Iklan

Teruntuk Sebuah Nama

Monday, 13 January 2025 | January 13, 2025 WIB Last Updated 2025-01-14T06:32:19Z

 


Oleh: Silfianey

ketika aku melambaikan tangan pamit padanya, tatapan itu seolah tak tega untuk kembali berjauhan. Lantas mulutnya ingin sekali mengatakan entah” jalan dengan hati-hati atau belajar dengan baik”, tetapi sayang, pita suara itu sudah tak berfungsi lagi.

Yah, empat tahun yang lalu merupakan suatu keadaan yang sangat aku benci. Bertepatan dengaan hari Ibu nasional, Ibuku, si cantik yang selalu menjadi rumah untuk semua kepulanganku. Ibu jatuh sakit, dan sakitnya bukan sakit biasa yang sering kambuh. Sakit kali ini, Ibuku yang cantik itu tidak bisa berbicara seperti dulu, tangan yang biasa ia gunakan untuk mencubit pipiku ketika aku bandel dan menopang badan mungilku ketika aku masih belajar berjalan, sudah tak berfungsi lagi. Yah, sesadis itukah penyakit menyebalkan menyerang ibuku yang cantik itu.

Perihal perasaan yang dirasakan saat itu, jangan ditanya lagi. Terpuruk, kecewa, sedih, terluka bahkan masih banyak dari itu. Semuanya menjadi teman di saat aku tak punya jalan lain untuk berusaha menerima kenyataan.

“Kenapa, dan mengapa Tuhan seolah tak mendengar doa yang seringkali aku lantunkan tiap saat. Yang terjadi sangat bertolak belakang dengan yang pernah kuminta. Inikah jawaban doa itu”.

Pada situasi itu, aku sempat membenci Tuhan. Aku tak mau lagi berdoa. Sebab kenyataan yang terjadi tidak sesuai dengan yang aku minta.

Ibuku yang cantik itu,

Tersenyum simpul menatapku dilayar handphone. Tangannya yang lemah berusaha melambai padaku. Bibirnya pun seolah berusaha mengatakan sesuatu tapi tak jadi. Sayang sekali, ibu yang dulunya cerewet sekarang jadi bisu.

“Kenapa kau ambil suaranya itu Tuhan, Kenapa kau membuat tangannya bahkan tubuh bagian kanannya tak berfungsi lagi. Aku rindu tangan ibu yang memasak makanan, lalu menyajikannya di atas meja. Rindu akan celotehan ibu yang panjang lebar tak menemukan titik akhir. Suara yang selali menjadi alarm pagi. Karena itu, aku tidak perlu menajamkan telinga di pagi hari untuk mendengar suara ayam berkokok di balik atap rumah, karena suara ibuku yang cantik itu lebih dulu membangunkanku yang kadang molor dengan jam bangun pagi”.

Perlahan aku terbaring diatas kasurku, aku menutup mata merenungi semua yang terjadi. “akankah aku menerima kenyataan ini. Lalu bagaimana cara aku bangkit dan berusaha kuat. Nyatanya aku tak sekuat itu, aku manusia yang selalu terkapar jika keadaan menuntutku untuk berusaha kuat”.

Teruntuk ibuku yang cantik itu

Segaralah pulih. Mungkin ini cara Tuhan untuk menguji keluarga kita agar kuat akan hal apapun yang terjadi.

 

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Teruntuk Sebuah Nama

No comments:

Post a Comment

Trending Now

Iklan