Oleh:
Caroline
(Pemuja Sastra Pagliarela dan penghuni Safary)
Sebait Sajak Untuk Fraterku
Pesona
kekasih Tuhan
Pemuda
religius pemilik mata indah
Jika
mengenalmu adalah sebuah kesalahan
Kuharap
bukan sebuah dosa di mata Tuhan
Bolehkah
aku merindu
Pada
pesonamu yang membuatku jatuh hati
Pada
sejuta cahayamu yang memberiku menaruh harap
Inginku
bersemayam pada sukmamu
Harus
kuapakan rasa ini?
Harus
kubuang kemana?
Harus
kuletakkan
dimana?
Seringku
mengadu pada Tuhan mengapa ia bangun megah perasaan ini dalam benakku.
Di
sela-sela sepi
Aku
merasa sunyi
Meratapi
rasa yang tak diikhlaskan untuk pergi
Aku
tahu aku salah
Salahku
memilih jatuh hati
Pada
pesona kekasih Tuhan
Chee
;)
**********
Desember kelabu menghadirkan rindu dan
sesak yang berujung pilu ;)
Ruteng, 11 Desember 2019.
Awan mendung menghanyut seakan
terlalu berat membawa isinya yang kelabu, membuat langit kota Ruteng
semakin menggelap.
Terlihat seorang gadis cantik duduk di jendela kamarnya dengan tatapan kosong ke arah depan. Hawa dingin yang menyeruak seakan menyelimuti tubuh mungilnya, hingga menghantarkan gigil yang membuatnya semakin sesak.
Dingin? Itulah yang dirasakannya saat
ini.
Gadis itu sesekali meniup tangannya agar tidak kedinginan. Angin malam pun mulai berhembus kencang menerpa wajahnya, membuat surai hitam panjang miliknya yang tergerai indah terombang-ambing ke belakang. Mata sipitnya terus menatap rintikan hujan yang perlahan- lahan jatuh, dan berlomba-lomba menuju tanah, jari lentiknya mulai bergerak menulis sesuatu di buku diarynya yang telah ia letakkan di atas meja. Frater, kau dan kota Ruteng sama saja bagiku. menyimpan gigil yang berlabuh namun tak jua kujumpai setittik kehangatan tentangmu. Sikap dinginmu terhadapku, kuanggap seperti kota Ruteng, yang tidak pernah memahami isi kepala dan isi hatiku.
Malam ini, sercerah ingatan kembali menerangi isi kepalaku tentang sosokmu, yang telah menjadi imam Tuhan, puisi, sajak dan cerpen yang kuciptakan tentangmu adalah bukti bahwa aku masih mengharapkanmu. “akh, sudahlah! Dia telah menjadi milik Tuhan bukan milikku. Dia adalah gembalaku dan aku adalah umatnya, aku seharusnya merelakan dan mendoakannya, bukan mengharapkan dia menjadi milikku. Aku seharusnya tak menghancurkan pilihannya, jalan satu-satunya, mungkin perasaan ini harus ku buang jauh-jauh. Karena, aku tak mampu bersanding dengan Tuhan, Dia terlalu indah untuk seorang pendosa sepertiku!.
Aku membaca sejenak tulisanku, dan di saat itu pula, air mataku turun membasahi kedua pipiku untuk sekian kalinya. Sesak itu yang selaku aku rasakan, antara rasa yang mengendus asa dan kenangan yang enggan pergi dari ingatanku. Mengenangmu ibarat aku, yang tega membangunkan kenangan dan rasa yang telah lama tertidur dalam lupa. Kalau kenangan terbangun susah kembali untuk tidur lagi, yang ada hanya akan menyakitkan, membuat luka lama kambuh, mengangah dan mulai berdarah.
“Tidurlah kenangan dan
rasa, lelaplah bersama bunga tidur yang semerbaknya ada pada secangkir kopi,
senja, hujan dan puisimu. Duhai kekasih.”
*****
Namaku Chee Seorang remaja putri asal Kota Dingin; Ruteng, yang terjebak dalam syair dan puisimu ataukah pertemuan singkat yang menghantar pada ingat dan ingin yang lekat; merekat pada sosokmu, frater. Barangkali aku akan mengisahkanmu tentang pertemuan sekejap hingga perpisahan yang lelap ataukah rasa yang kini lesap.
Dingin kembali menyapa bersahabat lagi dengan kota Ruteng, dengan ribuan awan yang mengepul menutup pandangan, dan kabut asap yang membuatku semakin gamang. Aku yang sejak tadi merencanakan untuk pergi Gua Maria Golo curu, harus menahan gigil yang, entahlah. Tak bisa lagi kubahasakan. Maksud dan tujuanku ke gua ini adalah untuk sejenak menepi bersama sepi karena lelah seminggu ini tentang perkuliahan dan aktivitas di organisasi kepemudaan yang semakin padat. Dengan sepeda motor matic-ku, aku bergegas namun tetap berhati-hati di antara keramaian dan hiruk-pikuk kota Ruteng, menuju kesepian yang terlalu. Barangkali, kita perlu menepi sejenak untuk melepas lelah. Bukan saja kopi yang memberi inspirasi dan puisimu yang mengerti betul tentang hujan, sesak, rindu dan tangis.
Motor yang kukendarai melaju perlahan, dengan kecepatan minimum. Karena aku bukan pembalap yang mau cari masalah apalagi cari mati. Sore yang indah, ketika semua orang larut dalam kesibukan, mulai dari anak muda joging, motor yang hilir-mudik dan berbagai aktivitas yang melelahkan. Sepanjang jalan di bawah kaki bukit Golocuru, aku dihiasi berbagai panorama yang memukau dan memekak, sangat memanjakan mata. Senja yang sebentar lagi akan datang, nyanyian merdu dari burung merapati yang berterbang serta potret-potret bisu jalan salib yang terpajang beku di sepanjang tikungan dan tanjakan. Hembusan angin sepoi menerpa wajahku, membelai pelan kulitku, seolah-olah ia tidak sabar menyambut kedatanganku.
Sesampaiku di parkirkan, aku merasakan hening dan rindu yang begitu dalem, aku ingin mengadu, sekaligus aku ingin cepat-cepat berjumpa dengan sang Bunda. Perlahan-lahan kulangkahkan kaki, kunaiki anakan tangga yang tak seberapa jumlahnya. Ketika tiba di gua mataku dengan spontan menatap arca Maria, yang rapi tersimpan. Tak ada orang di sini. Hanya ada sepi dan hening yang menemaniku di sore hari ini. Gerimis remang mulai berjatuhan mengenai kepalaku. Mungkin sebentar lagi akan turun hujan, gumanku pelan.
Aku melihat sekelilingku sepi, tak ada seorang pun disini, mungkin hari sudah sore barang kali orang telah pulang ke rumah untuk mengepulkan asap dapur mereka ataukah? Entahlah, aku tidak tahu, hanya itu yang ada di pikiranku sekarang.
Aku tersenyum ketika melihat Sang Bunda, seketika pipiku terasa panas, tanpa diduga perlahan buliran bening jatuh dari kelopak mata, dan turun mengenai kedua pipiku, aku buru-buru mengusap lembut kedua pipiku yang basa dan aku langsung berlutut di hadapan sang Bunda. Aku melihat arca Maria yang tersimpan rapi, terlihat wajah Bunda sangat cantik. Bunda, aku datang membawa seuntai doa dan harap serta lelah yang ada. Pada Bunda aku berharap ada kasih, ada setulus hening yang tercipta di sini. Bunda Maria, aku menutup mataku seerat mungkin. Seerat awan memeluk hujan, seerat aku memeluk rindu dan luka.
Namun, di tengah doaku, aku merasakan tapak-tapak kecil yang datang mendekatiku. Aku mulai takut, aku merasa gelisah, maklum aku hanya seorang diri, apalagi aku seorang gadis remaja, perasaan takut terus menghantuiku, tapi aku berusaha tenang. Aku percaya Tuhan bersamaku, Ia ada di sampingku.
Perlahan, aku membuka mataku. Aku mencoba
menerawang ke segala arah, untuk memastikan tak ada siapa-siapa. Namun, belum
usai leherku berputar 60 derajat, mataku menangkap sesosok pemuda religius,
yang tengah merapal doa dengan khusuk. Wajahnya
terlihat sangat damai, matanya teduh dan senyuman yang begitu memikat.
Di sela-sela sepi gerimis remang, aku terus mencuri-curi pandang, aku merasakan ada sesuatu yang berbeda dalam diriku, ketika aku menatapnya dan dia menatapku balik.
Deg!!
“Bunda,
perasaan apa ini.” Batinku.
Selepas
berdoa, aku masih berdiri dan memotret pemandangan yang ada di ketinggian bukit.
Hujan pun mulai turun, angin
berhembus malu-malu membawa aroma laut yang berada di ujung barat sana.
Matahari mulai tenggelam karena memang hari sudah hampir senja. Aku merentangkan tanganku,
aku mulai menari bersama hujan dan
senja. Aku bersenandung ria mengibas-ngibaskan rambutku, menutup mataku dan
mulai menghirup aroma wangi tanah.
“Rintik hujan, senja, sang bayu dan kamu pemuda religus.” Ucapku saat hujan mulai redah.
Aku tahu waktuku untuk melihat senja tinggal sedikit lagi senja akan berpamit pulang ke ribaan malam. Lembayung yang terpantul di ufuk barat menambah indahnya panorama bukit Golocuru, yang aduhai. Selain menyukai sastramu, aku juga adalah gadis hujan penikmat senja, pemuja rindu, dan pengakrab sendu.
‘Frater andai kamu tahu hujan, senja dan sang bayu menjadi saksi bisu awal pertemuan kita di bukit Golocuru.’
Frater,
semenjak bertemu denganmu aku selalu menulis puisi rindu untukmu. Bahkan disaat
senja datang aku duduk termenung di jendela kamarku, aku mulai membaca
tulisanmu ‘sesak.’ Itu yang selalu aku rasakan, menyakitkan ketika aku mengenangmu,
mengenang tentang kita yang tak bisa bersama. Ketika aku mengingatmu aku
menangis dalam diamku.
Sekarang
aku memutuskan untuk melupakanmu, walaupun aku harus berperang pada hati dan
logika, entalah aku bingung terimbang ambing, ambigu.
Puisimu akan aku simpen dalam ingatan dan tak akan lagi kubaca, hanya kukenang dalam anganku, frater.
Tiba- tiba memori tentangnya kembali memoar, tentang aku dan Frater. Frater Kevin namanya. Ia penikmat sastra dan syair pemilik rindu. Mengenalnya adalah sebuah anugerah, yang tiada taranya. Sosoknya yang tampan dan pengagum sastra. Dia adalah tipe cowok idamanku, bukan hanya aku, tapi para kaum hawa yang melihatnya pasti langsung terpanah akan pesona yang dimilikinya.
Perjumpaanku dengannya adalah sebuah kebetulan yang tidak disengajai. dan jatuh cinta dengannya adalah kemungkinan yang tidak kusemogakan, karena dia adalah seorang Frater. dia milik Tuhan, dia mencintai Tuhan dan menyerakan seluruh hidupnya untuk Tuhan. Ingat kamu hanya awam biasa. Perjumpaan yang singkat menghantarku pada rindu menahun, untuk cepat memohon pada Tuhan agar memutar waktu lebih cepat agar secepatnya hari minggu. Maklumlah, dia sedang berlibur di kampungku, karena kebetulan mamanya adalah orang dari sini, namanya tante Mia. ia selalu ada di Parokiku, setiap hari minggu biasanya ia membantu Romo membagikan komuni suci untuk umat di sini, termasuk aku. Raut wajahnya yang tampan dan dibaluti dengan jubah putih yang melekat di tubuhnya menambah kewibawaan, serta ketampanan yang aduhai. Saat ia membaca renungan aku hanya duduk menunduk, aku tidak berani menatap wajahnya apalagi matanya. Mata itu selalu membuatku candu.
Misa telah usai, aku memberanikan diriku berjabatan dengannya. Dengan maksud bisa melihat, dia. Yaps dia, Pemuda religius yang telah mencuri hatiku. Tuhan, aku ingin melihatnya lebih dekat. Yah, sedekat hembusan nafasku. Semoga!
Aku tidak berani untuk menatap matanya aku gugup, malu, takut. pokoknya campur aduk. Maklumlah karena aku orangnya pemalu sekali. Melihatnya saja sudah membuatku gemetar, keringat dingin. Apalagi mendekatinya bisa -bisa jantungku copot, Tuhan. ketampanan sangat menguji iman, banyak cewek-cewek yang mendekatinya, mengajak foto bareng , bersalaman dengannya. Dan aku? Hanya diam di tempat. Hanya menatapnya dari kejauhan itupun sudah membuatku senang. Biarlah lain kali, bisikku dalam hati. Hari-hari berjalan seperti biasa, berjalan dengan cepat tapi tak lupa kumaknai satu per satu.
Sore ini, matahari tampak malu dan bersembunyi di balik tiara awan ataukah sekadar mengintip penuh lusuh, hingga menghantar dingin yang terlalu. Diam tak berkata, duduk tak bergerak, itulah aku. Hal inilah yang paling tidak kusukai ketika Ruteng menghembuskan hawa dingin, yang begitu mencekam tapi diredam. Tiba- tiba kudengar, suara orang mengetuk pintu. Aku pergi membukanya. Berharap itulah ayah dan ibuku, sebab mereka sedang bepergian ke kampung sebelah. Ketika aku membuka pintu, aku mendapati frater, yang sedang berdiri di depan pendopo rumahku. “Apa ini nyata? Atau aku tengah berhalusinasi.” Aku membatin.
“Kaka Frater.” Ucapku sedikit gugup,
aku berusaha menyembunyikan kegugupanku saat ini. Aku mempersilakannya untuk
duduk dan bertanya maksud kedatangan Frater kesini. dan katanya ia ingin bertemu dengan ayahku.
Namun, setelah ia berkata demikian, ayah dan ibuku datang. Memang rencana Tuhan
itu indah, seindah pertemuan ini. ia memberi salam kedua orang tuaku, mereka
berbincang-bincang begitu lama dan entahlah apa yang mereka perbincangkan. Aku
hanya sibuk menjerang air untuk membuat secangkir kopi untuk kaka Frater. aku
begitu bersemangat tentunya. Jujur, aku adalah satu dari seribu wanita, yang
tak pandai meracik kopi. Namun, begitulah di depan Frater, pasti semua bisa.
Jangankan racik kopi, racik hatinya untukku, aku sanggup kok! “Akh... rasanya
aku ingin membenturkan kepalaku ke dinding.”
Sebelum
mengantar secangkir kopi, aku membaca mantra, yang kuciptakan sendiri tapi
semoga saja tidak meleset. Ahhahahahah!.
“Silakan
diminum kaka Frater.” Aku langsung menaruh kopi
di meja, aku terus menunduk tanpa menatap wajah Frater.
“Terima
kasih adik,” ucapnya tersenyum memampilkan gigi gingsul, dan lesung pipitnya
itu.
Aku
melihat itu terpana, sungguh ciptaan
Tuhan yang begitu sempurna. Jantungku terus berdetak tak karuan. Aku
langsung pamit ke belakang dapur dan berlari ke arah kamarku, aku memeluk
guling, melompat-lompat sambil tersenyum membayangkan wajah tampan Frater
Kevin.
Andai Frater tahu, kopi kubuat dengan setulus hati, setulus rasa sayangku kepadamu.
Frater, hari-hari berlalu dan semakin hari, aku merasa semakin jatuh cinta pada pesonamu. Namun tak bisa kuungkapkan, aku hanya bisa mengeja namamu dalam doaku, mencintaimu dalam diamku dan menyampaikan rinduku lewat coretan aksara. Andai Frater tahu ini sangat menyakitkan, sungguh menyakitkan. dan bahkan tak kusadari aku begitu menyayangimu dalam diamku, menyakiti rasaku, hatiku. Sesak ketika aku mengingatmu kekasih. Pagi masih sangat belia, dengan embun yang beterbangan tanpa arah. Seperti kamu dalam anganku. Tak jelas kemana perginya, tapi susah untuk pergi dari ingatanku.
Teng Teng Teng !!!
Lonceng gereja bertalu begitu memekak, maklumlah, rumahku sangat dekat dengan Gereja. Aku siap-siap bergegas ke Gereja, saat memasuki pintu gereja, umat selalu disambut dengan suara kicauan burung gereja yang sangat merdu untuk didengar. Aku masuk ke dalam gereja membuat tanda salib dan segera mengambil tempat yang lumayan strategis, untuk melihatnya lebih dekat, dan diam-diam memotretmu dalam ingatanku.
Misa telah dimulai dan hingga komuni pun, aku
tak melihat sosoknya dan bersama jubah
yang membaluti tubuhnya itu. Entahlah, dia kemana? Hingga misa usai, dia tak
terlihat sedikit pun. Entahlah, kemana hilangnya? Yah, kuharap hilangmu tak meninggalkan jejak
dan ribuan tanya dalam isi kepalaku. Sebab, kau harus bertanggungjawab untuk hati yang telah patah karenamu. Setelah
lumayan lama menunggu Aku terus merasa gelisah. Entah, kemana perginya ka
kevin. Pandanganku kosong ke arah depan.
Aku merasa tidak ada semangat untuk hidup. Mungkin, karena aku tak melihatnya
hari ini. Ketika aku duduk termenung sendu, Aku melihat om koster dan ka Rey.
Ya. Ka rey teman seangkatannya ka kevin. Aku dan ka frater Rey, lumayan dekat jadi aku tidak malu untuk
bertanya soal ka kevin. “Ka Rey.” Aku melambaikan
tanganku ke arah frater Rey.
“Iya
adik selamat pagi, selamat berhari minggu.” Ucap ka Rey mengusap lembut
rambutku.
“Ia
kk, selamat pagi juga.” Jawabku mencium punggung tangan ka Rey.
“kaka,
di mana Frater Kevin?” aku meberanikan diri untuk bertanya soal Frater Kevin.
Ka
Rey tersenyum ke arahku. Entalah senyumannya
sulit diartikan dan dia sama sekali tak menjawab pertanyaanku, dia masih saja
tersenyum seoalah-olah dia sedang menjailiku “kaka!.” aku merengeng seperti
anak kecil. “Kenapa, Kangen sama Frater Kevin, kah?” tanya Frater Rey menggadaku
. “Eh, gak, kok. Kak, aku cuman tanya aja!” Aku langsung mengelak dengan cepat.
Ka
rey tertawa, kemudian menjawab, “dia sedang ada tugas, hari ini dia ada jadwal ibadat di stasi sebelah.” Hufft!
Syukurlah kalo begitu, sebab aku belum ikhlas melepasnya dalam ingatanku.
“oh
iya kak, titip salamku buat dia.” Ucapku dengan serius. Terlihat Ka Rey kembali tertawa untuk
keduakalinya. “ia adik nanti disampaikan.”
“Terimakasih
kaka, kalau begitu saya pamit pulang dulu.” Ucapku mencium tangan ka Rey.
“ia
adik, hati-hati. jangan sampek hatinya adik kesangkut di Frater Kevin.” Ka Rey tertawa
mengeleng-gelengkan kepalanya pelan ia langsung menjitak dahiku.
“Kaka!” Aku melempar tatapan kesal ke arah frater Rey.
Om koster berkata kalau sebentar sore Frater kan kembali ke Maumere, untuk melanjutkan perkuliahan dan formasinya. Jujur saja, waktu itu pikiranku hanya tertuju pada sebuah selendang songke, yang kubuat dari tangan kusendiri. Dan semoga aku bisa memberikan itu kepadanya dan kuselipkan puisi dan mimpi dalam peluknya, yang paling mesra. Kata om koster Frater akan berangkat jam 16;00 wita. Aku bergegas ke rumah mengambil selendang songke itu, dan menyelipkan sebait puisi untuknya. Kebetulan om koster adalah tetanggaku dan dia akan kembali ke Paroki untuk melihat Frater pergi. Aku yang memang waktu itu, sangatlah malu, harus berani menitip sebuah kado itu, untuk dia. Tak kutulis namaku di sana. Dari kejauhan aku melihat Frater telah masuk ke dalam sebuah mobil sedan innova putih. Aku benar-benar gelisah waktu itu. Apakah om koster sudah memberikan kepadanya ataukah Frater tak membawanya karena tak mau. Akhh, otakku tenangkan pikiranmu. Semoga dia menerima dan sudi membawanya. Titik dan amin.
Selepas 20 menit berselang, Om koster kembali, namun dia tak terlebih dahulu ke rumahnya, dia malah singgah di rumahku dan membawa sebuah titipan dari siapa dan untuk siapa. Itulah pertanyaanku yang terlintas di otakku. Om koster hanya bilang ada seseorang yang memberikannya kepadaku. Dia tak memberi tahu namanya, sehingga membuatku pusing tujuh keliling. Aku beranikan diri membuka sebuah kado sederhana itu. Yang kudapati di sana adalah sebuah jam tangan dan secarik kertas usang yang berisikan ayat-ayat api, yang dia harapkan dapat menghanguskan isi hatiku. Yah, semoja saja lelakiku.
“Senja kemarin mempertemukanku denganmu, dan senja hari ini mengingatkanku akan kepergianmu yang kian menjauh:)"
********
Jujur, aku akui kalau dia juga
seperasaan denganku. Entah mimpi apa aku semalam, sehingga di senja yang hendak
berpamit, puisimu tetap menetap bersama raga ini. itulah kau pria kuno dalam
aksara, dia aksaraku, dia Fraterku.
Di
antara barisan kertas, kau juga tak lupa menggores dengan pena nomor telepon,
untuk kuhubungi selepas ini.
Senja telah pergi dan malam datang begitu cepat. Selepas makan malam, aku mengambil handphone-ku dan menghubunginya meskipun dengan perasaan sedikit gugup dan malu-malu mau. Ia ternyata mengangkat teleponku dan ia mengatakan ia harus beristirahat karena perjalanan dari Kota dingin; Ruteng hingga ke kota terik; Maumere, yang begitu melelahkan. Aku kembali menutup teleponku. Tiba- tiba, handphone-ku kembali berdering, pertanda ada panggilan masuk. Ternyata kamu kembali menelponku dan mengatakan kalau, ia ingin berbincang-bincang denganku, prihal perjalanan yang melelahkan dan jatuh cinta yang begitu menyebalkan. Percakapan tercipta begitu bebas dan rapi. Ia men-sharingkan tentang perjalanannya. Namun, di luar dugaanku. Ia membelokkan percakapan kami kepada sebuah topik tentang pertemuanku dengannya, yang membuat ia tak ingin lagi untuk kembali ke Maumere. Ia mengatakan selama hidupnya, ia belum pernah bertemu malaikat sepertiku. Entahlah ini sebuah gombalan ataukah sebuah pengakuan yang Purna. Ia juga mengungkapkan perasaan kagumnya tentangku. Itulah sebuah awal dan percapakan yang baik dan terciptalah sebuah perasaan yang kuat. Aku jatuh cinta denganmu, pria kuno dalam aksara!.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan, musim berganti musim dan aku tak sedikit pun berubah demi dirimu, kekasih. Kalau benar, kita berjodoh itu adalah anugerah sekaligus dosa terberatku, untuk Tuhanku. Anugerah bila sungguh-sungguh memilikimu begitu purna hingga waktu ini sirna dan dosa bila aku adalah orang yang bersikeras mengambil paksa dirimu dari panggilan Tuhan. Entahlah, mengapa aku sampai berpikir begitu tentangmu dan tentangku. Jujur, aku telah jatuh dalam sebuah perasaan dan kenyamanan yang tak terkatakan, bahkan puisimu tak mampu melukiskan seberapa bahagia aku sekarang. Tak kusadari pula, ternyata aku juga takut kehilanganmu. Bukan karena jumbai jubahmu yang elegan atau gelarmu yang begitu menawan, melainkan perasaanku yang jatuh karenamu. Itulah alasanku.
Hari ini Ruteng begitu berbeda dari
hari-hariku sebelumnya. Ruteng begitu panas dan gerah yang tercipta begitu
ganas. Tiba-tiba tante Mia, mamanya Frater Kevin. datang ke rumahku, untuk
bertemu dengan ayah dan ibuku. Tumben tante Mia datang. Pasti ada sesuatu hal
penting yang ingin dia bicarakan dengan ayah dan ibuku. Dari sela-sela kain
pintu, aku menguping percakapan mereka. Namun, ada satu hal yang membuat aku
begitu lemah bahkan kecewa yang tak lagi terkatakan. Kalau Kevin akan segera
ditahbiskan menjadi Imam Projo Keuskupan Ruteng. Rasa kesal dan kecewa pada
Kevin semakin menggila, aku begitu tak percaya dengan berita itu. Kalau tanggal
20 september 2021. Ia memilih Tuhan selamanya dan aku ditinggal
dengan begitu tega. Aku seolah mempertanyakan kenyamanan yang diberikan oleh
Kevin serentak kenyataan yang begitu pahit. Bagai menelan pil pahit. Aku
teramat teriris waktu itu, bahwa selama ini aku adalah salah satu orang yang
begitu kuat dan percaya padanya dan kenyamanan yang ia berikan adalah sebuah
kebohongan yang begitu menjebak perasaan ini. Bibir yang pernah terukir karena
leluconmu, yang pernah tertawa renyah harus benar-benar sirna, lantaran air
mata dan luka yang kau ciptakan dari kebohonganmu. Tuhan! ternyata doaku lebih
lemah dari kuasa-Mu, yang begitu dashyat. Aku mencintaimu kemarin, kevin. Hari
ini aku benar-benar membencimu. Kemarin kau bilang aku adalah malaikat dan hari
ini aku bagimu aku adalah bangsat yang hadir dalam hidupmu. “Tuhan, aku kalah”.
Benar-benar kalah bahkan lelah pada doaku, yang hanya sampai di ujung kaki-Mu.
Tuhan, aku mencintainya namun cinta-Mu mengalahkan cintaku. Aku tahu itu,
Tuhanku. Kevin, jadilah imam Tuhan, yang baik. Meskipun di balik amarahku yang
membuncah, masih ada setitik baikku dalam mendoakanmu. Mau tak mau, bahkan tak
mau terluka olehmu, aku pamit. Gembalakan dombamu, dan jadikan aku domba di
ladangmu. Selamat berkarya!. Doaku menyertaimu, Kevin.
Frater aku terlena akan rupamu,
Aku berduka atas hilangmu.
No comments:
Post a Comment