Iklan

MIA CULPA (Opini Poferello)

inspirasiindo
Tuesday, 20 September 2022 | September 20, 2022 WIB Last Updated 2022-09-21T02:37:30Z
MIA CULPA (Opini Poferello)

MIA CULPA

“Binasalah kami! karena dalam satu hal, musuh kami telah menang, yakni saat dia melakukan terhadap kami hal-hal yang tak dapat kami ukir dengan kata-kata yang kami miliki”

Pencarian akan sekelumit rasa aman, membuahkan rentetan narasi pencarian dan perjalanan akan sesuatu yang melampaui diri. Melalui pengalaman personal dan kolektif, timbul sebuah ketergerakan diri untuk meyakini dan mengenal secara lebih intim. Hal itu menjadi familier dengan ungkapan kata iman. Pelbagai definisi tentang iman, merupakan kekhasan akal budi. Namun tetap berpatok pada pemaknaan dan tujuan yang sama, yakni respons atau tanggapan atas sapaan pada Dia  yang memanggil. Ungkapan kata Dia, merupakan gambaran dasar yang lazim disebut dalam pelbagai keyakinan, yaitu Allah.

Kemapanan dan pertumbuhan iman semakin pesat dalam peradapan manusia. Setiap pribadi terus-menerus menaruh harap dengan pelbagai ungkapan atau ritus yang dibuat berlandas corak keyakinan yang dianut. Khususnya dalam Gereja Katolik, setiap pribadi diwajibkan untuk berbakti dan mengikuti aturan yang dibuat, agar angkara murka Allah tidak turun atas dirinya.[1]Dalam pandangan dunia kontemporer, iman mengalami ekspansi arah serta timbul penyusutan yang fluktuatif. Penyusutan terjadi, perihal moralitas diri yang semakin relatif dan defleksibel. Gambaran utuh pengenalan Allah sebagai tujuan dan sumber hidup yang memberi arah kepada kebenaran moral, hanyalah utopia yang jauh dari panggang api kenyataan.[2]Kejatuhan, kejauhan, dan ketertinggalan membentuk kebobrokan moral yang membuahkan keretakan dan kesuraman iman umat. Untuk apa kami taat bila mereka pun tertutup dan tidak taat.[3]Hal ini yang lebih diperuncing dengan peretasan masalah-masalah internal di dalam Gereja Katolik Roma.

Seorang jurnalis terkenal dan tersohor asal Prancis Federich Martel[4]mampu mengupas sekelumit narasi kelam yang rapat terbungkus dalam menara gading. Bukunya yang berjudul in the closet the vatican, menggemparkan antero jagat khususnya komunitas Gereja Katolik Roma. Empat tahun melakukan penelitian, menghasilkan maha karya yang sedari luput menjadi diliput. Hidup ganda para klerus telah membuat gereja terdistorsi dengan rasa canggung dan terjerumus dalam budaya kabung hitam alias tertutup. Tragis akan kisah wawancara yang dilakukan  dan  diungkapnya, yakni:

‘They inspected us in turn, and all of a sudden they pointed at me. They said: “You!” They asked me to come with them and wouldn’t let me go. They wanted to see me all the time. It was a very insistent form of advance,’ the former seminarian tells me (and he is still, when I meet him 20 years later, very charming). During John Paul II’s visit, the pope’s dose colleagues pushed this seminarian to the front, petting and fussing over him. They presented him to the pope in person and asked him to go up on stage with him three times. T worked out that they were there on the hunt. They cruised the young men and made advances to me without hesitation. At the end of the trip they invited me to come and visit them in Rome and stay with them. They told me they could put me up at the Vatican and show me the pope’s office. I could see what they expected of me. I didn’t respond to their advances. I failed my vocation! Otherwise,’ he adds, 1 might be a bishop today!*[5]

Penerangan tertulis tersebut menitik berat pada kejadian faktual. Rangkain narasi yang diceritakan, merupakan satu dari pelbagai kasus pelecehan yang terjadi. Ungkapan yang terjadi  dari Pelbagai kalangan, kelihatannya begitu getol untuk melakukan proses lanjut pembongkaran masalah, hingga  hasrat untuk diproses peradilan yang setara. Namun hasilnya masih berbuah minus dalam realitas. Hal ini dapat diterangkan dalam dua  poin inti:

·       Menutup diri. Ketika kasus hampir terendus, maka segala upaya mesti dilakukan, yakni menutup diri dan terhidar dari liputan media,  berusaha selalu membentengi diri, bahwa semuanya hanyalah kesalah pahaman.

·       Mutasi bak lagu lama. Migrasi ke lahan baru untuk menutupi dan memberi sanksi serta rehabilitasi, bukan merupakan upaya solutif melainkan memindahkan kasus lama ke tempat lain.

Penjelasan tesebut, merupakan narasi pelecehan terhadap maratabat. Tubuh merupakan kenisah, gambar dan rupa Allah. Bila ternoda, jelas pula tersirat penodaan terhadap Allah. Berkaitan dengan kasus ini, pempinan tertinggi Gereja, yakni Paus Fransisikus, dalam tanggapaanya ia berkata:

Saya senang bahwa kita berbicara tentang 'homo seksual' karena di atas semuanya adalah tentang keutuhan dan martabat masing-masing individu dan orang-orang tidak harus mendefinisikan hanya dengan kecenderungan seksual mereka: janganlah kita lupa bahwa Allah mengasihi semua ciptaan-Nya dan kita ditakdirkan untuk menerima cintanya yang tak terbatas. "Saya lebih suka bahwa homo seksual datang ke pengakuan, bahwa mereka tetap dekat dengan Tuhan, dan bahwa kita berdoa bersama-sama,"[6]

Peryataan tersebut memberikan dualisme pandangan bagi umat. Di satu sisi, tidak adanya penindak lanjutan dengan tegas, pula di sisi lain, membuka peluang bagi para pelaku untuk terus bertengger dalam tipikal buruknya. Mungkinkah hal ini menjadi sebuah bom pemusnah iman umat? Hal ini, kembali kepada penerimaan, pembawaan dan pengekspresian diri dari masing-masing pribadi.

Mengenai hal ini, penulis hanya memberikan solusi arif dan efisien yang berdaya guna bagi pelaku dan umat dengan menumbuhkan pengetahuan diri. Manusia yang bernilai adalah manusia yang dapat mengendalikan diri. Maka kenalilah dirimu, agar ketidak beralihan kepentingan, dari umum ke khusus atau countertransference. Juga melakukan perawatan diri. Pengabaian diri dan lebih mementingkan orang lain. sikap ini nampaknya positif, karena bermakna altruistik, tetapi akan menjadi negatif, bila sudah terkontaminasi dengan hasrat atau napsu. Mengenai hal ini, umat juga disadarkan sebagai homo viactors. Artinya memiliki kejelasan pada tujuan dan kebergantungan pada yang luhur. Bila saya percaya, maka segala permasalahan tidak menjadi momok pengaburan iman. Namun perlu juga ketegasan hukum agama yang telah tertera dalam hasil pertemuan yang dirampungkan pada sebuah dokumen berjudul lumen veritas, agar berbuah baik dalam pelaksanaan menjunjung martabat dan penumbuhan iman umat.


[1]Bdk, hukum sepuluh perintah Allah yang pertama.

[2]Bdk, Richard M. Gula, S.S. etika pastoral, (Jl. Cempaka 9, Deresan, Yogyakarta:Penerbit kanisius, 2009), hlm. 24.

[3]Tafsiran dari ungkapan Inggris, Jesus yes, chruch no.

[5]Federch martel, in the closet of  the vatican, terj. Shaun Whiteside, (london oxford new york: bloomsbury continuum, 2019), hlm. 254. Gambaran terjemahan: Mereka memeriksa kami secara bergiliran, dan tiba-tiba mereka menunjuk ke arah saya. Mereka berkata: "Kamu!" Mereka meminta saya untuk ikut dengan mereka dan tidak mengizinkan aku pergi. Mereka ingin melihat saya sepanjang waktu. Itu adalah bentuk yang sangat mendesak sebelumnya, 'kata mantan seminaris itu kepada saya (dan dia diam, ketika saya bertemu dia 20 tahun kemudian, sangat menawan). Selama kunjungan Yohanes Paulus II, kolega dosis paus mendorong seminaris ini ke depan, membelai dan meributkannya. Mereka mempresentasikannya Paus secara pribadi dan memintanya untuk naik ke panggung bersamanya tiga kali. Saya tahu bahwa mereka ada di sana untuk berburu. Mereka menjelajah anak muda pria dan mendekati saya tanpa ragu-ragu. Di akhir perjalanan mereka mengundang saya untuk datang dan mengunjungi mereka di Roma dan tinggal bersama mereka. Mereka mengatakan kepada saya bahwa mereka dapat menempatkan saya di Vatikan dan menunjukkan kantor Paus. Saya bisa melihat apa yang mereka harapkan dari saya. Saya tidak menanggapi ajakan mereka. Saya gagal panggilan saya! Jika tidak, dia menambahkan, saya mungkin akan menjadi uskup hari ini!

Editor: Adel



 

 


Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • MIA CULPA (Opini Poferello)

No comments:

Post a Comment

Trending Now

Iklan