Oleh: Fredrikus Jehaman
Raja siang makin leluasa memegahkan kekuasaannya. Seolah ia tidak menghiraukan makhluk yang yang tak berkuasa melawannya. Sengatannya menusuk pori-pori tubuh manusia. "Darah putih" mulai bercucuran di sekitar tubuh kami. Kami berusaha mencari "gua" perlindungan yang aman. Meski demikian, panasnya masih terasa. Ku lihat beberapa anak mulai mengeluarkan tisu dari tas masing-masing.
Baca Juga: SDI Lolang itu Namamu (Puisi)
Namun kami menolak menyerah apalagi kalah. Bukan SDK Yos Sudarso Kertosono namanya kalau menyerah atau kalah sebelum bertanding. Kami memang teristimewa. Itulah peluru pertama dalam diri kami, untuk menerobos pertahanan musuh. Amunisi kedua adalah bersinar. Amunisi kedua ini sangat penting. Bukan kebetulan kami memilih amunisi ini. Mengapa? Jawabannya sederhana. Kami ingin tetap menunjukkan sinar kami meski kami tahu lawan kami adalah sang raja terang yang sudah teruji jutaan abad.
Sebagai raja yang sudah teruji, sinar kami bisa saja ditutupi olehnya. Tetapi kami tetap merasa teristimewa dengan cahaya kami sendiri. Senjata kami yang ketiga adalah penuh cinta. Senjata ini bisa dikatakan paling ampuh. Tak peduli sekuat dan setebal apa baja "Tank" yang ada di depan kami. Kami tetap yakin bisa menerobosnya. Yah lagi-lagi senjata ini bukan senjata sembarang. Kami yakin seberat apapun musuh, jalan, mendaki, kerikil yang akan kami lewati, ketika kami memiliki cinta yang kuat kami bisa melewatinya. Bahkan kami yakin sang raja timur akan kewalahan menghadapi senjata kami ini. Lagi pula bukan hanya 'cinta' melainkan 'penuh cinta'.
Saya sendiri menyaksikan bagaimana kekuatan dari tiga amunisi (jargon) sekolah kami ini dalam karnaval Sekolah Dasar di tingkat Kec. Kertosono kemarin. Siswa/siswi SDK Yos Sudarso Kertosono , seolah tidak peduli dengan panasnya matahari. Mereka tetap dengan penuh semangat melakukan tugas mereka. Tidak hanya itu, meski matahari membakar tubuh mungil nan polos mereka, mereka tetap tersenyum, seolah angin sepoi sedang menerpa tubuh mereka.
Padahal nomor urut kami adalah 23. Sebagai peserta yang mendapat nomor urut 23, kami baru start pkl 13:20. Bayangkan seperti apa panasnya matahari pada jam ini. Ditambah lagi dalam perjalanan banyak yang meminta foto. Ini tentu saja seharusnya menambah durasi penderitaan kami, tetapi reaksi siswa/siswi justru lain. Mereka tetap tersenyum. Sekali lagi ini karena mereka sudah dipenuhi oleh cinta. Apa yang mendorong mereka untuk mencintainya?.
Tampaknya kata-kata Slavoj Žižek, filsuf Slovenia ada benarnya, "If you have reasons to love someone, you don’t love them" ( "Jika Anda memiliki alasan untuk mencintai seseorang, Anda tidak mencintai mereka."). Ya. Cinta siswa/siswi akan tugas mereka, yang terungkap dari ekspresi senyum mereka meski berhadapan dengan panasnya matahari adalah mencinta tanpa alasan. Dan bagi kami inilah cinta sejati. Tidak ada motivasi tersembunyi yang mengarah pada kepentingan diri.
Raja siang nampaknya mulai mengalah, meski tak mau mengakuinya dan memang tak pernah ketika siswa/siswi menampilkan pakaian kebanggaan daerah. Selain pakaian daerah ada juga siswa/siswi yang mengenakan pakaian profesi, misalnya dokter, perawat, tentara, polisi, hingga berpakaian kaum rohaniwan. Menariknya meski sekolah kami adalah sekolah katolik kami menampilkan pluralitas agama. Ada beberapa anak yang mengenakan pakaian tokoh agama dari beberapa agama. Ini tentu saja memiliki pesan tersendiri, yakni kami menerima dan mencintai keberagaman. Selain itu, hal ini juga menunjukkan bahwa sekolah kami adalah sekolah yang terbuka, bukan tertutup.
Baca Juga: TingkatTiga Raih Juara 1 Volley Putri dalam Rangka Dies Natalis XIII STP St. PetrusKeuskupan Atambua
Bagi saya sendiri, penampilan siswa-siswi SDK YOS Sudarso Kertosono tidak hanya mau menunjukkan bahwa mereka mencintai budaya mereka dan profesi yang mereka cita-citakan (yang terungkap dari pakaian), melainkan mereka sedang menarasikan atau menceritakannya. Dalam hal ini seni itu bukan untuk seni itu sendiri melainkan ada informasi, pesan dan nilai-nilai yang berguna bagi kita. Inilah yang mereka narasikan (tampilkan) dari pakaian) mereka.
Soalnya semangat mereka dalam melaksanakan karnaval, bagi saya mereka menunjukkan kepada kita bahwa mereka siap melanjutkan perjuangan para pahlawan. Tentunya perjuangan para pahlawan adalah melawan penjajah dan memperjuangkan kemerdekaan, sekarang mereka melanjutkannya dengan mengisi kemerdekaan itu.
Panas matahari bisa saja meruntuhkan semangat mereka, tetapi mereka telah menunjukkan bahwa mereka bisa. Panas matahari diibaratkan seperti sengitnya perjuangan hidup dewasa ini, namun siswa-siswi SDK Yos Sudarso Kertosono, tampaknya sudah siap untuk bertempur.
Baca Juga: Pertemuan Singkat Wakil Ketua III Bersama BEM STP St. Petrus Keuskupan Atambua
Hal penting lain lain yang saya temukan adalah pesan yang hendak disampaikan oleh siswa-siswi sampai kepada masyarakat, terutama yang datang menonton. Hal ini tampak dari antusiasme mereka untuk meminta foto bersama. Apalagi siswa-siswi yang murah senyum tidak pernah menolak. Selain menarasikan menerima keberagaman dan cinta budaya sendiri, mereka juga mengisahkan perjuangan para pahlawan.
Tentu saja cara mereka mengisahkannya adalah dengan menggunakan pakian pahlawan. Pesan mereka sangat sederhana, jika diringkas dengan meminjam kata-kata Soekarno “Jasmerah’ :jangan sekali-kali melupakan sejarah”
No comments:
Post a Comment