaknai kepemimpinannya dari segi material. Orang yang memandang kepemimpinannya sebagai status dan hak untuk mendapat fasilitas, uang, barang dan kemewahan hidup. Dia hanya mampu melaksanakan tugas kepemimpinannya sejauh hal itu dapat mendatangkan keuntungan bagi dirinya sendiri. Fokus pelayanannya adalah kaum konglomerat yang mendatangkan lebih banyak uang untuk memenuhi kepentingan pribadinya. Orientasi pelayanannya hanya semata-mata untuk memperoleh harta benda. Dengan demikian fungsi pemimpin yang menghantar manusia kepada Allah, kesejahteraan, dan kemakmuran diabaikan.
Kurang Bertanggung Jawab
Dewasa ini, para pemimpin kita telah kehilangan aspek tanggung jawab dalam dirinya. Mereka lupa bahwa aspek responsibility merupakan roh yang mampu memobilisasi spirit kepemimpinannya dalam tugas melayani dan bertanggung jawab menghidupi orang yang dilayani. Aspek tanggung jawab juga merupakan salah satu kriteria dari sekian banyak syarat yang sangat penting baginya. Dalam hal ini, aspek tanggung jawab harus dilihat sebagai satu hal yang mutlak dijalankan oleh seorang pemimpin. Namun, tampaknya mereka kurang bertanggung jawab. Hal ini disebabkan karena seorang pemimpin tidak memiliki kemauan, kerelaan dan keberanian untuk memprioritaskan tindakan pelayanan dan mengambil resiko untuk orang-orang yang dipimpinnya. Tampaknya para pemimpin kita telah kehilangan aspek pengorbanan dalam diri mereka. Mereka ingin hidup mewah tanpa bersedia untuk mengorbankan diri demi kepentingan orang lain. Tidak menyadari bahwa menjadi pemimpin berarti bersedia untuk berkorban demi kepentingan banyak orang.
Hal yang sama pula sering menyeret kaum religius sebagai gembala umat pada umumnya. Mereka terjebak dalam praktik hedonis, konsumeris dan materialis. Keterlibatan dalam praktik-praktik tersebut turut memperlemah hidup spiritualitas sebagai pemimpin dan gembala umat yang menghantar sesama menuju persatuan dengan Allah. Dengan demikian, eksistensi mereka sebagai pemimpin yang melayani kekudusan diterlantarkan.”
Tanggung jawab untuk menghantar orang mencapai kekudusan adalah tugas seorang gembala umat. Tugas gembala umat adalah mengarahkan bukan diarahkan. Gembala umat yang hilang pegangan hidup akan dengan mudah berbalik arah sehingga kehilangan arah dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sebagai gembala. Gembala yang sudah kehilangan kompas akan sangat mudah tersesat. Jatuh dalam lumpur dosa”. Model kepimimpinan seperti ini mendorong para pemimpin religius ikut terseret untuk melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Dengan adanya pemimpin yang melakukan tindakan koruptif berarti ia tidak menyadari bahwa pemimpin dan gembala umat merupakan panggilan untuk melayani masyarakat luas.
Oleh sebab itu, aspek tanggung jawab harus mendahului kebebasan. Agar menyadari bahwa sebagai pemimpin bukan secara bebas membuat kebijakan, mengambil sebanyak-banyak harta kekayaan, mengeksploitasi sumber daya alam sebesar dan seluas-luasnya, bukan pula untuk mengejar popularitas diri melainkan mengejar kesejahteraan untuk semua orang.
Pemimpin yang solider
Pemimpin yang menyadari bahwa menjadi pemimpin adalah panggilan berarti ia juga menyadari bahwa dia adalah hamba untuk orang yang dipimpinnya. Siap bertanggung jawab, melayani dan mengorbankan diri demi kepentingan banyak orang. Dengan demikian, ia menjadi pemimpin yang solider dan bebas koruptif. Untuk menjadi pemimpin yang solider, baik dan bebas dari Korupsi, kolusi dan nepotisme seseorang harus memiliki ciri-ciri pemimpin sebagai berikut;
Pertama, pemimpin yang bertanggung jawab. Aspek tanggung jawab seorang pemimpin perlu dan penting agar pemimpin sungguh mempertaruhkan hidup untuk tugas pelayanannya. Seorang pemimpin harus bertanggung jawab atas masyarakat luas, pemimpin yang bukan pandai bernubuat tetapi juga berbuat.
Kedua, pemimpin yang solider. Kata solider berarti setia kawan. “Berarti pemimpin berani merangkul keberagaman, perbedaan menjadi persamaan”. Dalam arti bahwa seorang pemimpin yang selalu setia mendengarkan seluruh keluhan rakyat, berdiri kokoh di barisan depan untuk menyatukan segala perbedaan. Lebih dari itu ia harus mampu berada dalam keadaan apapun bersama seluruh kekurangan dan kelebihan masyarakat dan ikut merasakan apa yang sedang dirasakan oleh masyarakat yang dipimpinnya.
Ketiga, pemimpin yang jauh dari tindakan koruptif. Dalam arti “dengan tidak mengindahkan koruptif seorang pemimpin mampu bersikap adil kepada semua masyarakat karena apabila seseorang melakukan tindakan koruptif maka orang itu hanya mementingkan dirinya sendiri dan mengabaikan kepentingan masyarakat.”
Gembala Berbau Domba
Bercermin pada realitas pemimpin di atas, Paus Fransiskus sebagai pemimpin umum Gereja Katolik sejagat mengungkapkan suatu pernyataan dengan kalimat yang indah “gembala berbau domba”. Kalimat yang digagas Paus Fransiskus ini ditujukan kepada semua pemimpin di dunia, secara khusus untuk para imam Katolik sebagai pemimpin publik dan gembala umat. Kata-kata tersebut seolah-olah menjadi penangkal bagi para imam Katolik yang juga sudah digiring ikut mempraktikkan hal-hal yang mestinya tidak perlu dilakukan. Seperti melakukan tindakan koruptif, mengejar harta kekayaan, popularitas, status sosial, dan mendapat uang sebanyak-banyak.
Maksud ungkapan “gembala berbau domba” yang ditengggarai oleh Paus Fransiskus, bukan berarti seorang gembala dan pemimpin harus menjadi sama dengan domba. Melainkan kata-kata indah tersebut untuk mendeskripsikan sikap dan kesaksian hidup pemimpin dan gembala umat. Sikap dan kesaksian hidup pemimpin masyarakat luas dan gembala umat pertama-tama mengutamakan pelayanan. “Aku datang bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani”, Pemimpin seharusnya menanam sikap pelayanan agar mengakar dan mengurat lalu menjalar keluar sampai menjamah masyarakat, menghimpun, mempersatukan yang tercerai berai, dan mencari yang hilang. Berlaku kudus, tulus, dan bersikap jujur. Bukan menjadi “homo homini lupus atau manusia adalah serigala bagi yang lain”, adagium klasik Thomas Hoppes.
Penginjil Yohanes melukiskan dengan sangat menarik dan luar biasa tentang “Gembala yang baik”. Yohanes menggambarkan “pencuri datang hanya untuk mencuri dan membunuh dan membinasakan; Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan “Akulah gembala yang baik. Gembala yang baik memberikan nyawa bagi domba-dombanya (Yoh. 10:10-11)”.
Pemimpin yang baik tidak hanya berada di depan dan belakang, samping kiri dan kanan, dan berada di tengah-tengah. Pemimpin yang baik ia harus selalu berada di semua posisi. Untuk mengontrol dan melindung, untuk membimbing dan menuntun, untuk mendorong dan menopang dari semua sektor kehidupan dengan masing-masing resiko yang dihadapi, demi melihat rakyat yang dipimpinya hidup sejahtera dan makmur walau ia sendiri berada di luar jalur keselamatan.
Pemimpin adalah orang yang dipercayai tugas mengembalai. Tugas dan tanggung jawab gembala ialah mengarahkan seluruh kawanannya ke tempat yang penuh susu dan madu. Menyatukan yang hilang dan mempersatukan yang tercerai berai. Membimbing dan menuntun agar tidak ada yang hilang dari pandangannya. Jika ada yang hilang ia harus mencari, menemukannya, dan membawa pulang. Jika ada yang tersesat ia harus melepaskan ikatannya. Gembala harus mengantar domba-domba kegembalaannya tiba di titik puncak kenyamanan. Berteduh di tempat yang sejuk, di rumput yang hijau dan di air yang tenang. Karena selama dalam perjalanan penyesatan akan selalu ada. Maka ia harus selalu ada bersama-sama dengan mereka dalam menghadapi situasi apapun. Merasakan apa yang mereka rasakan. Sehingga kawanan dari seorang pemimpin dan gembala tidak kehilangan arah. “Tuhan adalah gembalaku, aku takkan berkekurangan (Maz. 23:1-6).”
Pemimpin berarti menjadi gembala bagi yang lain. Gembala berarti menghambakan diri untuk orang lain, bukan raja dan tuan atas sesama. Sesungguhnya gembala adalah hamba. Hamba yang setia penuh ketulusan melayani. Melayani tanpa pamrih. Dalam memberi pelayanan tidak setengah-setengah. Ia mendedikasikan seluruh tenaga, pikiran dan perasaan bahkan ia harus mengorbankan nyawanya sendiri. Gembala tidak mencari kenyamanan. Gembala siap melihat kawanannya merasa nyaman, aman meskipun ia sendiri di luar zona nyaman. Akan tetapi pada kenyataannya, keadaan ini justeru tak kita jumpai. Para pemimpin mengingkari yang sesungguhnya. Kenyamanan hanya untuk dirinya justeru mengorbankan keselamatan kawanannya. Untuk mengejar uang, reputasi, popularitas, kedudukan, dan jabatan. Hal semacam ini merusak citra kepimimpinan. Urgensitas pemimpin menjamah seluruh rakyat seharusnya tidak diabaikan.
“Aku sendiri akan memperhatikan domba-domba-Ku dan akan mencarinya. Yang hilang akan Kucari, yang tersesat akan Kubawa pulang, yang luka akan Kubalut, yang sakit akan Kukuatkan, serta gemuk dan yang kuat akan Kulindungi; Aku akan mengembalakan mereka sebagaimana seharusnya (Yehezkiel, 34:11.16)”.
“Pemimpin yang lupa memberikan tangan untuk untuk melayani dan hati untuk mencintai adalah luka yang paling parah melukai dan menyakiti dunia dewasa ini. Bukan besarnya perbuatan, tetapi tindakan sekecil apapun jika dilakukan dengan penuh cinta sudah merupakan wujud iman dan kasih (Santa Theresia dari Kalkuta).”
No comments:
Post a Comment