![]() |
Sumber gambar: https://health.okezone.com/read/2013/02/06/482/757449/berhenti-merokok-bikin-anda-cemas-mitos-atau-fakta |
Aku hanyalah kenangan yang tak patut kau ingat,
Sebatas kebetulan yang membuatmu risih adalah adaku,
Aku debu yang terus merusak pandangan matamu!
Semoga bahagiamu selangit,
Doa-doamu tentang kebahagiaan terwujud bersamanya,
Pelukannya menghangatkanmu lebih dari lantunan puisiku,
Bisikannya lebih menjanjikan daripada aku yang kurang dalam segala sisi,
Cintanya memampukanmu untuk tak meninggalkannya tiba-tiba.
***
Februari membuat kota ini sendu. Tetesan hujan yang sekenanya membatasi aktivitas manusia yang biasanya bergerak ke berbagai arah. Hingga yang tinggal adalah sepi, sunyi, sendiri, dan rindu. Kepada apa semuanya terarah aku tak tahu pasti.
Aku bukan peramal bukan? Aku hanya penghuni kamar atas, senakel kadang kusebut, di pinggiran kota nan adem dan ramah ini: Malang namanya. Sore ini, di hari ke dua belas dengan rinai hujan yang sama, aku adalah sepi, sunyi, sendiri, dan rindu itu sendiri. Tentang rindu, tiada tempat untukku mengalamatkannya.
Barangkali pada secangkir kopi yang menemani diri sambil menanti hujan berhenti atau atas sebatang rokok yang meninggalkan asap-asap keputusasaan tatkala irama hujan pada atap perlahan menghilang. Absurd. Bukan main! Rindu meluap begitu saja memenuhi ruangan tak lebih dari tiga kali empat meter ini. Tak pernah ia melarikan diri lewat jendela di sisi kamar dan menyusup menuju hati seorang kekasih yang memutuskan untuk tak berkabar lagi meski berada dalam ruang dan zona waktu yang sama.
Tak apa, setidaknya sepi, sunyi, dan sendiri memaksa jari-jemari, yang ‘pegal-pegal’ sebab jarang menulis lagi, agar kembali merangkai kata dalam sebuah catatan yang nantinya dapat dikenang oleh siapapun, termasuk para skeptis yang menganggap kenangan adalah sampah, masa lalu itu penjara, dan cinta itu permainan bahasa yang melulu menyakitkan.
Atas dorongan sepi, sendiri, dan sunyi yang begitu kuat dan memaksa, aku hendak berbicara kepada kalian semua tentang cinta yang mekar di masa lalu dan membunuh di masa kini: keseharian, rasa, empati, semuanya. Tentang kenangan yang menjadi kehilangan. Tentang penantian yang berujung pemberontakan terhadap Tuhan yang mempertemukan lalu memisahkan semaunya.
***
Dari ruang atas ini, aku ingin bersaksi bahwa tidak pernah ada yang namanya takdir. Itu adalah bahasa penghiburan semata. Yang ada sebenarnya ialah kebetulan. Sikap gadis berambut ikal nan menawan dari seberang pulau-lah yang membuatku begitu yakin dengan ini. Baginya cinta adalah kebetulan. Pertemuan dengan seseorang adalah kebetulan. Menyukai hal yang sama adalah kebetulan. Mengelilingi malam dan menikmati secangkir kopi sembari menunaikan puisi-puisi asmara laksana mazmur pemikat hati Sang Khalik adalah kebetulan. Cinta adalah kebetulan. Mencintai adalah fiksi yang direkayasa kebetulan. Singkatnya kebetulan adalah suatu kata dan kesempatan yang membuat aku, dia, dan kita bertemu dengan seseorang yang juga secara kebetulan memiliki kesempatan yang sama dengan kita, selera yang serupa, dan lainnya.
Skema kebetulan ini mungkin nyata dalam masa lalu yang hingga saat sekarang menempatkanku dalam ketakberdayaan. Sebab memutuskan untuk melupakannya tak pernah direstui nurani, dan kembali kepada genangan suka bersamanya di masa lalu menikam hati lebih dalam hingga luka yang kutanggung kian melebar: bak Daud yang ditantang berperang oleh Goliat, aku dihadapkan pada kenyataan yang tampak lebih kuat dari apa yang bisa kutentang! Tapi di atas semuanya aku telah menang. Ketika menemui cinta sebagai kebetulan dan bukan takdir, aku keluar sebagai pemenang. Aku mulai yakin bahwa bertemu dengan dia hanyalah satu dari sekian kebetulan yang diciptakan semesta. Kebetulan yang mengenakan tapi mengancam kedaulatan jiwa yang sejatinya dapat mati karena pergimu yang tiba-tiba.
***
Rabu, 2 Maret 2022, adalah sebuah kebetulan yang mempertemukan aku dengan dirimu. Sebuah kebetulan yang membuat hati yang suram dan kosong kembali pulih dan terisi penuh sebab sentuhan lembut jemarimu yang menggenggam tanganku. Tawamu yang renyah menenangkan diri yang tengah gelisah lantaran pikiran berkecamuk. Hati kita yang bertaut menumbuhkan kembali ruang-ruang kematian jiwa yang sebelumnya dilukai begitu saja.
Ya, kebetulan yang membuat aku yakin bahwa cinta itu sederhana dan tak serumit yang aku bayangkan. Malam itu, mata kita yang berbicara malu-malu sebab baru bertemu dalam ruang nyata meyakinkan aku tentang kamu yang tak akan pernah berubah. Tentang kamu yang setia di sampingku. Tentang kamu yang mau mendengarkanku kapan saja. Tentang kamu yang mendukungku meski langkah-langkahku mengecewakan orang lain. Dan, tentang kamu yang tidak akan pergi walau aku telah tak menjadi seperti yang kau harapkan. Pun tentang kita yang melawan ketakselarasan: kamu adalah sosok yang tak pantas bersanding dengan musafir tak menjanjikan kebahagiaan seperti diriku; aku hanyalah debu yang mencoba merayu matamu tuk sekadar memperhatikan aku tatkala angin menempatkanku pada kakimu!
Sejak berjumpa denganmu kala itu, aku tak sedikitpun merasa jatuh pada hati yang salah. Tatapanmu meyakinkan aku tentang ketulusan. Hangat kata-katamu menguatkan aku bahwa tidak ada cinta yang lain selain dirimu. Senyummu yang tanpa kepura-puraan menenangkan diri pada ketakutan dan kegelisahan tentang kemungkinan pergimu saat aku tak lagi berada pada posisi yang kau inginkan. Kau tahu, malam itu aku bertaruh pada semesta yang katanya pandai mereka ulang sejarah dan berdebat dengan Sang Khalik yang diimani mampu melakukan apapun!
Aku terlampau percaya bahwa kita akan berjuang bersisian. Tak lari bila yang satu jatuh. Bertahan bila banyak orang menilai kita salah. Kuatkan jika salah satu dari kita lelah. Semuanya! Itu namanya cinta bukan? Yang muncul bukan karena saling butuh, tapi karena menentang ego dan berupaya saling mengerti. Yang mencari bukan demi mengisi waktu luang dan menghapus kebosanan, tapi karena rindu yang tak terbendung: bukankah setiap saat kamu meneguhkanku bahwa rindu harus dituntaskan?
Tapi keyakinan, kepercayaan, dan makna cinta itu runtuh seketika ketika dirimu memutuskan untuk pergi dan menghilang tak lagi berkabar. Hatimu tiba-tiba kaukunci rapat-rapat dan tak lagi membiarkanku menjamahnya. Namaku mungkin bagimu menjadi rangkaian huruf paling menakutkan yang layak kau benci, lukai, permainkan, dan lupakan.
Aku yakin kamu bahagia dengan semuanya. Tawamu masih sama. Hari-harimu tetap berwarna dan bermakna sebab tiada lagi tergugat kehadiranku yang mungkin mengganggumu. Tapi, tak sedikit-kah kau memperdulikan aku? Yang menjadi hampa. Aku yang menjelma muram dan tiada lagi membara mengisi diri dan catatan menakjubkan dalam kehidupan yang serba singkat. Aku yang menutup diri dan hancur walau pura-pura merasa lepas dari deraan luka yang bertambah dalam tiap mengingatmu. Aku yang patah! Kau merenggut segalanya!
***
Cinta itu kebetulan. Lagi kuingat kalimatmu malam itu. Kini, di hari yang kian temaram dan makin damai sepeninggalan hujan, aku sepakat denganmu. Mungkin apa yang terjadi di antara kita adalah kebetulan yang membuatku jatuh cinta. Kebetulan yang membuatku merasa nyaman bersamamu: mendengarmu bercerita, menyentuh lembut pipimu, memaksamu agar tak mengnucir rambutmu yang menurutku lebih indah dari siapapun, menulis sajak-sajak tentang indah parasmu, dan segalanya!
Bersama selembar kesaksian yang lahir karena paksaan sunyi, sepi, dan sendiri sebab hujan Februari di pinggiran kota ini, aku ingin dirimu memaafkanku diri ini. Jika bertemu denganku adalah kebetulan yang membuatmu terluka dan merasa terpojokan, lupakanlah! Hapuslah aku dari sejarah hidupmu. Biarkan aku yang menanggungnya. Menghembuskannya bersama asap kretek yang kuhirup, menyisakan abu pada meja! Bolehkan aku mencintaimu terus mesti tanpa persetujuanmu.
Selamat menunaikan kidung cinta bersama seseorang yang bertemu dengan dalam sebuah kebetulan lainnya. Seseorang yang tak seperti aku: lelaki tak berwibawa yang memaksakan rasaku hanya karena aku mencintaimu dalam ketulusan dan keikhlasan!
No comments:
Post a Comment