MIA
CULPA
“Binasalah
kami! karena dalam satu hal, musuh kami telah menang, yakni saat dia melakukan
terhadap kami hal-hal yang tak dapat kami ukir dengan kata-kata yang kami
miliki”
Pencarian
akan sekelumit rasa aman,
membuahkan rentetan narasi pencarian dan perjalanan akan sesuatu yang melampaui
diri. Melalui
pengalaman personal dan kolektif, timbul sebuah ketergerakan diri untuk
meyakini dan mengenal secara lebih intim. Hal itu menjadi familier dengan ungkapan
kata iman. Pelbagai definisi tentang iman, merupakan kekhasan akal budi. Namun tetap
berpatok pada pemaknaan dan tujuan yang sama, yakni respons atau tanggapan atas
sapaan pada Dia yang memanggil. Ungkapan
kata Dia, merupakan gambaran dasar yang lazim disebut dalam pelbagai keyakinan,
yaitu Allah.
Kemapanan
dan pertumbuhan iman semakin pesat dalam peradapan manusia. Setiap pribadi
terus-menerus menaruh harap dengan pelbagai ungkapan atau ritus yang dibuat
berlandas corak keyakinan yang dianut. Khususnya dalam Gereja Katolik, setiap pribadi
diwajibkan untuk berbakti dan mengikuti aturan yang dibuat, agar angkara murka
Allah tidak turun atas dirinya.[1]Dalam
pandangan dunia kontemporer, iman mengalami ekspansi arah serta timbul
penyusutan yang fluktuatif. Penyusutan terjadi, perihal moralitas diri yang
semakin relatif dan defleksibel. Gambaran utuh pengenalan Allah sebagai tujuan
dan sumber hidup yang memberi arah kepada kebenaran moral, hanyalah utopia yang
jauh dari panggang api kenyataan.[2]Kejatuhan,
kejauhan, dan ketertinggalan membentuk kebobrokan moral yang membuahkan
keretakan dan kesuraman iman umat. Untuk apa kami taat bila mereka pun tertutup dan tidak
taat.[3]Hal ini yang lebih
diperuncing dengan peretasan masalah-masalah internal di dalam Gereja Katolik Roma.
Seorang
jurnalis terkenal dan tersohor asal Prancis Federich Martel[4]mampu
mengupas sekelumit narasi kelam yang rapat terbungkus dalam menara gading.
Bukunya yang berjudul in the closet the vatican, menggemparkan antero
jagat khususnya komunitas Gereja Katolik
Roma. Empat tahun melakukan penelitian, menghasilkan maha karya yang sedari
luput menjadi diliput. Hidup
ganda para klerus telah membuat gereja terdistorsi dengan rasa canggung dan terjerumus
dalam budaya kabung hitam alias tertutup. Tragis akan kisah wawancara yang
dilakukan dan diungkapnya, yakni:
‘They
inspected us in turn, and all of a sudden they pointed at me. They said: “You!”
They asked me to come with them and wouldn’t let me go. They wanted to see me
all the time. It was a very insistent form of advance,’ the former seminarian
tells me (and he is still, when I meet him 20 years later, very charming).
During John Paul II’s visit, the pope’s dose colleagues pushed this seminarian
to the front, petting and fussing over him. They presented him to the pope in
person and asked him to go up on stage with him three times. T worked out that
they were there on the hunt. They cruised the young men and made advances to me
without hesitation. At the end of the trip they invited me to come and visit
them in Rome and stay with them. They told me they could put me up at the
Vatican and show me the pope’s office. I could see what they expected of me. I
didn’t respond to their advances. I failed my vocation! Otherwise,’ he adds, 1
might be a bishop today!*[5]
Penerangan tertulis tersebut menitik
berat pada kejadian faktual. Rangkain narasi yang diceritakan, merupakan satu
dari pelbagai kasus pelecehan yang terjadi. Ungkapan yang terjadi dari Pelbagai kalangan, kelihatannya begitu
getol untuk melakukan proses lanjut pembongkaran masalah, hingga hasrat untuk diproses peradilan yang setara. Namun hasilnya masih
berbuah minus dalam realitas. Hal ini dapat diterangkan dalam dua poin inti:
· Menutup
diri. Ketika kasus hampir terendus, maka segala upaya mesti dilakukan, yakni
menutup diri dan terhidar dari liputan media, berusaha selalu membentengi diri, bahwa
semuanya hanyalah kesalah pahaman.
·
Mutasi bak lagu lama.
Migrasi ke lahan baru untuk menutupi dan memberi sanksi serta rehabilitasi, bukan
merupakan upaya solutif melainkan memindahkan kasus lama ke tempat lain.
Penjelasan tesebut, merupakan narasi
pelecehan terhadap maratabat. Tubuh
merupakan kenisah, gambar dan rupa Allah. Bila ternoda, jelas pula tersirat
penodaan terhadap Allah. Berkaitan dengan kasus ini, pempinan tertinggi Gereja,
yakni Paus Fransisikus,
dalam tanggapaanya ia berkata:
Saya
senang bahwa kita berbicara tentang 'homo seksual' karena di atas semuanya adalah
tentang keutuhan dan martabat masing-masing individu dan orang-orang tidak harus
mendefinisikan hanya dengan kecenderungan seksual mereka: janganlah kita lupa
bahwa Allah mengasihi semua ciptaan-Nya dan kita ditakdirkan untuk menerima
cintanya yang tak terbatas. "Saya lebih suka bahwa homo seksual datang ke
pengakuan, bahwa mereka tetap dekat dengan Tuhan, dan bahwa kita
berdoa bersama-sama,"[6]
Peryataan tersebut memberikan dualisme
pandangan bagi umat. Di
satu sisi, tidak adanya penindak lanjutan dengan tegas, pula di sisi lain, membuka
peluang bagi para pelaku untuk terus bertengger dalam tipikal buruknya. Mungkinkah
hal ini menjadi sebuah bom pemusnah iman umat? Hal ini, kembali kepada
penerimaan, pembawaan dan pengekspresian diri
dari masing-masing pribadi.
Mengenai hal ini, penulis hanya memberikan solusi arif dan efisien yang berdaya guna bagi pelaku dan umat dengan menumbuhkan pengetahuan diri. Manusia yang bernilai adalah manusia yang dapat mengendalikan diri. Maka kenalilah dirimu, agar ketidak beralihan kepentingan, dari umum ke khusus atau countertransference. Juga melakukan perawatan diri. Pengabaian diri dan lebih mementingkan orang lain. sikap ini nampaknya positif, karena bermakna altruistik, tetapi akan menjadi negatif, bila sudah terkontaminasi dengan hasrat atau napsu. Mengenai hal ini, umat juga disadarkan sebagai homo viactors. Artinya memiliki kejelasan pada tujuan dan kebergantungan pada yang luhur. Bila saya percaya, maka segala permasalahan tidak menjadi momok pengaburan iman. Namun perlu juga ketegasan hukum agama yang telah tertera dalam hasil pertemuan yang dirampungkan pada sebuah dokumen berjudul lumen veritas, agar berbuah baik dalam pelaksanaan menjunjung martabat dan penumbuhan iman umat.
[1]Bdk, hukum sepuluh perintah
Allah yang pertama.
[2]Bdk, Richard M. Gula, S.S. etika
pastoral, (Jl. Cempaka 9, Deresan, Yogyakarta:Penerbit kanisius, 2009),
hlm. 24.
[3]Tafsiran dari ungkapan
Inggris, Jesus yes, chruch no.
[4]Seorang
jurnalis, peneliti, dan penulis kelahiran Prancis 28 Oktober, 1967. Karaya-karya terkenalnya, yakni merah muda
dan hitam, de la culture en Amérique, mainstream. Dari tahun 2012 hingga 2013, ia adalah peneliti senior di
IRIS, Institut de Relations Internationales & Stratégiques. Sejak
2014, dia menjadi peneliti senior di bidang budaya dan internet di ZHdK
University di Zurich (Swiss).
[5]Federch martel, in the
closet of the vatican, terj. Shaun
Whiteside, (london oxford new york: bloomsbury continuum, 2019), hlm. 254. Gambaran terjemahan: Mereka memeriksa kami
secara bergiliran, dan tiba-tiba mereka menunjuk ke arah saya. Mereka berkata:
"Kamu!" Mereka meminta saya untuk ikut dengan mereka dan tidak
mengizinkan aku pergi. Mereka ingin melihat saya sepanjang waktu. Itu adalah
bentuk yang sangat mendesak sebelumnya, 'kata mantan seminaris itu kepada saya
(dan dia diam, ketika saya bertemu dia 20 tahun kemudian, sangat menawan).
Selama kunjungan Yohanes Paulus II, kolega dosis paus mendorong seminaris ini
ke depan, membelai dan meributkannya. Mereka mempresentasikannya Paus secara
pribadi dan memintanya untuk naik ke panggung bersamanya tiga kali. Saya tahu
bahwa mereka ada di sana untuk berburu. Mereka menjelajah anak muda pria dan
mendekati saya tanpa ragu-ragu. Di akhir perjalanan mereka mengundang saya
untuk datang dan mengunjungi mereka di Roma dan tinggal bersama mereka. Mereka
mengatakan kepada saya bahwa mereka dapat menempatkan saya di Vatikan dan
menunjukkan kantor Paus.
Saya bisa melihat apa yang mereka harapkan dari saya. Saya tidak menanggapi
ajakan mereka. Saya
gagal panggilan saya! Jika tidak, dia menambahkan, saya mungkin akan menjadi
uskup hari ini!
[6]Tempo, https://dunia.tempo.co/read/736878/buku-baru-paus-fransis-soal-perkawinan-dan-juga-homoseksual/full&view=ok diakses pada tanggal 18 Frebuari,
2021.
Editor: Adel
No comments:
Post a Comment