Iklan

Senandung Pada Malam!

Catatan Kecil Sang Musafir
Monday, 19 September 2022 | September 19, 2022 WIB Last Updated 2022-09-20T02:04:24Z

 

Senandung Pada Malam!
sumber: internet.

Menyerah adalah hal yang paling kubenci sehubungan dengan cinta yang mau tidak mau harus diperjuangkan. Rasanya aneh bila aku mundur begitu saja tanpa benar-benar memperjuangkan seseorang yang kucintai dengan tulus. Seseorang yang dulu pernah menghabiskan waktu bersama lewat suara. Seseorang yang sebelumnya kutemui tiga kali di kota ini: pertemuan yang selalu menyisahkan rindu-rindu yang sebenarnya perlu diladeni. Seseorang yang dulu bersamanya aku merasa senyaman dalam pangkuan para malaikat: bebas dari bahaya apapun, apalagi kemacetan kota karena kenaikan BBM atau ketidakadilan yang menimpa saudara-saudara di negeri ini manakala rumah ibadah mereka tak dapat dibangun. Seseorang yang dimataku begitu istimewa: pandai, ngobrol apa saja terasa menyenangkan, tak pernah gengsi seperti para pejabat yang selalu duduk paling depan di tempat kondangan. Sungguh, wanita yang begitu bersahaja.

 Tapi kini, jarak yang ia ciptakan makin melebar. Ia seolah-olah melupakan segalanya. Aku sadar mungkin aku salah sepenuhnya. Ia benar. Aku juga tak mau ia merasa terlukai karena aku. Hanya saja, perlu ia tahu bahwa aku takkan pernah berhenti mencintainya. Aku akan terus menceburkan diri dalam penantian ini. Sampai waktu merenggut segalanya. Meski, kata Om Sapardi: ‘Yang Fana Adalah Waktu, Kita Abadi.’

 

Jalanan kota kecil ini makin sepi di malam hari. Kesepian dan kesenyapan yang meniadakan rezeki para pedagang kaki lima. Mereka kebanyakan tak mau menunggu terlalu larut. Pembeli tak lagi seramai beberapa waktu lalu, sebelum harga BBM naik. Lagi pula sebagian orang lebih tertarik menyimak kasus-kasus pembunuhan yang terjadi di negeri nan suci ini, juga kelakuan Bjorka yang “nakal” itu. Dalam suasana malam yang lengang ini aku masih terjaga. Menghisap rokok dan menikmati secangkir kopi di teras yang tak seberapa luasnya. Sekarang keduanya, rokok dan kopi, adalah sahabat yang selalu setia mendengarkan kisahku tentang dirimu yang kucintai. Tentang betapa bahagianya aku ketika masih berada dekat denganmu. Tentang aku dan kamu yang terikat begitu saja tanpa kata-kata pasti dan tanpa drama memberimu setangkai mawar sembari mengucapkan kata-kata cinta. Katamu waktu itu: kita dan apa yang terjadi antara kita telah lebih dari sepasang kekasih. Aku mengamini kata-katamu yang selalu kuingat dan akan kubawa mati. Aku percaya sepenuhnya kepadamu. Aku menyayangimu terus!

              Bersama sebatang rokok dan secangkir kopi, aku ingin sedikit berbagi kata hati kepadamu dan semesta yang telah mempertemukan kita. Aku harap kamu mendengarkan semua suara hatiku dan memutuskan untuk kembali merajut kisah yang pernah terjadi di antara kita. Harus kamu tahu bahwa setelah engkau memutuskan pergi tanpa persetujuanku: tanpa mau bertemu denganku sekali saja agar membicarakannya sebaik yang kita bisa, aku masih belum bisa lepas dari kenangan akan dirimu. Aku masih ingin menulis sejarahku sendiri bersamamu. Aku terus menunggu kapan kamu memberiku kabar atau sedikit bergurau denganku dalam surat dan suara yang tanpa memerlukan perjumpaan. Singkat kata, aku masih mencintaimu dengan kadar yang sama, ketulusan yang selalu terjaga, dan kesetiaan yang tanpa perlu kau ragukan. Tetapi, dirimu nyatanya tak sedikitpun peduli. Malahan, jarak yang kamu ciptakan makin lebar. Kendati semua itu tidak menghilangkan dalamnya cintaku akanmu, sebagai manusia yang dibesarkan dengan perasaan sebagai seorang manusia, aku tetap saja merasa terluka. Bukan sepenuhnya karena acuh tak acuhmu, sebagian karena aku terlampau mencintaimu. Aku mencurahkan segala rasaku kepadamu karena yakin bahwa kamulah orang yang tepat buatku.

               Pada akhirnya aku berada pada titik akhir. Aku terpaksa harus menyerah. Mustahil rasanya kamu memberiku kesempatan tuk kembali menghabiskan waktu bersama walau hanya sebagai seorang teman biasa. Aku paham bahwa semuanya karena salahku. Tak ada ruginya kalau kamu membenciku. Aku nyatanya tak sepadan denganmu. Namun, harus kamu tahu bahwa aku menyerah bukan karena tak mencintaimu lagi. Aku hanya memutuskan untuk menunggumu tanpa perlu mengganggumu dengan mengirim surat-surat pun bait-bait puisi seperti yang biasa kulakukan. Aku akan menunggumu sampai aku tak lagi membuka hati terhadap siapapun sebab seluruh rasaku telah kusematkan padamu.

 Puan, sekali ini dengarkanlah senandungku pada malam, kerinduanku yang kuhembuskan bersama asap rokok yang terpaksa kuhisap, dalam aroma khas kopi yang pasti sampai kepadamu.

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Senandung Pada Malam!

No comments:

Post a Comment

Trending Now

Iklan