Oleh: Gantala Antari
Penulis merupakan Siswi Kelas IX SMP Pius Pemalang
InspirasiINDO.Com. Wajahnya di terpa angin malam, kakinya menjuntai kebawah dengan di ayunkan santai. Matanya terpejam saat di terpa angin, sensasi geli membuat bulu kuduknya berdiri kedinginan. Perasaan yang memancingnya untuk meminta lebih lagi.
Gadis itu tengah menyenandungkan lagu yang berjudul “Lara” yang membuatnya semakin menikmati indahnya malam ini.
Cahaya rembulan dan bintang yang menyinari dunia dengan begitu indahnya menyala terang di tengah langit malam yang di dominasi oleh warna gelap dan sunyi.
Jemari lentik gadis itu membalikkan halaman demi halaman buku yang ia gemari minggu ini. Matanya menyusuri kata demi kata dan memahaminya.
Sesekali gadis itu memandang langit yang tak kunjung menunjukkan sang mentari. Kemudian ia menutup bukunya dan menaruhnya tepat di sebelahnya, di sesapnya secangkir kopi yang sudah dingin lalu di taruh di sebelah badannya. Matanya tampak menyala di tengah-tengah kesunyian malam ini, namun gadis itu begitu lelah.
Rasanya ingin sekali menidurkan diri di atas kasur yang begitu empuk, namun ia tidak bisa. Suasana rumahnya hancur berantakan seperti percuma saja ia menidurkan diri diatas kasur yang nyaman namun di balik pintu kayu kamarnya berisik dengan perdebatan kedua insan yang membuatnya semakin lelah.
Perdebatan yang setiap harinya mereka lakukan berdampak pula pada gadis kecil mereka. Semenjak kecil ia menganggap perdebatan orang tuanya adalah hal yang normal, namun sekarang ia sudah tahu bahwa kondisi keluarganya bukanlah hal yang wajar.
Ia bahkan merasa begitu cemburu dengan keluarga kawan-kawan sekolahnya yang berhasil mendapatkan pujian dari kedua orang tuanya, mendapatkan kecupan kasih sayang, mendapatkan usapan di kepala, mendapatkan uang saku atau bekal yang di buatkan ibunda mereka.
Sekarang gadis itu berpikir sejenak sebelum melanjutkan aksinya ia meracaukan sesuatu “Dunia tidak pernah adil untukku, sebenarnya apakah aku pantas mendapatkan semua luka ini? Tekanan batin yang harus aku tanggung sejak aku kecil?” tanyanya pada semesta di sekitarnya.
Beberapa saat kemudian ia mendesah frustasi karena tak kunjung mendapatkan jawaban dari semesta, gadis itu bergumam “Baik Nazeea Nadiandra, hidup sedikit lebih lama lagi bukanlah hal yang buruk. Aku masih punya pantai ini untuk pelarian sementara”
Fajar sudah mulai menampakkan diri, inilah saat yang tepat untuk Nazeea pulang ke rumahnya. Ia menggenggam buku yang ia baca dan mulai berjalan kearah kedua orang tuanya, meninggalkan kopi dingin di tempat terakhir kali ia meminumnya.
Kaki jenjangnya melangkah masuk ke rumah yang sudah berantakan seperti terkena angin topan. Piring dan barang-barang mudah pecah lainnya berakhir menjadi bagian-bagian tajam yang berserakkan di atas lantai, figura foto yang sudah pecah dan menyisakan foto jadul di dalamnya.
Nazeea memasukki kamar tidurnya dan segera mengganti bajunya dengan seragam sekolahnya, goresan yang berada di lengannya pun ia tutupi menggunakan jaket. Tali dengan simpul gantung yang di gantungkan oleh Nazeea sendiri menjuntai dengan indahnya, pisau silet yang bertebaran serta bercak darah yang telah lama berada di dinding menghiasi kamarnya yang berantakan ini.
Nazeea mengangkut tasnya dan melangkahkan kaki kembali untuk pergi ke sekolahnya. Ia berjalan sembari membungkuk, tangannya menggenggam erat tas yang berada di pundaknya. Ia berjalan menuju kelasnya dan duduk di bangku yang masih kosong. Bangku nomor dua dari belakang yang dekat dengan jendela.
Sepanjang pelajaran, gadis itu hanya menatap langit yang sedang berawan dan cerah. Fokusnya hanya kepada bagaimana caranya untuk bertahan hidup. Guru dan kawan-kawannya tidak memperhatikannya, menganggapnya sebagai sesosok makhluk tak kasat mata yang menumpang. N
amun dirinya pun juga tidak bisa melakukan apapun, ia tidak berani pada orang-orang di luar sana. Dunia begitu mengerikan. Kepalanya di tumpukan pada tangannya, tangan yang satunya hanya diam saja tidak bergerak. Kakinya di goyangkan tak nyaman, rasanya ingin sekali bergerak pulang ke pantai tempat pelariannya untuk hidup.
Sepulang sekolah, Nazeea membuka loker yang memang di sediakan untuknya dan seluruh siswa atau siswi disini. Gadis itu membukanya dan menemukan sejumlah sampah yang berada di dalamnya “Ulah-ulah para gadis itu lagi” ia menutup mata sejenak, ia lelah.
Kemudian Nazeea mengambil kantong kresek dan memasuk-masukkan sampah itu ke dalamnya. Ia membuangnya ke tempatnya dan berjalan pulang, masa bodoh dengan bukunya yang ia taruh di dalam tas semua.
Kali ini ia melangkah ke rumahnya, suasana sudah ramai. Teriakan, makian penuh kebencian di lontarkan oleh kedua insan itu. Nazeea memberanikan diri, lalu membuka pintu mantap. Dirinya masih di anggap tidak ada, mungkin karena gadis itu begitu diam mereka sampai tidak menyadari keberadaannya.
Namun tenyata itu kesalahan. Dirinya di teriaki oleh ayahnya, segala makian di lontarkannya kepada yang putri. Dengan segera Nazeea berlari menuju kamarnya dan menguncinya rapat-rapat “Keluar dasar kau anak tak tahu di untung! Kemana saja kau malam kemarin? Jawab aku dasar bocah” seru ayahnya yang membuat Nazeea bergetar hebat. Ia duduk diatas kasur yang berantakan dan menyandarkan dirinya di tembok, lututnya tertekuk ke atas dan tangannya memeluk lututnya.
Wajahnya di tenggelamkan di antara lututnya dan ia mulai meneteskan air mata. Rasa perih nan nyeri terasa di kepalanya. Rasanya pusing, darah tak kunjung berhenti. Luka batin dan fisik yang di berikan ayahnya tidak main-main. Meski kepalanya meminta untuk di istirahatkan, namun batinnya masih ingin menangis dan memikirkan nasibnya.
Batinnya selalu memaksa organ yang sudah lelah untuk melakukan hal yang menyakitkan “Ini salahku, seharusnya aku tak lahir. Jika aku lahir maka rumah tangga surgaku tidak akan seberantakkan ini” kalimat yang selalu ia ucapkan berulang kali.
Ia berjalan menuju nakas dekat tempat tidurnya dan mencari pisau silet. Ia mulai menggoreskannya ke lengan sebelah kirinya yang sebenarnya sudah sangat penuh dengan goresan-goresan hari-hari sebelumnya. Dirinya sangat sakit malam ini, tidak dapat berpikit jernih. Di butakan oleh bisikkan setan yang anehnya membuatnya begitu tenang. Darah menetes dari pelipisnya begitu juga dari lengan sebelah kirinya.
Tangannya bergetar hebat memikirkan hal yang bisa ia lakukan selanjutnya. Nazeea memanjat keluar dari kamarnya melalui jendela dan berlari menuju pantai. Pakaiannya berantakan benar, darah masih mengalir namun sudah tidak sederas di awal.
Gadis itu duduk di tempat yang sama dengan kemarin, ia masih menatap malam lagi. Kini sinar bulan tertutupi oleh awan, tak lama rintikkan hujan turuh dan membasahi seluruh tubuh Nazeea.
Pandangannya kosong, tak tahu harus berpulang kepada siapa. Di sandarkanya kepala yang penuh pikiran itu dan akhirnya mata yang belum tidur selama beberapa hari itu terpejam juga. Tubuhnya yang lelah dan remuk itu bersandar pada pohon di belakangnya. Dirinya tersenyum puas, ia akhirnya bisa merasakan ketenangan di tengah badai dan petir yang bisa saja menyambar dirinya.
Beberapa kali ia berterima kasih kepada semesta karena ia dapat merasakan ketenangan. Matanya di buka untuk beberapa saat, menatap pantai yang ombaknya menderu-deru reperti ingin menerkam Nazeea. Tatapannya kosong, dari ujung matanya ia mengeluarkan setitik demi setitik air mata. Ia sudah tidak di butuhkan lagi oleh alam, ia sudah tidak ada gunanya.
Rasanya ingin menyerah dan berpulang. Nazeea telah jatuh ke titik terkelam dan terdalam dari dunia. Ia tahu masih banyak orang yang lebih sakit ini dan berhasil bangkit, namun ia tak sekuat mereka. Tidak akan ada seorang pun yang akan duduk di sampingnya dan mendengarkan seluruh ceritanya, bahkan hewan sekali pun.
Namun kali ini keputusannya sudah bulat, ia akan mati di tangan sendiri. Ia berdiri dari duduknya dan melangkahkan kaki menuju tepi pantai. Hujan masih membasahi kotanya dan dirinya di malam itu. Seluruh indranya merasa senang. Ia merasa bahwa malam ini ia akan tertawa terbahak-bahak melepas beban di dunia. Ia bak di manjakan oleh semangat yang membara, jantungnya berdetak dengan cepat, seperti ingin keluar berpindah dari tempatnya.
Kata orang mereka takut untuk berakhir di tangan sendiri, namun apa jadinya kalau mereka sudah tidak kuasa menahan beban? Mencari simpati ke seluruh penjuru dunia?
Langkah demi langkah ia ambil sampai akhirnya setengah badannya tenggelam di bawah air pantai. Sebelum ia melanjutkan langkahnya, Nazeea tersenyum “terima kasih sudah mau menjadi tempat terakhirku menghembuskan napas dan tempat terakhir membaca buku sembari menyesap kopi yang sudah dingin. Sekali lagi, terima kasih banyak” kakinya mulai melangkah lagi.
Pada akhirnya, seluruh tubuhnya terendam air laut yang asin. Lambat laun napassnya mulai habis dan ia menutup mata. Menyadari kesenangan bahwa ia tidak akan sakit lagi
Penulis merupakan Siswi Kelas IX SMP Pius Pemalang
InspirasiINDO.Com. Wajahnya di terpa angin malam, kakinya menjuntai kebawah dengan di ayunkan santai. Matanya terpejam saat di terpa angin, sensasi geli membuat bulu kuduknya berdiri kedinginan. Perasaan yang memancingnya untuk meminta lebih lagi.
Gadis itu tengah menyenandungkan lagu yang berjudul “Lara” yang membuatnya semakin menikmati indahnya malam ini.
Cahaya rembulan dan bintang yang menyinari dunia dengan begitu indahnya menyala terang di tengah langit malam yang di dominasi oleh warna gelap dan sunyi.
Jemari lentik gadis itu membalikkan halaman demi halaman buku yang ia gemari minggu ini. Matanya menyusuri kata demi kata dan memahaminya.
Sesekali gadis itu memandang langit yang tak kunjung menunjukkan sang mentari. Kemudian ia menutup bukunya dan menaruhnya tepat di sebelahnya, di sesapnya secangkir kopi yang sudah dingin lalu di taruh di sebelah badannya. Matanya tampak menyala di tengah-tengah kesunyian malam ini, namun gadis itu begitu lelah.
Rasanya ingin sekali menidurkan diri di atas kasur yang begitu empuk, namun ia tidak bisa. Suasana rumahnya hancur berantakan seperti percuma saja ia menidurkan diri diatas kasur yang nyaman namun di balik pintu kayu kamarnya berisik dengan perdebatan kedua insan yang membuatnya semakin lelah.
Perdebatan yang setiap harinya mereka lakukan berdampak pula pada gadis kecil mereka. Semenjak kecil ia menganggap perdebatan orang tuanya adalah hal yang normal, namun sekarang ia sudah tahu bahwa kondisi keluarganya bukanlah hal yang wajar.
Ia bahkan merasa begitu cemburu dengan keluarga kawan-kawan sekolahnya yang berhasil mendapatkan pujian dari kedua orang tuanya, mendapatkan kecupan kasih sayang, mendapatkan usapan di kepala, mendapatkan uang saku atau bekal yang di buatkan ibunda mereka.
Sekarang gadis itu berpikir sejenak sebelum melanjutkan aksinya ia meracaukan sesuatu “Dunia tidak pernah adil untukku, sebenarnya apakah aku pantas mendapatkan semua luka ini? Tekanan batin yang harus aku tanggung sejak aku kecil?” tanyanya pada semesta di sekitarnya.
Beberapa saat kemudian ia mendesah frustasi karena tak kunjung mendapatkan jawaban dari semesta, gadis itu bergumam “Baik Nazeea Nadiandra, hidup sedikit lebih lama lagi bukanlah hal yang buruk. Aku masih punya pantai ini untuk pelarian sementara”
Fajar sudah mulai menampakkan diri, inilah saat yang tepat untuk Nazeea pulang ke rumahnya. Ia menggenggam buku yang ia baca dan mulai berjalan kearah kedua orang tuanya, meninggalkan kopi dingin di tempat terakhir kali ia meminumnya.
Kaki jenjangnya melangkah masuk ke rumah yang sudah berantakan seperti terkena angin topan. Piring dan barang-barang mudah pecah lainnya berakhir menjadi bagian-bagian tajam yang berserakkan di atas lantai, figura foto yang sudah pecah dan menyisakan foto jadul di dalamnya.
Nazeea memasukki kamar tidurnya dan segera mengganti bajunya dengan seragam sekolahnya, goresan yang berada di lengannya pun ia tutupi menggunakan jaket. Tali dengan simpul gantung yang di gantungkan oleh Nazeea sendiri menjuntai dengan indahnya, pisau silet yang bertebaran serta bercak darah yang telah lama berada di dinding menghiasi kamarnya yang berantakan ini.
Nazeea mengangkut tasnya dan melangkahkan kaki kembali untuk pergi ke sekolahnya. Ia berjalan sembari membungkuk, tangannya menggenggam erat tas yang berada di pundaknya. Ia berjalan menuju kelasnya dan duduk di bangku yang masih kosong. Bangku nomor dua dari belakang yang dekat dengan jendela.
Sepanjang pelajaran, gadis itu hanya menatap langit yang sedang berawan dan cerah. Fokusnya hanya kepada bagaimana caranya untuk bertahan hidup. Guru dan kawan-kawannya tidak memperhatikannya, menganggapnya sebagai sesosok makhluk tak kasat mata yang menumpang. N
amun dirinya pun juga tidak bisa melakukan apapun, ia tidak berani pada orang-orang di luar sana. Dunia begitu mengerikan. Kepalanya di tumpukan pada tangannya, tangan yang satunya hanya diam saja tidak bergerak. Kakinya di goyangkan tak nyaman, rasanya ingin sekali bergerak pulang ke pantai tempat pelariannya untuk hidup.
Sepulang sekolah, Nazeea membuka loker yang memang di sediakan untuknya dan seluruh siswa atau siswi disini. Gadis itu membukanya dan menemukan sejumlah sampah yang berada di dalamnya “Ulah-ulah para gadis itu lagi” ia menutup mata sejenak, ia lelah.
Kemudian Nazeea mengambil kantong kresek dan memasuk-masukkan sampah itu ke dalamnya. Ia membuangnya ke tempatnya dan berjalan pulang, masa bodoh dengan bukunya yang ia taruh di dalam tas semua.
Kali ini ia melangkah ke rumahnya, suasana sudah ramai. Teriakan, makian penuh kebencian di lontarkan oleh kedua insan itu. Nazeea memberanikan diri, lalu membuka pintu mantap. Dirinya masih di anggap tidak ada, mungkin karena gadis itu begitu diam mereka sampai tidak menyadari keberadaannya.
Namun tenyata itu kesalahan. Dirinya di teriaki oleh ayahnya, segala makian di lontarkannya kepada yang putri. Dengan segera Nazeea berlari menuju kamarnya dan menguncinya rapat-rapat “Keluar dasar kau anak tak tahu di untung! Kemana saja kau malam kemarin? Jawab aku dasar bocah” seru ayahnya yang membuat Nazeea bergetar hebat. Ia duduk diatas kasur yang berantakan dan menyandarkan dirinya di tembok, lututnya tertekuk ke atas dan tangannya memeluk lututnya.
Wajahnya di tenggelamkan di antara lututnya dan ia mulai meneteskan air mata. Rasa perih nan nyeri terasa di kepalanya. Rasanya pusing, darah tak kunjung berhenti. Luka batin dan fisik yang di berikan ayahnya tidak main-main. Meski kepalanya meminta untuk di istirahatkan, namun batinnya masih ingin menangis dan memikirkan nasibnya.
Batinnya selalu memaksa organ yang sudah lelah untuk melakukan hal yang menyakitkan “Ini salahku, seharusnya aku tak lahir. Jika aku lahir maka rumah tangga surgaku tidak akan seberantakkan ini” kalimat yang selalu ia ucapkan berulang kali.
Ia berjalan menuju nakas dekat tempat tidurnya dan mencari pisau silet. Ia mulai menggoreskannya ke lengan sebelah kirinya yang sebenarnya sudah sangat penuh dengan goresan-goresan hari-hari sebelumnya. Dirinya sangat sakit malam ini, tidak dapat berpikit jernih. Di butakan oleh bisikkan setan yang anehnya membuatnya begitu tenang. Darah menetes dari pelipisnya begitu juga dari lengan sebelah kirinya.
Tangannya bergetar hebat memikirkan hal yang bisa ia lakukan selanjutnya. Nazeea memanjat keluar dari kamarnya melalui jendela dan berlari menuju pantai. Pakaiannya berantakan benar, darah masih mengalir namun sudah tidak sederas di awal.
Gadis itu duduk di tempat yang sama dengan kemarin, ia masih menatap malam lagi. Kini sinar bulan tertutupi oleh awan, tak lama rintikkan hujan turuh dan membasahi seluruh tubuh Nazeea.
Pandangannya kosong, tak tahu harus berpulang kepada siapa. Di sandarkanya kepala yang penuh pikiran itu dan akhirnya mata yang belum tidur selama beberapa hari itu terpejam juga. Tubuhnya yang lelah dan remuk itu bersandar pada pohon di belakangnya. Dirinya tersenyum puas, ia akhirnya bisa merasakan ketenangan di tengah badai dan petir yang bisa saja menyambar dirinya.
Beberapa kali ia berterima kasih kepada semesta karena ia dapat merasakan ketenangan. Matanya di buka untuk beberapa saat, menatap pantai yang ombaknya menderu-deru reperti ingin menerkam Nazeea. Tatapannya kosong, dari ujung matanya ia mengeluarkan setitik demi setitik air mata. Ia sudah tidak di butuhkan lagi oleh alam, ia sudah tidak ada gunanya.
Rasanya ingin menyerah dan berpulang. Nazeea telah jatuh ke titik terkelam dan terdalam dari dunia. Ia tahu masih banyak orang yang lebih sakit ini dan berhasil bangkit, namun ia tak sekuat mereka. Tidak akan ada seorang pun yang akan duduk di sampingnya dan mendengarkan seluruh ceritanya, bahkan hewan sekali pun.
Namun kali ini keputusannya sudah bulat, ia akan mati di tangan sendiri. Ia berdiri dari duduknya dan melangkahkan kaki menuju tepi pantai. Hujan masih membasahi kotanya dan dirinya di malam itu. Seluruh indranya merasa senang. Ia merasa bahwa malam ini ia akan tertawa terbahak-bahak melepas beban di dunia. Ia bak di manjakan oleh semangat yang membara, jantungnya berdetak dengan cepat, seperti ingin keluar berpindah dari tempatnya.
Kata orang mereka takut untuk berakhir di tangan sendiri, namun apa jadinya kalau mereka sudah tidak kuasa menahan beban? Mencari simpati ke seluruh penjuru dunia?
Langkah demi langkah ia ambil sampai akhirnya setengah badannya tenggelam di bawah air pantai. Sebelum ia melanjutkan langkahnya, Nazeea tersenyum “terima kasih sudah mau menjadi tempat terakhirku menghembuskan napas dan tempat terakhir membaca buku sembari menyesap kopi yang sudah dingin. Sekali lagi, terima kasih banyak” kakinya mulai melangkah lagi.
Pada akhirnya, seluruh tubuhnya terendam air laut yang asin. Lambat laun napassnya mulai habis dan ia menutup mata. Menyadari kesenangan bahwa ia tidak akan sakit lagi
Tentang penulis
Levina Novariany Soetanto (Gantala Antari) , lahir di kota Semarang pada tanggal 23 November 2009, yang masih menginjak bangku Sekolah Menengah Pertama. Menulis merupakan hobi sekaligus tempat untuk melampiaskan ide-ide yang terbenam selama berminggu-minggu lamanya. Selain menulis ia juga suka menggambar.
Pembaca bisa lebih dekat dengannya melalui sosial medianya di Instagram @gntlx.a
“Jangan mati sebelum ke Banda Neira”
“Jangan mati sebelum ke Banda Neira”
No comments:
Post a Comment