Oleh: Yulius Defri Sudi
Abstrak:
Tulisan ini merupakan pengejawantahan rasa sensibilitas penulis terhadap konflik di Laut China Selatan, sebab pengabaian akan konflik ini dapat perlahan-lahan menggerus kedaulatan Negara dan bangsa Indonesia. Sekaligus untuk membangkitkan kesadaran rakyat Indonesia akan krusialitas keberadaan kepulauan Natuna Utara yang merupakan wilayah kepulauan Indonesia tetapi masuk dalam “sembilan garis putus-putus” yang diklaim oleh China. Tidak dapat dinafikan lagi bahwa keberadaan Kepulauan Natuna Utara telah memberikan pertumbuhan ekonomi bagi negara Indonesia. Apatis dan sikap tidak terlibat dalam membangun perdamaian antar negara-negara yang bertikai di Laut China Selatan, sama dengan membiarkan Kepulauan Natuna Utara jatuh di tangan negara lain. Hal itu pasti akan berimbas pada pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi stagnan dan bisa saja susut. Ketidakstabilan ekonomi tentu akan berujung pada melemahkan rasa kedaulatan bangsa. Uraian dan pengelaborasian tulisan ini bertujuan untuk membuka horizon pengetahuan masyarakat Indonesia tentang konflik di Laut China Selatan dan desakan untuk membangun kesadaran serta membangkitkan semangat partisipasi dalam mendukung jalan perdamaian bagi negara-negara yang bertikai. Metode yang digunakan dalam tulisan ini adalah deskriptif kualitatif. Dengan metode ini penulis memanfaatkan data kualitatif (menganalisis kejadian, fenomena, dan keadaan secara sosial) terkait dengan isu dan masalah yang berafiliasi langsung dengan konflik di Laut China Selatan, lalu dijabarkan secara deskriptif.
Kata Kunci: Kedaulatan, Konflik di Laut China Selatan, Ekonomi, pertahanan, dan keamanan.
I. PENDAHULUAN
Wilayah Laut China Selatan merupakan salah satu wilayah yang sarat dengan berbagai kepentingan dan klaim dari negara-negara di sekitarnya. Kawasan Laut China Selatan meliputi perairan dan daratan gugusan kepulauan dua pulau besar, yakni spratly dan paracel, serta bantaran sungai Singapura yang dimulai dari selat Malaka sampai ke selat Taiwan.[1] Apa yang membuat wilayah Laut China Selatan ini begitu penting bagi negara-negara yang berkonflik adalah karena sumber daya alam yang kaya, terutama minyak dan sumber energi lainnya, dengan gugusan pulau, yang tersebar di sekitarnya, yang menjadi perebutan saling klaim beberapa negara di sekeliling kawasan. Letaknya amat strategis, yaitu berada di jalur perlintasan kapal-kapal internasional yang melewati Selat Malaka, salah satu yang paling sibuk di dunia, dan merupakan jalur penghubung perniagaan dari Eropa ke Asia dan Amerika ke Asia dan sebaliknya, melalui wilayah perairan negara di paling sedikit di tiga kawasan penting, yakni Asia Tenggara, Asia Timur dan Asia-Pasifik, maka, selain negara pengklaim itu, negara-negara yang terletak di sekitar Laut China Selatan tersebut, seperti Indonesia dan Singapura, berkepentingan setiap saat atas terjaganya stabilitas dan keamanan di Laut China Selatan.[2]
Oleh sebab itulah konflik yang terjadi di kawasan ini tidak hanya berdampak pada negara-negara yang terlibat, tetapi juga pada negara Indonesia sebagai negara yang berbatasan langsung dengan Laut China selatan. Maka, Peran dan upaya Indonesia untuk menjaga stabilitas keamanan dan lobi diplomatik amat krusial karena keberlanjutan konflik ini dapat mengganggu kedaulatan bangsa dan stabilitas pertumbuhan ekonomi serta survive di bidang politik. Lagi pula, menurut hasil survei pada Maret 2024, oleh Indonesia Strategic dan Defence Studies (ISDS) bersama dengan Litbang Kompas menunjukkan 80 persen masyarakat Indonesia percaya bahwa kehadiran China di Laut China Selatan menjadi ancaman bagi negara ASEAN, termasuk Indonesia.[3] Dengan demikian pertikaian ini menjadi masalah serius yang dihadapi negara kita. Kalau Indonesia apatis terhadap konflik ini tentu, sekali lagi, akan menjadi bumerang dan momok bagi kedaulatan bangsa Indonesia. Pengelaborasian tulisan ini ditopang dan dipandu dengan beberapa rumusan masalah, yang tertuang dalam beberapa pertanyaan berikut: Mengapa dan apa penyebab awal terjadinya konflik di Laut China Selatan? Apa dampak bagi Indonesia dari konflik di Laut China Selatan? Bagaimana upaya Indonesia menghadapi konflik ini?
II. PEMBAHASAN:
Pada bagian ini akan diuraikan beberapa hal penting terutama terkait awal mula terjadinya konflik di Laut China Selatan dan bagaimana perkembangannya hingga kini. Juga akan dijelaskan mengenai pentingnya keterlibatan Indonesia dalam konflik ini, karena keterlibatan Indonesia dapat mempertahankan kedaulatan negara dan bangsa. Oleh karena itu akan dipaparkan juga upaya-upaya dan langkah-langkah yang perlu dilakukan oleh pihak Indonesia dalam bingkai mengkonstruksi jalan damai bagi negara yang berkonflik.
1. Awal Mula Konflik Laut China Selatan dan Keberlanjutannya hingga kini
Sebelum kita menggarap cikal bakal konflik di Laut China selatan, perlu bagi penulis untuk memperlihatkan peta teritorial Laut China Selatan. Laut China Selatan merupakan laut yang memiliki luas sekitar 3,5 juta kilometer persegi. Luas tersebut merupakan 39% dari total luas wilayah laut di Asia Tenggara yang berjumlah lebih kurang 8,9 juta kilometer persegi. Laut China Selatan merupakan 2,5 % dari Luas laut dunia secara keseluruhan. Membentang dari selat Malaka sampai ke selat Taiwan, dikelilingi oleh negara-negara ASEAN. Di utara berbatasan dengan Tiongkok dan Taiwan, barat berbatasan dengan Vietnam, Kamboja dan Thailand, Selatan berbatasan dengan Malaysia, Brunei Darussalam, Indonesia dan Singapura, di timur berbatasan dengan Filipina.[4] Dari segi teritorial keberadaan Laut China selatan ini dapatlah bagi kita untuk sedikit berasumsi penyebab konflik yang akan terjadi.
Konflik di Laut China Selatan memang berakar dari klaim kepemilikan atas wilayah laut dan pulau-pulau di dalamnya oleh beberapa negara. Awal mula konflik ini dapat ditelusuri kembali ke tahun 1947, ketika pemerintah China mengklaim kepemilikan atas wilayah Laut China Selatan dengan menggambar “sembilan garis Putus-putus” yang mencakup sebagian besar perairan tersebut. Klaim ini kemudian ditentang oleh negara-negara lain di kawasan sekitar seperti Vietnam, Filipina, Malaysia Brunei darussalam, dan Taiwan yang juga memiliki klaim atas wilayah-wilayah tertentu di Laut China Selatan. Eskalasi konflik terjadi pada dekade 1970an dan 1980an, ditandai dengan peristiwa militer antara China dan Vietnam. Situasi semakin memburuk pada tahun 2010an, dengan adanya pembangunan pangkalan militer dan instalasi lainnya oleh China di beberapa pulau yang diklaim. Hal ini telah memicu berbagai konfrontasi dan ketegangan di kawasan, termasuk insiden-insiden militer dan diplomatik.
Untuk memahami secara komprehensif tentang konflik di Laut China selatan, berikut secara singkat klaim dan dalil dari beberapa negara terkait. Pertama, klaim China; China mengklaim bahwa wilayah sengketa tersebut berdasarkan kepemilikan bangsa China atas kawasan laut dan dua gugusan kepulauan Paracel dan Spratly sejak 2000 tahun yang lalu, kemudian pemerintah China mengklaim telah mengeluarkan peta yang merinci kedaulatan China atas Laut China Selatan pada tahun 1947, yang dikenal dengan istilah “Nine Dashed Line”, “sembilan garis putus-putus”. Nine Dashed Line adalah peta teritorial yang membubuhkan sembilan garis putus-putus sebagai penanda atau batas pemisah imajiner yang digunakan pemerintah Cina untuk mengklaim sebagian besar, yakni 90 persen, wilayah Laut Cina Selatan.[5] Di atas klaim inilah kemudian China secara habis-habisan berjuang berkonfrontasi dengan supremasi klaim negara lain.
Kedua, klaim Vietnam; Vietnam mengklaim kedaulatan atas kepulauan Paracel dan Spratly menjadi bagian dari wilayahnya berdasarkan dokumen sejarah yang menunjukkan wilayah tersebut sejak abad ke-17. Perbedaan klaim dan supremasi terhadap otoritas klaim inilah muncul kemudian konflik yang terus berlanjut. China dan Vietnam beberapa kali mengalami konflik, hingga kemudian Vietnam telah melakukan paling tidak empat kali pertemuan bilateral dengan China pada awal 2011 dalam rangka membicarakan perbedaan antar mereka mengenai Laut China Selatan. Sayang sekali beberapa perilaku China seperti, semakin meningkatnya jumlah dan kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan kapal-kapal China di perairan Vietnam akhirnya membuat segala hasil pertemuan bilateral antar keduanya menjadi tiada manfaat.[6] Ketidakmanfaatan pertemuan itu termanifestasi dalam insiden kapal Vietnam. Pada tanggal 27 Mei 2011, Kementerian Luar Negeri Vietnam mengkonfirmasikan bahwa pada 26 Mei 2011 kapal Binh Minh 02 milik PetroVietnam melakukan survei seismik dalam wilayah perairannya, kapal-kapal milik China memotong kabel-kabel eksplorasinya.[7] Insiden rupanya semakin memperkeruh suasana karena membuat inisiatif baru bagi Vietnam untuk selalu meningkatkan kapabilitas militernya di Laut China Selatan. Ketiga, Klaim negara lain: Filipina, Malaysia, Brunei, dan Taiwan juga memiliki klaim atas sebagian wilayah laut China Selatan, termasuk kepulauan Spratly. Klaim-klaim ini sering berbenturan dengan klaim China. Konflik ini dalam waktu-waktu tertentu menjadi Vakum tetapi dalam waktu-waktu lain mencuat ke permukaan.
Saat ini eskalasi konflik di Laut China selatan sedang menguak ke permukaan terutama antara China dan Filipina. Barangkali masih terngiang di dalam benak kita bagaimana keputusan Mahkamah Arbitrase Internasional PBB atau Permanent Court Of Arbitration (PCA) 2016 yang memenangkan gugatan Filipina atas klaim China di perairan Laut China Selatan yang berbatasan dengan filipina. PCA memutuskan China telah melanggar hak-hak kedaulatan Filipina dan menegaskan klaim historis China di Laut China Selatan yang ditandai dengan sembilan garis putus-putus tak memiliki landasan hukum. Tetapi China tidak menggubris keputusan PCA dan bahkan mereka menganggap bahwa PCA tidak berwenang menerapkan keputusannya. Sehingga China tetap melakukan patroli lautnya di perairan yang disengketakan yang menyebabkan insiden dengan kapal Filipina. Tepatnya pada bulan Maret yang lalu China mengusir kapal Filipina dengan kekerasan dan tembakan meriam air dengan tujuan agar Filipina takut untuk memasuki perairan yang dimasuki China.[8] Tetapi apakah Filipina takut dengan pengusiran sebagaimana yang dilakukan oleh China? Terlalu ceroboh juga kalau ada yang mengklaim bahwa mereka takut.
Filipina pada kenyataannya baru-baru ini ada upaya yang lebih besar yang telah dibuat oleh Presiden Filipina, Ferdinand Marcos Jr. Di mana ia membangun Aliansi dengan Amerika Serikat dan Jepang, yang mereka sebut dengan perjanjian trilateral, di Gedung Putih, Amerika Serikat pada 11 April 2024. Menurut Marcos, aliansi itu akan mengubah dinamika Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN), Asia, di sekitar Laut China Selatan. Meski begitu, Marcos mengatakan, pertemuan tiga negara tersebut tidak untuk menentang negara manapun. Kerja sama itu berfokus pada memperdalam hubungan ekonomi dan keamanan antara Manila, Washington dan Tokyo. Kendati tidak menyebutkan nama negara secara spesifik, sulit disangkal pertemuan itu tidak terkait dengan pengaruh China yang semakin kuat di kawasan. Lagi pula pertemuan trilateral itu berlangsung saat ketegangan di Laut China Selatan. Dan kenyataannya pun bahwa China kerap bersitegang dengan Filipina berkenaan dengan klaim di wilayah Laut China Selatan. Berhadapan dengan ketegangan di Laut China Selatan, di era Marcos Jr ini, Filipina pada gilirannya begitu gencar untuk membuka diri bagi kehadiran AS dan Jepang. Manila, antara lain menjalin kesepakatan dengan Washington yang memungkinkan AS mengakses lebih banyak pangkalan militer di Filipina. Pendek kata, trilateral tersebut, dari perspektif Manila, dapat menjadi sarana menyeimbangkan kekuatan dan kapasitas di kawasan.[9] Misalnya pangakalan militer AS di Filipina yang sengaja di bangun di dekat Taiwan dan di Laut China Selatan.[10] Jelas apa yang dilakukan oleh Filipina, membangun aliansi dengan Amerika dan Jepang mengindikasikan secara gamblang bahwa Filipina tidak menghendaki wilayah yang termasuk dalam klaimnya tidak jatuh ke negara lain, dalam hal ini China.
Konflik di laut Cina selatan ini membuat kita di Indonesia tidak dapat tidur dengan nyenyak. Kita mesti bangun dari keterlelapan dan kenyamanan kita demi sebuah kedaulatan bangsa yang lebih besar dari pada keterlelapan dan sensasi mimpi yang hanya sebatas ilusi. Hendaknya pihak pemerintah yang punya andil dalam bidang ini menjadi promotor untuk melakukan suatu gerakan yang dapat membawa perdamaian. Sebab kedaulatan negara kita pun mendapat percikan ancaman yang cukup kuat dari kawasan Laut Cina Selatan, terutama terkait wilayah kepemilikan kita, Natuna Utara. Indonesia perlu dan segera terlibat!
2. Keterlibatan Indonesia dalam konflik Laut China Selatan untuk Menjaga Stabilitas kedaulatan Negara.
Meskipun Indonesia tidak memiliki klaim kepemilikan atas wilayah laut China Selatan, Namun Indonesia turut terpengaruh oleh dinamika sengketa. Hal ini dikarenakan kedekatan geografis Indonesia dengan wilayah sengketa. Laut China Selatan sendiri berbatasan langsung dengan perairan Indonesia di Kabupaten Natuna. Selain itu konflik di Laut China Selatan dapat mengganggu pasokan energi bagi Indonesia, yang sebagian besar berasal dari Laut China Selatan. Gangguan terhadap aktivitas ekonomi Indonesia seperti eksplorasi pasokan bahan energi seperti minyak dan gas serta penangkapan ikan melemahkan ketahanan ekonomi dan energi Indonesia. Terlepas dari itu, dinamika sengketa juga mengganggu kinerja ASEAN. Ada empat negara anggota ASEAN yang terlibat sebagai pengklaim, yaitu Vietnam, Malaysia, Brunei, dan Filipina. Oleh karena itu, isu ini sering dibawa dalam agenda-agenda rapat ASEAN, seperti yang terjadi di KTT ASEAN di Bali pada tahun 2011.[11] Karena kedua hal inilah yang mengharuskan dan memastikan peran dan keterlibatan Indonesia untuk mengambil bagian dalam membawa perdamaian negara yang berkonflik dan sekaligus menjaga integritas teritorial serta stabilitas kedaulatan bagi bangsanya sendiri.
Menyadari akan urgensitas keterlibatan Indonesia untuk menjaga integritas teritorial di Laut Cina Selatan yang dimotori oleh pemerintah bersama dengan militer dapat terealisasi dalam beberapa hal, seperti: pertama, Peningkatan patroli dan pengawasan di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) di Laut Natuna Utara yang merupakan wilayah kepulauan Indonesia yang berbatasan dengan klaim China. Hal ini amat signifikan untuk terus ditingkatkan karena klaim sepihak China atas wilayah perairan Indonesia di Laut China Selatan, yang mencakup sebagian Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di Laut Natuna Utara dapat mengancam kedaulatan Indonesia atas wilayah lautnya. Bukti konkritnya adalah bahwa Indonesia pernah terlibat dalam beberapa Insiden dengan China terkait aktivitas penangkapan ikan dan survei seismik di wilayah tersebut. Aktivitas pelayaran dan penangkapan di wilayah perairan Indonesia mendorong Pemerintah Indonesia untuk mengirimkan nota protes diplomatik, namun Cina sebaliknya menegaskan klaim kedaulatannya atas wilayah ZEE Indonesia tersebut. Menanggapi sikap Cina tersebut, Pemerintah Indonesia menegaskan yurisdiksi nasionalnya atas ZEE tersebut terhadap Cina.[12] Itulah sebabnya peningkatan patroli dan pengawasan amat menjadi keperluan mendesak.
Kita patut mengacungkan jempol kepada Presiden Jokowi yang tidak menutup mata dengan persoalan ini. Kepekaannya ini terejawantah dalam upaya untuk menopang militer dan kapasitas penegakan hukum di kawasan perairan Natuna. Jokowi sendiri telah melakukan tiga kali perjalanan penting ke markas TNI di Ranai, Natuna Besar, yaitu pada 2016 (Juni dan September) dan Mei 2017. Kunjungan itu untuk menunjukkan secara simbolik kepentingan nasional dalam mempertahankan kedaulatan Indonesia di kepulauan Natuna, serta hak-hak Indonesia terhadap sumber daya alam yang masuk dalam kawasan ZEE. Pada saat bersamaan, sejumlah analis melihat pergerakan Jokowi tersebut sebagai indikasi bahwa Indonesia mengambil pendekatan yang tegas terhadap isu-isu di Laut China Selatan. Langkah diplomatik Jokowi juga menunjukkan upaya pemerintah Indonesia meningkatkan keamanan dan pertahanan kedaulatan NKRI di perbatasan.[13] Kunjungan yang dilakukan oleh presiden Jokowi jelas membawa angin segar bagi stabilitas kedaulatan bangsa kita. Hendaknya kunjungan semacam ini tetap menjadi bagian dari program kerja kepresidenan.
Kedua, diplomasi aktif untuk menjaga netralitas dan mendorong penyelesaian damai. Penulis mengutarakan pendapat tentang bagaimana mestinya Indonesia menyelesaikan konflik di Laut China Selatan untuk menciptakan perdamaian sambil tetap menjaga netralitas. Indonesia adalah salah satu negara yang termasuk dalam keanggotaan ASEAN. Hendaknya Indonesia menegakkan dan menyuarakan kembali perjanjian-perjanjian dan kesepakatan-kesepakatan yang telah diratifikasi oleh negara-negara di tingkat ASEAN terutama yang berkelindan dengan konflik di Laut China Selatan. Misalnya Indonesia perlu menggaungkan kembali deklarasi-deklarasi yang pernah dihasilkan dalam forum ASEAN. Ada cukup banyak deklarasi yang dihasilkan Forum ASEAN, yang semuanya dimaksudkan untuk menciptakan keamanan terutama dalam menyelesaikan masalah keamanan di Laut China Selatan. Sebut saja; ada dokumen Declaration of ASEAN Concord atau yang sering disebut dengan Bali Concord I dan Perjanjian Persahabatan dan Kerjasama atau Treaty of Amity and Cooperation (TAC). Juga ada dokumen Pada tahun 2002, ASEAN dan Tiongkok berhasil menandatangani Declaration on the Conduct of Parties in South China Sea yang merupakan deklarasi Tata Berperilaku di sekitar kawasan Laut China Selatan. Pada tahun 2005, dalam rangka melaksanakan pengimplementasian dari Declaration on the Conduct of Parties in South China Sea (DOC), ASEAN-Tiongkok melakukan Joint Working Group dan menghasilkan kesepakatan bahwa kedua belah pihak, baik ASEAN maupun China, akan berkomitmen menjaga perdamaian dan stabilitas di kawasan Laut China Selatan.[14] Dan masih ada berbagai macam dokumen deklarasi lainnya yang dapat menjadi landasan kita untuk dapat melibatkan diri. Hendaknya Indonesia dalam memperjuangkan perdamaian sengketa di Laut China Selatan bergerak di atas fondasi dokumen deklarasi ASEAN ini.
Ketiga, upaya Indonesia untuk menjaga kedaulatan negara serta menawarkan jalan damai bagi negara-negara yang berkonflik mesti melalui jalur hukum Internasional. Mengapa harus lewat jalur hukum internasional? Karena dalam hukum internasional, kedaulatan negara (state sovereignty) dan kesederajatan (equality) antar negara merupakan konsep yang diakui dan menjadi dasar bekerjanya sistem hukum internasional itu. Hukum internasional secara tradisional mengakui bahwa negara sebagai entitas yang merdeka dan berdaulat, berarti negara itu tidak tunduk pada otoritas lain yang lebih. Kedaulatan dan kesederajatan negara merupakan atribut yang melekat pada negara merdeka sebagai subyek hukum internasional. Pengakuan terhadap kedaulatan negara dan kesederajatan antar negara juga merupakan dasar bagi personalitas negara dalam sistem hukum internasional. Kedaulatan mendasari beberapa hak yang diakui oleh hukum internasional seperti misalnya; hak kesederajatan (equality), yurisdiksi wilayah (territorial jurisdiction), hak untuk menentukan nasionalitas bagi penduduk di wilayahnya, hak untuk mengizinkan dan menolak atau melarang orang untuk masuk dan keluar dari wilayahnya, hak untuk melakukan nasionalisasi.[15] Pergerakan keterlibatan Indonesia melalui jalur hukum internasional dimaksudkan agar tetap mendapatkan jaminan keamanan dari segi hukum. Selain itu, keterlibatan Indonesia tidak sarampangan dan salah kaprah yang dapat menimbulkan konflik baru. Hukum Internasional akan membantu Indonesia menemukan rambu-rambu dalam mengambil tindakan yang bijak, tepat dan benar.
keempat, upaya membangun infrastruktur dan alutsista (alat utama sistem pertahanan) di wilayah terluar Indonesia yang berbatasan dengan Laut China Selatan. Peningkatan dalam membangun sistem pertahanan tidak bermaksud bahwa Indonesia siap berperang, tetapi sebagai sebuah tindakan preventif terhadap ancaman kedaulatan negara dan bangsa Indonesia. Lagi pula itulah maksud terdalam dari terbentuknya lembaga pertahanan, yaitu untuk menjaga stabilitas keamanan dan kedaulatan suatu negara serta menjaga dan mempertahankan negara dari segala kemungkinan serangan dari luar maupun dari dalam. Maka, konflik yang terus berlangsung di Laut China Selatan mestinya mendorong Indonesia untuk memperkuatkan kembali infrastruktur dan alat utama sistem pertahanan. Dari perspektif hukum Indonesia, Pengadaan dan peningkatan infrastruktur dan alutsista tentu tidak bertentangan dengan peraturan dan perundang-undangan, tetapi justru sebagai sebuah perealisasian undang-undang yang berlaku di Indonesia terutama yang berafiliasi dengan kedaulatan. Agar tidak ada kesangsian (keraguan) tentang undang-undang ini, berikut adalah undang-undang yang berbicara tentang pentingnya meningkatkan sistem pertahanan demi apa tercapai apa yang kita sebut kedaulatan.
Undang Undang No. 32 tahun 2014 tentang kelautan pada Bab IX mengenai Pertahanan, Keamanan, Penegakan Hukum, Dan Keselamatan di Laut pada Pasal 58 berbunyi: (1) Untuk mengelola kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara di wilayah Laut, maka perlu dibentuk sistem pertahanan laut; (2) Sistem pertahanan laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertahanan dan Tentara Nasional Indonesia; (3) Sistem pertahanan laut sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.[16] Di sini kita dapat melihat bahwa upaya untuk membangun dan meningkatkan sistem pertahanan laut valid secara hukum. Oleh karena itu, peningkatan dan penguatan pertahanan di Laut China Selatan menjadi sangat krusial dan mendesak, terutama untuk menjaga integritas wilayah Natuna Utara. Hendaknya di tengah kebutuhan semacam ini kementerian pertahanan mesti betul-betul menaruh atensi dan sensibilitas (kepekaan) terhadap masalah ini. Demikian dari pihak militer (TNI) mesti mampu bersinergi yang kondusif dengan pemerintahan. Saya kira militer jauh lebih paham mengenai hal ini.
kelima, Membangun diplomasi Internasional dalam bidang Kemaritiman. Diplomasi bukanlah simbol keringkihan suatu negara tetapi pertama-tama mewujudkan kepentingan nasional. Sehingga diplomasi itu mesti selalu dalam bingkai saling menguntungkan. Selain itu diplomasi diadakan dengan tujuan untuk mencapai keamanan dan kedaulatan negara yang terkait. Serta untuk secara signifikan mencegah dan memberi resolusi terhadap konflik. Atas pemahaman inilah kemudian dianjurkan agar Indonesia dapat terus menerus melakukan diplomasi kemaritiman secara Internasional. Adalah sebuah sukacita besar bagi kita kalau Indonesia mampu membangun diplomasi dengan negara-negara yang berafiliasi dengan konflik di Laut China Selatan. Ada seberkah harapan di masa pemerintahan Joko Widodo karena cukup mampu memperhatikan dan melakukan diplomasi internasional seperti dengan negara China dan Filipina. Hal ini semakin nyata dalam pengakuan yang disampaikan oleh Menteri kemaritiman dan Investasi Republik Indonesia, di mana dalam kompas, Selasa 23 April 2024 (hal. 11), mengutip pernyataan menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan yang mengatakan bahwa Indonesia meneruskan persahabatan kuat dan kerja sama yang konstruktif dengan China. Kiranya ini adalah oase yang memberikan sedikit harapan dan menangkal rasa ketakutan dari kedaulatan yang terancam. Hendaknya diplomasi semacam ini tetap berkelanjutan. Namun diplomasi yang dilakukan Indonesia tentu tidak bertujuan untuk merelativir supremasi atas keberadaan wilayah-wilayah gugusan kepulauan (seperti Natuna Utara) yang termasuk dalam teritorial negara Indonesia, tetapi untuk menjaga dan menciptakan keamanan dan kedamaian di Laut China Selatan. Dalam diplomasi itu, Indonesia tetap Menegaskan komitmennya untuk tetap menjaga kedaulatan dan integritas Wilayahnya di Laut China Selatan.
Upaya-upaya yang telah diuraikan di atas bertujuan untuk melindungi kepentingan nasional Indonesia dan mencegah eskalasi konflik yang dapat membahayakan kedaulatan, keamanan dan kesejahteraan rakyat. Kedaulatan adalah tujuan sentral dari setiap keterlibatan dan upaya-upaya Indonesia dalam menyelesaikan konflik di Laut China Selatan. Meminjam istilah Hegel, bahwa “Roh” dari segala problem Solving yang ditawarkan Indonesia bergerak dari dan menuju hasrat (dalam arti positif) pemenuhan akan kedaulatan. Sebab oleh karena dorongan “Roh” itulah (Roh yang merindukan kedaulatan) mendorong manusia Indonesia untuk terlibat memperjuangkan dan menawarkan jalan damai bagi negara yang bertikai.
III. PENUTUP
Konflik di Laut China Selatan merupakan konflik yang terjadi antar beberapa negara di perbatasan karena tidak ada kepastian yang valid menganai batas-batas teritorialnya. Masing-masing negara secara gigih mengklaim wilayah-wilayah dan gugusan kepulauan yang diperebutkan adalah milik negara mereka. Karena ketidakpastian keberadaan wilayah-wilayah kelautan ini, kapal-kapal dari negara-negara yang keluar masuk di wilayah laut China Selatan untuk menangkap ikan dan eksplorasi minyak dan energi lainnya. Hal inilah kemudian terjadi konflik dan insiden antar negara yang bertikai. Alih-alih ketidakpastian batas wilayah inilah kemudian menjadi dasar dari terjadinya konflik yang berkepanjangan di Laut China Selatan.
Kenyataan ketidakpastian akhir dari konflik ini menjadi lebih pelik lagi karena terdapat negara yang tidak mengakui pengadilan internasional yang telah mencoba memberikan kepastian terhadap batas-batas teritorial di Laut China Selatan, dalam hal ini, China. Bagi China, keputusan Pengadilan internasional tidak memiliki dasar sebagaimana yang telah mereka klaim. Konflik, pertikaian dan berbagai insiden pun terus terjadi di Laut China Selatan. Konflik ini pada gilirannya menggembar-gembor kedaulatan Indonesia. Indonesia sebagai negara yang juga memiliki gugusan pulau di Laut China Selatan pun kena getahnya. Bagaimana tidak, Pulau Natuna Utara yang merupakan wilayah kepemilikan Indonesia pun rupanya masuk dalam wilayah yang diklaim oleh China. Hal inilah yang kemudian menjadi ancaman bagi kedaulatan Indonesia. Karena itu Indonesia Pun hendaknya tidak terlelap. Indonesia mesti dan harus terlibat dan mengambil bagian dalam menemukan solusi dan jalan damai bagi negara-negara yang berkonflik, sembari tetap menjaga stabilitas keamanan dan integritas di wilayah Laut China Selatan terutama keselamatan pulau Natuna Utara. Ihwal kebijakan dan tindakan yang dapat direalisasi Indonesia dalam upaya mengambil bagian dalam menyelesaikan konflik di Laut China Selatan, dapat dilihat dari apa yang telah diuraikan dalam point di atas. Mari terlibat demi kedaulatan tanah air kita!
Daftar Pustaka
Darmawan, Arief Bakhtiar, and Hestutomo Restu Kuncoro. "Penggunaan ASEAN Way dalam Upaya Penyelesaian Sengketa Laut Tiongkok Selatan: Sebuah Catatan Keberhasilan?." Andalas Journal of International Studies (AJIS) 8.1 (2019): 43-61.
Djumala, Darmansjah, “Membaca Trilateral AS-Jepang-Filipina” Kompas, selasa 16 April 2024.
Harsawaskita, Adrianus, “Kembalikan Sentralitas ASEAN”, Kompas, 16 April 2024.
Laksmi, Luh Gde Citra Sundari, Dewa Gede Sudika Mangku, and Ni Putu Rai Yuliartini. "Peran Indonesia dalam Penyelesaian Sengketa Internasional di Laut Cina Selatan." Jurnal Komunitas Yustisia 5.2 (2022), 225-242.
Nainggolan, Poltak Partogi (penyunting), “Konflik Laut China Selatan dan Implikasinya Terhadap Kawasan”, P3DI Setjen DPR Republik Indonesia dan Azza Grafika, Jakarta: 2013.
Muhaimin, Ramadhan. "Kebijakan Sekuritisasi Dan Persepsi Ancaman Di Laut Natuna Utara [The Policy Of Securitization And Threat Perception In North Natuna Sea]." Jurnal Politica Dinamika Masalah Politik Dalam Negeri dan Hubungan Internasional 9.1 (2018), 17-38.
Nugraha, Athanasius Aditya. "Manuver Politik China dalam Konflik Laut Cina Selatan." Jurnal Pertahanan 1.3 (2011), 55-63.
Raharjo, Sandy Nur Ikfal. "Peran Indonesia Dalam Penyelesaian Sengketa Laut Tiongkok Selatan Indonesia’s Role In The South China Sea Dispute Resolution." Jurnal Penelitian Politik| Volume 11.2 (2014): 55-70.
Riyanto, Sigit. "Kedaulatan Negara Dalam Kerangka Hukum Internasional Kontemporer." Yustisia 1.3 (2012).
Ruyat, Yayat. "Peran Indonesia dalam Menjaga Wilayah Laut Natuna dan Menyelesaikan Konflik Laut Tiongkok Selatan." Jurnal Lemhannas RI 5.1 (2017), 65-75.
Santoso, Totok Imam. "Aksi Agresivitas Cina Pada Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia Laut Natuna Utara: Perspektif Tugas Pokok TNI." Jurnal Lemhannas RI 8.1 (2020), 34-46.
Sarwindaningrum, Irene, “Aliansi Mini AS, Pesan Garang Dampak Terbatas”, Kompas, Senin, 15 April 2024.
Sielf, Martin, “Sengketa Nama Laut China Selatan atas Kepulauan Spratly dan Paracel Ungkap Konflik yang Lebih Dalam”, Asia Pacific Defense Forum, 13 September 2012. Diakses pada 17 April 2024.
Silitonga, Permana, and Eko Arie Kurniawan. "Optimalisasi Penerapan Teknologi Informasi Pada Smart Defense Guna Mendukung Tugas Pokok Tni Al Dalam Rangka Melaksanakan Fungsi Pertahanan Aspek Laut Di Ibu Kota Negara." Scientific Journal Of Reflection: Economic, Accounting, Management and Business 6.3 (2023), 689-699.
[1] Poltak Partogi Nainggolan (penyunting), “Konflik Laut China Selatan dan Implikasinya Terhadap Kawasan”, P3DI Setjen DPR Republik Indonesia dan Azza Grafika (Jakarta: 2013).
[2] Martin Sielf, “Sengketa Nama Laut China Selatan atas Kepulauan Spratly dan Paracel Ungkap Konflik yang Lebih Dalam”, Asia Pacific Defense Forum, 13 September 2012. Diakses pada 17 April 2024.
[3] Adrianus Harsawaskita, “Kembalikan Sentralitas ASEAN”, Kompas, 16 April 2024. Hal. 7.
[4] Yayat Ruyat, "Peran Indonesia dalam Menjaga Wilayah Laut Natuna dan Menyelesaikan Konflik Laut Tiongkok Selatan." Jurnal Lemhannas RI 5.1 (2017). Hal. 68-69.
[5] Luh Gde Citra Sundari Laksmi, Dewa Gede Sudika Mangku, dan Ni Putu Rai Yuliartini. "Peran Indonesia dalam Penyelesaian Sengketa Internasional di Laut Cina Selatan." Jurnal Komunitas Yustisia 5.2 (2022). Hal. 227.
[6] Luh Gde Citra Sundari Laksmi, Dewa Gede Sudika Mangku, dan Ni Putu Rai Yuliartini, ibid.
[7] Athanasius Aditya Nugraha. "Manuver Politik China dalam Konflik Laut Cina Selatan." Jurnal Pertahanan 1.3 (2011). Hal. 55.
[8] Darmansjah Djumala, “Membaca Trilateral AS-Jepang-Filipina” Kompas, selasa 16 April 2024. Hal. 6
[9] Irene Sarwindaningrum, “Aliansi Mini AS, Pesan Garang Dampak Terbatas”, Kompas, Senin, 15 April 2024. Hal. 4
[10] Darmansjah Djumala, ibid.
[11] Sandy Nur Ikfal Raharjo, "Peran Indonesia Dalam Penyelesaian Sengketa Laut Tiongkok Selatan Indonesia’s Role In The South China Sea Dispute Resolution." Jurnal Penelitian Politik, Volume 11.2 (2014), Hal. 5.
[12] Totok Imam Santoso, "Aksi Agresivitas Cina Pada Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia Laut Natuna Utara: Perspektif Tugas Pokok TNI." Jurnal Lemhannas RI 8.1 (2020). Hal. 35.
[13] Ramdhan Muhaimin, "Kebijakan Sekuritisasi Dan Persepsi Ancaman Di Laut Natuna Utara [The Policy Of Securitization And Threat Perception In North Natuna Sea]." Jurnal Politica Dinamika Masalah Politik Dalam Negeri dan Hubungan Internasional 9.1 (2018), Hal. 22
[14] Arief Bakhtiar Darmawan, and Hestutomo Restu Kuncoro. "Penggunaan ASEAN Way dalam Upaya Penyelesaian Sengketa Laut Tiongkok Selatan: Sebuah Catatan Keberhasilan?." Andalas Journal of International Studies (AJIS) 8.1 (2019). Hal. 50.
[15] Sigit Riyanto. "Kedaulatan Negara Dalam Kerangka Hukum Internasional Kontemporer." Yustisia 1.3 (2012). Hal. 7.
[16] Permana Silitonga, and Eko Arie Kurniawan. "Optimalisasi Penerapan Teknologi Informasi Pada Smart Defense Guna Mendukung Tugas Pokok Tni Al Dalam Rangka Melaksanakan Fungsi Pertahanan Aspek Laut Di Ibu Kota Negara." Scientific Journal Of Reflection: Economic, Accounting, Management and Business 6.3 (2023). Hal. 691-692.
No comments:
Post a Comment