Iklan

Meneropong Seni Berpolitik di Ruang Publik Bersama Michel Foucault dan Penerapannya Di Indonesia

Thursday, 14 December 2023 | December 14, 2023 WIB Last Updated 2024-01-23T10:07:17Z

 

Meneropong Seni Berpolitik di Ruang Publik Bersama Michel Foucault dan Penerapannya Di Indonesia


Meneropong Seni Berpolitik di Ruang Publik Bersama Michel Foucault dan Penerapannya Di Indonesia

 

Oleh: Marianus Elki Semit

 

Politik bukan hanya soal siapa yang memerintah atau bagaimana kebijakan dibuat, tetapi juga tentang cara kita dibentuk dan diatur oleh kekuasaan dalam kehidupan sehari-hari, dari cara kita berpikir, merasakan, hingga bagaimana tubuh kita diatur dalam masyarakat (Michael Foucault)

 

Hanya orang bodoh, dangkal yang menjadikan politik sebagai ajang pertikaian di tengah-tengah keluarga dan masyarakat. Politik lahir bukan untuk membunuh relasi antara Liyan, melainkan politik lahir untuk mengajak kita berlogika secara kritis dalam bertindak (Elki Semit).

 

Pada zaman sekarang manusia tengah mengalami krisis perpektif terhadap dunia politik khususnya bagikebanyakan kaum muda di Indonesia. Memang krisis perspektif ini tidak semua kaum muda mengalaminya terutama bagi mereka yang belum melihat kedalaman substansial makna politik yang sesungguhnya. Tak heran hal ini akan menjadi problem ketika masih mengakar dalam perkembangan politik di Indonesia. 

 

Hal yang menjadi pertanyaan fundamental, Mengapa semangat kaum muda di indonesia dalam berpolitik sangat menurun? Sebuah probabilitas kaum muda saat ini tidak ada minat untuk terjun ke dunia berpolitik yakni tidak ada daya juang untuk belajar tentang bagaimana sebetulnya kehidupan berpolitik. 

 

Ketika mengikuti hari studi ke-48 di Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana dengan tema “Merefleksikan Eksistensi Dan Peran Minoritas Dalam Dinamika Politik Di Negara Kesatuan Republik  Indonesia: Sebuah Diskursus Intelektual Menuju Pesata Demokrasi 2024” seorang mahasiswi memberikan pertanyaan terakit kurangnya partisipasi kaum muda dalam dunia berpolitik. 

 

Tesis dasar dari pertanyaannya ialah karena melihat realitas bahwa begitu banyak pejabat-pejabat negara di indonesia ini korupsi sehingga kaum muda tidak tertarik dengan dunia berpolitik. Pada hakikatnya politik itu baik dan sangat penting dalam kehidupan manusia di manapun keberadaannya. Kita semestinya harus banyak-banyak belajar agar cakrawala berpikir terbuka. Hal yang paling penting bahwa bagaimana kita memandang politik itu dari sudut positifnya. 

 

Dalam berpolitik kita akan dituntut untuk berpikir kritis terhadap segala informasi-informasi apa saja dan berusaha mengkaji dari berbagai sudut pandang. Dalam berpolitik kitatidak hanya diam membisu melainkan kita mengekspresikan diri di dunia lewatargument-argument di berbagaimacam media. Politik itu sebuah seni yang perlu dihidupi oleh manusia di sini dan sekarang. Michael Foucault akan menuntun kita bagaimana sebenarnya politik yang sering didenggunkan oleh kahlayak umum. Foucault akan memberikan kepada kita secara geratis tentang seni dalam berpolitik menurutnya. 

 

Hubungan antara Seni dan Kekuasaan Perspektif Foucault

 

Michel Foucault, seorang filosof Prancis yang terkenal dengan karya-karyanya dalam bidang sejarah pemikiran, teori kekuasaan, dan disiplin ilmu, memberikan perspektif unik terhadap hubungan antara seni dan kekuasaan. Dalam pandangannya, kekuasaan tidak hanya dimaknai sebagai struktur politik formal, tetapi juga sebagai suatu jaringan yang menyebar di seluruh masyarakat dan mencakup berbagai institusi, norma, dan praktik keseharian. Dengan demikian, seni menjadi area yang terlibat dalam dinamika kekuasaan, memainkan peran penting dalam membentuk dan mereproduksi norma-norma sosial. Seni, menurut Foucault, bukanlah semata-mata bentuk ekspresi kreatif atau estetika, tetapi merupakan medium yang terlibat dalam proses pembentukan pengetahuan dan konstruksi diskursus. Karya seni, termasuk lukisan, sastra, dan pertunjukan, dapat menjadi alat kekuasaan yang membentuk persepsi dan merintis cara pandang terhadap realitas politik. Seni memungkinkan pihak-pihak yang berkuasa untuk mengendalikan narasi dan merumuskan citra tertentu untuk menjaga stabilitas dan mempertahankan status quo.

 

Dalam konteks ini, seni juga dapat dianggap sebagai bentuk teknologi kekuasaan yang mempengaruhi perilaku masyarakat. Pameran seni, institusi seni, dan kritik seni menjadi bagian dari mekanisme kontrol sosial yang menentukan norma-norma estetika dan memandu cara kita memahami kebenaran. Melalui proses ini, seni dapat berkontribusi pada pembentukan subjektivitas dan identitas individu serta kelompok, dengan memperkuat atau, sebaliknya, menantang norma-norma kekuasaan yang diterapkan oleh masyarakat. Meskipun seni sering digunakan sebagai instrumen kekuasaan yang mendukung rezim dan ideologi tertentu, Foucault juga menunjukkan potensi seni sebagai bentuk perlawanan. Seni dapat menjadi tempat di mana praktik perlawanan terhadap kekuasaan dilakukan, dan di mana norma-norma yang diterapkan dapat dipertanyakan. Gerakan seni perlawanan dapat membuka ruang untuk melibatkan diri dalam praktik politik yang menggoyahkan struktur kekuasaan yang ada. 

 

Perspektif Foucault tentang hubungan antara seni dan kekuasaan menyoroti kompleksitas dinamika ini. Seni bukanlah entitas terisolasi dari realitas politik, tetapi merupakan medan tempur dimana kekuasaan bermain dan diperjuangkan. Memahami peran seni dalam konstruksi pengetahuan, identitas, dan resistensi dapat membuka wawasan baru tentang bagaimana seni berperan dalam membentuk dan memengaruhi masyarakat dari sudut pandang kekuasaan yang tersebar di sepanjang struktur sosial. 

 

Dalam analisis Foucault, seni juga terlibat dalam pembentukan subjektivitas dan identitas masyarakat. Karya seni tidak hanya menciptakan representasi visual atau estetika semata, tetapi juga memainkan peran dalam membentuk citra diri individu dan kelompok. Kekuasaan bekerja dalam seni dengan menentukan norma-norma estetika yang diterima dan membentuk bagaimana individu melihat dan merespons dunia di sekitarnya. Seni, dalam hal ini, dapat dianggap sebagai tempat di mana norma-norma ini direproduksi atau, sebaliknya, diubah dan ditantang. 

 

Penting untuk dicatat bahwa Foucault juga menyoroti peran institusi seni dalam proses kekuasaan. Institusi seni, seperti museum dan galeri, tidak hanya menjadi tempat penyimpanan karya seni, tetapi juga merupakan bagian dari sistem yang menciptakan pengetahuan dan mengatur cara kita memahami karya seni itu sendiri. Proses kuratorial, penentuan nilai seni, dan bagaimana karya seni dipresentasikan di ruang publik semuanya merupakan praktik-praktik yang terlibat dalam produksi kekuasaan. Selain itu, seni juga dapat dilihat sebagai bentuk resistensi terhadap kekuasaan yang ada. Foucault menekankan adanya counter-discourses atau diskursus kontra yang dapat muncul melalui seni untuk menantang dan mengubah narasi dominan. Seni perlawanan dapat menghadirkan sudut pandang alternatif, menggoyahkan keyakinan konvensional, dan memprovokasi pemikiran kritis terhadap struktur kekuasaan yang mendasari masyarakat.

 

Dalam konteks ini, seni tidak hanya dilihat sebagai refleksi politik, tetapi juga sebagai tindakan politik yang aktif. Karya seni dapat menjadi medium bagi seniman untuk menyampaikan pesan politik, memicu perasaan empati, atau mengajak pemirsa untuk berpikir ulang tentang kondisi politik. Dengan demikian, seni memiliki potensi untuk menjadi alat yang efektif dalam perubahan sosial dan politik. Dalam penutup, pemahaman hubungan antara seni dan kekuasaan dari perspektif Foucault menyoroti bahwa seni tidak pernah netral dan selalu terlibat dalam dinamika kekuasaan yang ada di masyarakat. Dengan merenung tentang peran seni dalam membentuk pengetahuan, identitas, dan resistensi, kita dapat lebih memahami kompleksitas interaksi antara seni dan kekuasaan di ruang publik.

 

Seni sebagai Bentuk Pengetahuan dan Diskursus

 

Seni dipandang sebagaibentuk pengetahuan yang tidak hanya menyampaikan pesan estetika, tetapi jugaberperan dalam proses pembentukan pengetahuan dan diskursus. Foucault menyorotibahwa pengetahuan tidak hanya dihasilkan melalui ilmu pengetahuan formal,tetapi juga melalui praktik sehari-hari, termasuk seni. Karya seni dapat dianggap sebagai teks atau medium yang membentuk cara pandang, memperkenalkan gagasan, dan membangun pengetahuan yang bersifat historis dan budaya. Seni, dalam konteks Foucault, bukanlah sekadar representasi visual atau karya estetika yang berdiri sendiri, melainkan berfungsi sebagai bentuk diskursus yang membentuk realitas sosial. Karya seni menjadi bahasa yang dapat menyampaikan narasi dan mendukung pembentukan identitas individu dan kelompok. Sebagai bagian dari diskursus, seni berpartisipasi dalam membentuk cara kita memahami diri kita sendiri, masyarakat, dan dunia di sekitar kita.

 

Penting untuk diketahui bahwa seni juga dapat memainkan peran dalam merintis diskursus alternatif atau kontra. Dalam memperkenalkan sudut pandang yang berbeda, seni dapat merusak dominasi diskursus yang telah diterapkan oleh kekuasaan. Karya seni yang menciptakan kontra-diskursus dapat membangkitkan pertanyaan kritis dan memprovokasi pemikiran di luar batas norma-norma yang diterima. Foucault menekankan bahwa institusi-institusi seperti museum dan galeri seni turut memainkan peran dalam produksi pengetahuan dan pembentukan diskursus. Penempatan karya seni dalam konteks institusional dapat memengaruhi cara kita membaca dan menginterpretasikan karya tersebut. Oleh karena itu, seni tidak hanya menghasilkan pengetahuan, tetapi juga terlibat dalam praktik-praktik kekuasaan yang terkait dengan institusi-institusi tersebut.

 

Dengan memahami seni sebagai bentuk pengetahuan dan diskursus, kita dapat melihat bahwa seni tidak hanya bersifat dekoratif atau hiburan semata. Seni memiliki kekuatan untuk membentuk pengetahuan, membuka ruang diskursif, dan meresapi kompleksitas realitas sosial. Dengan demikian, pemahaman Foucault terhadap peran seni dalam pengetahuan dan diskursus memberikan wawasan yang dalam tentang bagaimana seni berperan dalam membentuk pemikiran dan pengalaman kita dalam ruang publik. Dalam konteks seni sebagai bentuk pengetahuan dan diskursus, Foucault menunjukkan bahwa karya seni tidak hanya mencerminkan realitas, melainkan juga membentuk dan membantu menentukan realitas itu sendiri. Karya seni menjadi sarana ekspresi yang kompleks, yang tidak hanya menyajikan keindahan visual atau estetika, tetapi juga berbicara dalam bahasa simbolik yang memunculkan makna dan interpretasi.

 

Seni menjadi perkakas yang terlibat dalam konstruksi pengetahuan, baik melalui penggambaran visual, narasi, atau penggunaan elemen-elemen simbolis. Setiap karya seni dapat dianggap sebagai tafsiran terhadap realitas, dan proses interpretasi ini tidak terlepas dari konteks sosial, politik, dan historis. Dalam hal ini, seni tidak hanya menjadi pelengkap atau pelukis keindahan, tetapi juga menjadi pembentuk dan perwakilan pengetahuan tentang dunia. Foucault menyoroti pentingnya diskursus dalam membentuk pengetahuan, dan seni menjadi bagian integral dari diskursus tersebut. Karya seni tidak hanya berbicara kepada individu, tetapi juga berinteraksi dengan diskursus sosial yang lebih luas. Dengan menciptakan gambaran, narasi, atau simbol-simbol tertentu, seni memasuki ruang diskursif yang memengaruhi dan membentuk cara kita memahami dan berinteraksi dengan dunia.

 

Seni dapat berfungsi sebagai mekanisme kritis dalam membongkar dan menginterogasi diskursus-diskursus yang mendominasi. Seni perlawanan atau seni subversif dapatmenciptakan alternatif dalam diskursus yang eksis, membawa perspektif yangmungkin terabaikan atau diabaikan oleh kekuasaan yang dominan. Seni tidak hanya menjadi medium penyampaian informasi atau keindahan semata, tetapi juga menjadi alat untuk menyelidiki dan mengeksplorasi dimensi-dimensi lain dalam pengetahuan dan diskursus. Melalui seni, individu dapat menjadi peserta aktif dalam konstruksi pengetahuan dan diskursus. 

 

Karya seni yang bersifat partisipatif atau interaktif dapat memicu dialog dan konversasi yang melibatkan masyarakat dalam pembentukan makna dan interpretasi bersama. Dengan demikian, seni tidak hanya dilihat sebagai objek yang diam di galeri atau museum, tetapi sebagai proses yang terus berkembang yang melibatkan partisipasi aktif dari publik. Dalam keseluruhan, perspektif Foucault tentang seni sebagai bentuk pengetahuan dan diskursus membuka pintu bagi pemahaman yang lebih mendalam tentang kompleksitas hubungan antara seni, kekuasaan, dan produksi pengetahuan di dalam dan di luar ruang publik.

 

Estetika sebagai Teknik Kekuasaan

 

Estetika dianggap sebagai teknik kekuasaan yang memainkan peran kritis dalam mengatur dan memanipulasi cara kita memahami, merasakan, dan mengalami dunia. Estetika tidak hanya terkait dengan keindahan atau apresiasi seni semata, tetapi merupakan alat yang diterapkan oleh kekuasaan untuk membentuk norma-norma dan nilai-nilai yang diinternalisasi oleh masyarakat. Dalam konteks ini, seni dan estetika berfungsi sebagai media yang dapat digunakan untuk menentukan apa yang dianggap indah, normal, atau sesuai dengan norma sosial yang berlaku. Foucault menyoroti bagaimana estetika dapat menjadi alat yang memengaruhi pengetahuan dan pengalaman masyarakat. Gaya visual, tata letak ruang, dan presentasi estetika di berbagai konteks, seperti institusi seni atau arsitektur publik, memainkan peran penting dalam membentuk persepsi dan pengetahuan kita terhadap kebenaran dan keindahan. Dengan memanipulasi estetika, kekuasaan dapat menciptakan citra yang mendukung dan memperkuat hegemoni sosial atau politik tertentu.

 

Lebih lanjut, estetika juga terlibat dalam proses disiplin dan kontrol sosial. Penentuan apa yang dianggap estetis dan sesuai dapat menciptakan norma-norma kecantikan dan perilaku yang diharapkan. Dalam konteks ini, estetika dapat berperan dalam membentuk identitas individu dan kelompok, serta dalam mengukur sejauh mana individu atau kelompok tersebut sesuai dengan standar sosial yang diterapkan oleh kekuasaan. Foucault menyoroti bagaimana estetika dapat menciptakan hierarki kekuasaan. Kriteria keindahan dan estetika tidak netral, tetapi mencerminkan nilai-nilai kekuasaan yang ada di masyarakat. Sebagai contoh, estetika yang mendukung hegemoni gender atau ras tertentu dapat menguatkan struktur sosial yang ada. Oleh karena itu, estetika bukan hanya soal preferensi pribadi, tetapi juga memiliki dampak yang mendalam dalam mengukur dan mempertahankan ketidaksetaraan dan kekuasaan yang ada. Estetika dapat menjadi sumber resistensi terhadap kekuasaan. Seni dan estetika subversif dapat menciptakan ruang alternatif yang menantang norma-norma yang diterapkan oleh kekuasaan. Dengan mengubah atau merusak konsep-konsep estetika yang dominan, seni dapat membuka celah untuk pemikiran kritis dan perlawanan terhadap hegemoni yang diterapkan oleh kekuasaan.

 

Pandangan Foucault mengenai estetika sebagai teknik kekuasaan membawa pemahaman yang mendalam tentang bagaimana estetika dan seni tidak hanya menciptakan pengalaman visual atau estetis, tetapi juga membentuk norma-norma, nilai-nilai, dan hierarki kekuasaan di dalam masyarakat. Estetika tidak lepas dari dinamika kekuasaan yang terus bergerak dan berubah dalam ruang publik. Foucault menunjukkan bahwa estetika juga berfungsi sebagai alat untuk mengontrol dan membentuk tubuh masyarakat.

 

Gaya visual yang diterapkan dalam desain arsitektur, tata letak kota, atau bahkan tampilan individu, memiliki peran dalam menciptakan tatanan fisik dan ruang sosial yang memandu perilaku. Estetika menciptakan lingkungan visual yang mengatur cara orang berinteraksi, bergerak, dan bahkan mendefinisikan ruang kehadiran individu dalam masyarakat. Dengan demikian, estetika tidak hanya memengaruhi dimensi pemikiran dan pengalaman, tetapi juga memainkan peran dalam merancang dan mengatur ruang fisik sebagai ekstensi dari teknik-teknik kekuasaan.

 

Foucault melihat estetika sebagai alat kekuasaan yang beroperasi melalui teknologi-teknologi keindahan yang terpampang di seluruh masyarakat. Dalam konteks ini, estetika menjadi instrumen yang dapat mengarahkan dan mengatur perasaan dan sensibilitas manusia. Apakah melalui seni rupa, arsitektur, atau mode, estetika menciptakan citra yang dianggap layak dilihat dan dihargai, membentuk standar keindahan yang diterima oleh masyarakat. Dengan demikian, estetika tidak hanya menjadi masalah selera pribadi, tetapi juga menyelusuri ke dalam struktur kekuasaan yang menentukan apa yang dianggap indah dan berharga di masyarakat.

 

Pentingnya estetika sebagai teknik kekuasaan juga tercermin dalam pembentukan subjektivitas individu. Foucault menyoroti bahwa tampilan visual, termasuk pakaian dan gaya rambut, dapat menjadi sarana disiplin yang mengarahkan individu untuk tunduk pada norma-norma kecantikan dan kelas sosial yang diinginkan oleh kekuasaan. Dengan menanamkan estetika tertentu, kekuasaan menciptakan norma-norma yang memandu cara individu membentuk identitas dan merasakan diri mereka sendiri dalam masyarakat. Dengan demikian, estetika tidak hanya menciptakan pengalaman visual dan estetis, tetapi juga menjadi alat yang meresapi dan membentuk setiap aspek kehidupan masyarakat. Pandangan Foucault menunjukkan bahwa estetika tidak dapat dipisahkan dari struktur kekuasaan yang bekerja dalam masyarakat dan menciptakan realitas sosial. Seni dan estetika menjadi tempat di mana teknik-teknik kekuasaan dapat diidentifikasi, dipertanyakan, dan dalam beberapa kasus, diresistensi untuk menciptakan ruang alternatif di dalam dan di luar ruang publik.

 

Penerapan Konsep Berpikir Foucault Di Indonesia

 

Penerapan konsepberpikir Foucault di Indonesia memberikan wawasan mendalam terhadap dinamikakekuasaan, pengetahuan, dan resistensi yang melingkupi berbagai aspekmasyarakat. Pertama-tama, analisis kekuasaan yang tersebar merangsang pemahaman tentang bagaimana kekuasaan tidak hanya bersarang dalam struktur politik formal tetapi juga melibatkan domain ekonomi, sosial, dan budaya. Hal ini tercermin dalam kebijakan pemerintah, struktur korporasi, dan dinamika sosial yang membentuk kehidupan sehari-hari masyarakat. Konsep biopolitik Foucault diterapkan untuk memahami regulasi terhadap tubuh masyarakat. Di Indonesia, penerapan ini mencakup analisis terhadap kebijakan kesehatan masyarakat, sistem pendidikan, dan norma-norma yang mengatur tubuh individu. Lalu, peran institusi dalam produksi pengetahuan dan pembentukan kebenaran menjadi fokus analisis terkait bagaimana lembaga-lembaga pendidikan, media massa, dan lembaga publik lainnya membentuk diskursus politik dan kebudayaan.

 

Kekuasaan simbolikdiungkapkan melalui seni dan budaya Indonesia yang memainkan peran pentingdalam membentuk identitas nasional dan norma-norma sosial. Melalui karya seni, kita dapat melihat bagaimana kekuasaan melibatkan diri dalam menciptakan narasi dan simbol-simbol yang membentuk persepsi masyarakat. Dalam konteks ini, seni menjadi suara perlawanan yang mampu menggugah pemikiran kritis dan meresapi ketidakadilan. Foucault juga menekankan peran individu dalam resistensi terhadap kekuasaan, yang dapat dilihat melalui aktivisme, gerakan masyarakat sipil, dan perlawanan kelompok minoritas terhadap kebijakan dan norma tertentu.

 

Penerapan konsepFoucault membuka ruang untuk kritik terhadap norma-norma dan kebijakan denganmengeksplorasi aspek-aspek kekuasaan yang mendasarinya. Pendekatan interdisipliner yang menggabungkan teori Foucault dengan konteks sejarah, budaya, dan politik Indonesia memperkaya pemahaman kita tentang dinamika kompleks kekuasaan dan resistensi dalam masyarakat.

 

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Meneropong Seni Berpolitik di Ruang Publik Bersama Michel Foucault dan Penerapannya Di Indonesia

No comments:

Post a Comment

Trending Now

Iklan