Oleh: Silfianey
ketika aku melambaikan
tangan pamit padanya, tatapan itu seolah tak tega untuk kembali berjauhan. Lantas
mulutnya ingin sekali mengatakan entah” jalan dengan hati-hati atau belajar
dengan baik”, tetapi sayang, pita suara itu sudah tak berfungsi lagi.
Yah, empat tahun yang
lalu merupakan suatu keadaan yang sangat aku benci. Bertepatan dengaan hari Ibu
nasional, Ibuku, si cantik yang selalu menjadi rumah untuk semua kepulanganku. Ibu
jatuh sakit, dan sakitnya bukan sakit biasa yang sering kambuh. Sakit kali ini,
Ibuku yang cantik itu tidak bisa berbicara seperti dulu, tangan yang biasa ia
gunakan untuk mencubit pipiku ketika aku bandel dan menopang badan mungilku
ketika aku masih belajar berjalan, sudah tak berfungsi lagi. Yah, sesadis
itukah penyakit menyebalkan menyerang ibuku yang cantik itu.
Perihal perasaan yang
dirasakan saat itu, jangan ditanya lagi. Terpuruk, kecewa, sedih, terluka
bahkan masih banyak dari itu. Semuanya menjadi teman di saat aku tak punya jalan
lain untuk berusaha menerima kenyataan.
“Kenapa, dan mengapa
Tuhan seolah tak mendengar doa yang seringkali aku lantunkan tiap saat. Yang
terjadi sangat bertolak belakang dengan yang pernah kuminta. Inikah jawaban doa
itu”.
Pada situasi itu, aku sempat
membenci Tuhan. Aku tak mau lagi berdoa. Sebab kenyataan yang terjadi tidak
sesuai dengan yang aku minta.
Ibuku yang cantik itu,
Tersenyum simpul menatapku
dilayar handphone. Tangannya yang lemah berusaha melambai padaku. Bibirnya pun seolah
berusaha mengatakan sesuatu tapi tak jadi. Sayang sekali, ibu yang dulunya
cerewet sekarang jadi bisu.
“Kenapa kau ambil suaranya
itu Tuhan, Kenapa kau membuat tangannya bahkan tubuh bagian kanannya tak
berfungsi lagi. Aku rindu tangan ibu yang memasak makanan, lalu menyajikannya
di atas meja. Rindu akan celotehan ibu yang panjang lebar tak menemukan titik akhir.
Suara yang selali menjadi alarm pagi. Karena itu, aku tidak perlu menajamkan
telinga di pagi hari untuk mendengar suara ayam berkokok di balik atap rumah,
karena suara ibuku yang cantik itu lebih dulu membangunkanku yang kadang molor
dengan jam bangun pagi”.
Perlahan aku terbaring
diatas kasurku, aku menutup mata merenungi semua yang terjadi. “akankah aku
menerima kenyataan ini. Lalu bagaimana cara aku bangkit dan berusaha kuat.
Nyatanya aku tak sekuat itu, aku manusia yang selalu terkapar jika keadaan
menuntutku untuk berusaha kuat”.
Teruntuk ibuku yang
cantik itu
Segaralah pulih. Mungkin
ini cara Tuhan untuk menguji keluarga kita agar kuat akan hal apapun yang
terjadi.
No comments:
Post a Comment