Di sebuah warung kopi kecil yang bersembunyi di balik kemacetan ibu kota seorang lelaki tua dengan rambut separuh abu-abu duduk tenang di sudut ruangan. Namanya Pak Raras Sumitro pensiunan dosen filsafat politik yang telah melihat tiga rezim naik dan jatuh. Ia dikenal keras kepala, namun lebih dikenal sebagai orang yang tak pernah berhenti berharap pada republik ini.
Di hadapannya duduk seorang mahasiswa hukum bernama Rama yang tengah menulis skripsi bertema kekerasan struktural dalam demokrasi. Suasana sore itu digelayuti mendung, seakan-akan menyambut pembicaraan Pak Raras dan Rama yang mulai menjelma menjadi ruang kritik sungguh sunyi.
Pak Raras memulai dengan pertanyaan yang tak lazim, “Kau percaya negeri ini sedang baik-baik saja?” Rama pun terdiam sembari berbisik dalam hati bahwa keheningan di negara demokratis kadang bukan tanda damai tapi luka yang dibungkam. Pak Raras pun terus melanjutkan pembicaraanya,
Pak Raras memulai dengan pertanyaan yang tak lazim, “Kau percaya negeri ini sedang baik-baik saja?” Rama pun terdiam sembari berbisik dalam hati bahwa keheningan di negara demokratis kadang bukan tanda damai tapi luka yang dibungkam. Pak Raras pun terus melanjutkan pembicaraanya,
“Kita sedang dikendalikan oleh bentuk kekuasaan yang tak kasat mata dan itu lebih berbahaya daripada tirani militer.”
Beliau mengutip pemikiran Paul M. Foucault, bahwa kekuasaan modern tak lagi hadir lewat represi terang-terangan tapi melalui normalisasi dan institusionalisasi yang merayap dalam sistem. Sistem itu kini menjelma dalam senyum manis para pemimpin muda yang mewarisi kuasa bukan karena kapasitas tapi garis darah.
Rama mengernyit lalu mengangguk pelan berusaha mencerna makna di balik kata-kata gurunya. Ia melihat fenomena Prabowo-Gibran sebagai cermin dari mutasi demokrasi menjadi oligarki dalam balutan elektoral. Sistem pemilihan umum yang semestinya menjamin keadilan kini justru menjadi alat legitimasi kekuasaan yang telah diatur jauh sebelum rakyat memilih. Johan Galtung selalu mengema bahwa kekerasan struktural penderitaan yang dilembagakan tanpa pelaku langsung namun mematikan. Gibran bukan sekadar anak presiden tapi simbol dari matinya meritokrasi dalam negara hukum.
Ketika aturan diubah hanya untuk membuka jalan bagi satu nama itu bukan kecelakaan tapi rekayasa kekuasaan. Rekayasa seperti itu demokrasi tidak lagi hidup dalam ruh deliberatif seperti diimpikan Habermas tapi dalam simulasi yang menipu. Rama seorang mahasiswa Hukum mencatat dalam benaknya,
Rama mengernyit lalu mengangguk pelan berusaha mencerna makna di balik kata-kata gurunya. Ia melihat fenomena Prabowo-Gibran sebagai cermin dari mutasi demokrasi menjadi oligarki dalam balutan elektoral. Sistem pemilihan umum yang semestinya menjamin keadilan kini justru menjadi alat legitimasi kekuasaan yang telah diatur jauh sebelum rakyat memilih. Johan Galtung selalu mengema bahwa kekerasan struktural penderitaan yang dilembagakan tanpa pelaku langsung namun mematikan. Gibran bukan sekadar anak presiden tapi simbol dari matinya meritokrasi dalam negara hukum.
Ketika aturan diubah hanya untuk membuka jalan bagi satu nama itu bukan kecelakaan tapi rekayasa kekuasaan. Rekayasa seperti itu demokrasi tidak lagi hidup dalam ruh deliberatif seperti diimpikan Habermas tapi dalam simulasi yang menipu. Rama seorang mahasiswa Hukum mencatat dalam benaknya,
“Apakah generasi kami akan menjadi penonton sirkus politik?”
Pak Raras tersenyum getir, “Kalian harus belajar membedakan antara pemimpin dan pewaris kekuasaan.” Sebab dalam negara yang warisan politiknya lebih dihargai dari etika publik keadilan akan selalu kalah oleh loyalitas keluarga.
“Lihatlah bagaimana institusi yang semestinya netral justru menjadi alat dari hasrat kekuasaan,” kata Pak Raras sambil menunjuk berita di layar ponsel. Pak Raras merujuk pada revisi batas usia calon pemimpin yang disahkan secara tergesa, dibalut dengan argumen regenerasi. Ini bukan regenerasi tapi kooptasi dan bukan pula demokrasi tapi dinasti. Hannah Arendt pernah mengingatkan begini bahwa kekuasaan yang kehilangan landasan etis akan berubah menjadi dominasi yang tak berjiwa.
“Lihatlah bagaimana institusi yang semestinya netral justru menjadi alat dari hasrat kekuasaan,” kata Pak Raras sambil menunjuk berita di layar ponsel. Pak Raras merujuk pada revisi batas usia calon pemimpin yang disahkan secara tergesa, dibalut dengan argumen regenerasi. Ini bukan regenerasi tapi kooptasi dan bukan pula demokrasi tapi dinasti. Hannah Arendt pernah mengingatkan begini bahwa kekuasaan yang kehilangan landasan etis akan berubah menjadi dominasi yang tak berjiwa.
Ketika hukum tunduk pada keluarga negara kehilangan marwah konstitusionalnya. Rama menghela napas merasa seolah sedang menyaksikan parodi politik dalam panggung yang terlalu serius. “Dan rakyat?” tanyanya lirih. “Rakyat akan terus disuapi janji, seperti anak kecil yang diberi permen agar diam.” Raras tak tertawa. Beliau sadar bahwa dalam iklim seperti ini harapan bisa menjadi alat penjinak yang efektif. Janji makan siang gratis bukanlah kebijakan tapi propaganda yang disisipkan dalam retorika kesejahteraan.
Rama menatap langit yang mulai menghitam di luar warung pikirannya penuh dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak mudah dijawab. Beliau teringat debat publik yang tak pernah benar-benar substansial, penuh gimmick dan sindiran, tanpa ruang untuk gagasan. Demokrasi Indonesia baginya bagaikan panggung sandiwara yang naskahnya telah ditulis sebelum aktor masuk.
Rama menatap langit yang mulai menghitam di luar warung pikirannya penuh dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak mudah dijawab. Beliau teringat debat publik yang tak pernah benar-benar substansial, penuh gimmick dan sindiran, tanpa ruang untuk gagasan. Demokrasi Indonesia baginya bagaikan panggung sandiwara yang naskahnya telah ditulis sebelum aktor masuk.
Beliau teringat bagaimana para kritikus dikriminalisasi, media dikooptasi, dan buzzer beroperasi seperti pasukan bayangan. Michel Foucault menyebut kekuasaan itu menyebar dan hadir dalam wacana maka ketika wacana dikendalikan, rakyat pun dikurung dalam ruang opini yang telah disetir.
Inilah kekerasan struktural yang nyata; ketika kebebasan berpikir dibatasi oleh algoritma, bukan senapan. “Negara ini tak lagi menindas dengan kekerasan langsung,” kata Pak Raras, “tapi dengan sistem yang membuat kita merasa bebas padahal kita dijinakkan.” Rama mencatat: normalisasi adalah bentuk baru represi, ia mulai sadar bahwa membicarakan demokrasi bukan sekadar bicara hak pilih tapi hak untuk hidup dalam sistem yang adil. Sistem seperti ini keadilan perlahan menjadi suatu ilusi semata.
Pak Raras lalu bicara tentang tokoh seorang Étienne Balibar sebagai demokrasi murni yakni sebuah bentuk pemerintahan yang terus-menerus membuka ruang bagi partisipasi radikal dan pengakuan setara atas semua warga. Perspektif Balibar demokrasi sejati menolak bentuk apapun dari monopoli kekuasaan, baik itu oleh militer, elit ekonomi, maupun klan politik.
Inilah kekerasan struktural yang nyata; ketika kebebasan berpikir dibatasi oleh algoritma, bukan senapan. “Negara ini tak lagi menindas dengan kekerasan langsung,” kata Pak Raras, “tapi dengan sistem yang membuat kita merasa bebas padahal kita dijinakkan.” Rama mencatat: normalisasi adalah bentuk baru represi, ia mulai sadar bahwa membicarakan demokrasi bukan sekadar bicara hak pilih tapi hak untuk hidup dalam sistem yang adil. Sistem seperti ini keadilan perlahan menjadi suatu ilusi semata.
Pak Raras lalu bicara tentang tokoh seorang Étienne Balibar sebagai demokrasi murni yakni sebuah bentuk pemerintahan yang terus-menerus membuka ruang bagi partisipasi radikal dan pengakuan setara atas semua warga. Perspektif Balibar demokrasi sejati menolak bentuk apapun dari monopoli kekuasaan, baik itu oleh militer, elit ekonomi, maupun klan politik.
Realitasnya sungguh sangat menyedihkan apa yang terjadi kini justru sebaliknya bahwa kekuasaan berpusat di tangan segelintir keluarga dan loyalis sementara publik dibius dengan slogan dan survei. Ya, itulah realitasnya kritik dianggap pengkhianatan dan oposisi dianggap pengganggu stabilitas.
“Kita tak butuh stabilitas jika itu artinya pembungkaman,” ujar Pak Raras, ia percaya bahwa stabilitas tanpa keadilan adalah tirani yang disamarkan.
“Kita tak butuh stabilitas jika itu artinya pembungkaman,” ujar Pak Raras, ia percaya bahwa stabilitas tanpa keadilan adalah tirani yang disamarkan.
Rama mulai menyadari bahwa tugas intelektual tidak sebatas menganalisis tapi melawan dalam pikiran, tulisan, dan keberpihakan. Demokrasi yang sehat memerlukan gesekan dan bukan keseragaman. Tapi saat ini justru yang dipelihara adalah keseragaman dalam bentuk kultus terhadap penguasa. Sejenak kembali lagi pesan seorang pemikir yakni Eitenne Balibar katanya begini hanya dengan membuka ruang konflik sosial secara produktif demokrasi bisa bertahan dari degenerasi.
Langit Jakarta pun nampak semakin gelap bak wajah demokrasi yang kehilangan arah. Pak Raras berdiri mengambil jaket lusuhnya dan berkata,
Langit Jakarta pun nampak semakin gelap bak wajah demokrasi yang kehilangan arah. Pak Raras berdiri mengambil jaket lusuhnya dan berkata,
“Nak, politik bukan soal menang atau kalah. Politik adalah tentang siapa yang menentukan peta masa depan dan untuk siapa peta itu dibuat.”
Rama mendengarnya seperti mendengar kutukan yang panjang sebab ia tahu bahwa peta masa depan Indonesia kini sedang ditulis oleh manusia yang lahir dari kekuasaan bukan dari perjuangan. “Kalau dirimu menulis skripsi hanya untuk mendapat gelar maka percuma. Tapi kalau kau menulis untuk menyatakan sikap maka itulah awal dari perubahan.”
Pak Raras lalu menyebut Gramsci bahwa kaum intelektual organik adalah manusia yang menyatu dengan penderitaan rakyat dan melawan sistem yang menindasnya. Rama mengangguk pelan di kepalanya sudah tersusun paragraf-paragraf tesis yang tidak sebatas akademik, juga subversif. Dirinya tahu bahwa sistem ini tak akan berubah dalam semalam tapi ia mengerti diam berarti merestui.
Pak Raras lalu menyebut Gramsci bahwa kaum intelektual organik adalah manusia yang menyatu dengan penderitaan rakyat dan melawan sistem yang menindasnya. Rama mengangguk pelan di kepalanya sudah tersusun paragraf-paragraf tesis yang tidak sebatas akademik, juga subversif. Dirinya tahu bahwa sistem ini tak akan berubah dalam semalam tapi ia mengerti diam berarti merestui.
Ketika mereka keluar dari warung itu malam terasa lebih sunyi dari biasanya seperti isyarat bahwa negara ini sedang menahan napas panjang di bawah bayang-bayang kekuasaan yang terus membesar.
Malam itu Rama pulang ke kamarnya penuh gelisah dan catatan berserakan di meja belajarnya. Ia menatap tembok kosong di hadapannya seolah hendak menuliskan kembali sejarah bangsa yang sedang pincang. Di layar laptopnya draft skripsi terbuka pada bab tiga dan kalimat pertama terasa menggema:
Malam itu Rama pulang ke kamarnya penuh gelisah dan catatan berserakan di meja belajarnya. Ia menatap tembok kosong di hadapannya seolah hendak menuliskan kembali sejarah bangsa yang sedang pincang. Di layar laptopnya draft skripsi terbuka pada bab tiga dan kalimat pertama terasa menggema:
“Demokrasi Indonesia mengalami disfigurasi struktural.”
Ia membuka kembali buku Pedagogy of the Oppressed karya Paulo Freire sembari membaca dan menemukan satu kalimat yang menamparnya bahwa “Kebebasan tidak diberikan tetapi diperjuangkan.” Rama sadar sebagai mahasiswa peran kritisnya bukan sekadar menulis melainkan menyuarakan.
Rama mulai menyusun ulang babnya memasukkan teori kekerasan struktural, serta contoh manipulasi konstitusi yang terjadi secara sistematis. Ia menyadari bahwa rakyat perlahan dibentuk untuk merasa puas dalam sistem yang menindas secara halus. Ini adalah kolonisasi kesadaran di mana rakyat tidak lagi sadar bahwa mereka sedang dirampas haknya.
Rama mulai menyusun ulang babnya memasukkan teori kekerasan struktural, serta contoh manipulasi konstitusi yang terjadi secara sistematis. Ia menyadari bahwa rakyat perlahan dibentuk untuk merasa puas dalam sistem yang menindas secara halus. Ini adalah kolonisasi kesadaran di mana rakyat tidak lagi sadar bahwa mereka sedang dirampas haknya.
Rama menuliskan bahwa demokrasi yang kehilangan daya kritik hanya akan menjadi panggung populisme kosong. Ia percaya jika generasi muda diam maka warisan otoritarianisme akan menjadi darah yang mengalir dalam demokrasi yang sakit.
Keesokan harinya ia kembali menemui Pak Raras di taman kampus, membawa draftnya yang telah direvisi. “Bagus,” kata Pak Raras, “kau mulai menulis dengan keberanian bukan sekadar kutipan.” Mereka berdua duduk di bawah pohon trembesi yang menjulang, dan di sekeliling ada juga mahasiswa lain sibuk dengan tugas-tugas yang terasa jauh dari problem bangsa.
Keesokan harinya ia kembali menemui Pak Raras di taman kampus, membawa draftnya yang telah direvisi. “Bagus,” kata Pak Raras, “kau mulai menulis dengan keberanian bukan sekadar kutipan.” Mereka berdua duduk di bawah pohon trembesi yang menjulang, dan di sekeliling ada juga mahasiswa lain sibuk dengan tugas-tugas yang terasa jauh dari problem bangsa.
Pak Raras mengisahkan bahwa dalam sejarah demokrasi di manapun, kekuasaan selalu berupaya memonopoli harapan rakyat. Ia menyebutkan bagaimana Antonio Gramsci memahami hegemoni sebagai dominasi yang dilembutkan oleh kesepakatan palsu. “Kita seolah memilih tapi pilihan itu telah dipersempit oleh kekuatan ekonomi dan media.”
Rama menimpali bahwa sebagian besar rakyat memang tidak lagi melihat pemilu sebagai sarana pembebasan, tapi sekadar hiburan politik lima tahunan. Di ruang publik yang telah dikendalikan algoritma suara minoritas tenggelam dalam banjir narasi dominan. “Hari ini sepertinya politik dipasarkan seperti produk,” kata Pak Raras, “rakyat dibentuk menjadi konsumen dan bukan warga negara.” Rama mencatat bahwa dalam demokrasi yang telah dikooptasi, rakyat kehilangan suara dan kehilangan makna sebagai subjek sejarah.
“Agama bisa menjadi kekuatan emansipatoris,” kata Pak Raras, “bisa menjadi alat kekuasaan yang paling efektif.” Ia mengingatkan bahwa dalam politik Indonesia agama sering dijadikan kendaraan moral untuk menyembunyikan niat dominasi. Rama menyebutkan bagaimana banyak pemimpin berlindung di balik simbol-simbol agama tanpa menjalankan nilai keadilan sosial yang sejatinya diajarkan semua agama. Pak Raras menambahkan,
Rama menimpali bahwa sebagian besar rakyat memang tidak lagi melihat pemilu sebagai sarana pembebasan, tapi sekadar hiburan politik lima tahunan. Di ruang publik yang telah dikendalikan algoritma suara minoritas tenggelam dalam banjir narasi dominan. “Hari ini sepertinya politik dipasarkan seperti produk,” kata Pak Raras, “rakyat dibentuk menjadi konsumen dan bukan warga negara.” Rama mencatat bahwa dalam demokrasi yang telah dikooptasi, rakyat kehilangan suara dan kehilangan makna sebagai subjek sejarah.
“Agama bisa menjadi kekuatan emansipatoris,” kata Pak Raras, “bisa menjadi alat kekuasaan yang paling efektif.” Ia mengingatkan bahwa dalam politik Indonesia agama sering dijadikan kendaraan moral untuk menyembunyikan niat dominasi. Rama menyebutkan bagaimana banyak pemimpin berlindung di balik simbol-simbol agama tanpa menjalankan nilai keadilan sosial yang sejatinya diajarkan semua agama. Pak Raras menambahkan,
“Dalam filsafat Levinas etika dimulai dari wajah yang lain dari pengakuan akan keberadaan yang berbeda.”
Nyatanya praktik kekuasaan hari ini wajah rakyat justru dihapus dari kebijakan yang lahir di ruang-ruang elite. Penguasa hanya mengingat rakyat dalam kampanye maka rakyat sekadar alat legitimasi bukan subjek. Agama pun dijadikan fatwa untuk membungkam kritik bukan untuk menyalakan kesadaran profetik. Mereka mengenang bagaimana Gus Dur pernah berkata bahwa demokrasi tanpa kebebasan berpikir hanyalah slogan. Rama merasa getir sebab kini kebebasan berpikir perlahan diganti dengan kesetiaan pada jargon-jargon kekuasaan. Negara itu tidak lagi mendidik warga tapi menjinakkan rakyat melalui ketakutan dan keterpaksaan.
Rama dan beberapa kawannya mulai menyusun forum diskusi bertajuk “Demokrasi dalam Kepungan Kekuasaan.” Mereka mengundang dosen, aktivis, mahasiswa, bahkan jurnalis muda untuk berbicara. Forum kecil tapi sangat intens dan menjadi ruang alternatif yang mulai menggeliat di kampus yang selama ini steril dari wacana kritis.
Rama dan beberapa kawannya mulai menyusun forum diskusi bertajuk “Demokrasi dalam Kepungan Kekuasaan.” Mereka mengundang dosen, aktivis, mahasiswa, bahkan jurnalis muda untuk berbicara. Forum kecil tapi sangat intens dan menjadi ruang alternatif yang mulai menggeliat di kampus yang selama ini steril dari wacana kritis.
Salah satu pembicara menyebut bahwa demokrasi Indonesia mengalami gejala depolitisisasi struktural yaitu hilangnya ruang artikulasi rakyat dalam pembuatan kebijakan. Elite politik hanya mendengarkan lembaga survei bukan suara-suara di pinggir desa sehingga demokrasi telah dikapling oleh pasar. Rama melihat betapa antusias mahasiswa-mahasiswa muda mendengar narasi berbeda, narasi yang tidak muncul di televisi maupun media arus utama.
Rama dan kawannya berbicara tentang kapitalisme digital, tentang dinasti politik, dan strategi represi baru yang bekerja lewat pendidikan dan kebijakan. Seorang mahasiswa filsafat menyebutkan bahwa Slavoj Žižek pernah menyampaikan statement bahwa kita hidup dalam sistem yang membuat kita merasa bebas padahal pilihan kita telah ditentukan sebelumnya. Rama mengangguk sebab ia kini mengerti bahwa kebebasan yang semu lebih berbahaya daripada penjara yang nyata.
Rama dan kawannya berbicara tentang kapitalisme digital, tentang dinasti politik, dan strategi represi baru yang bekerja lewat pendidikan dan kebijakan. Seorang mahasiswa filsafat menyebutkan bahwa Slavoj Žižek pernah menyampaikan statement bahwa kita hidup dalam sistem yang membuat kita merasa bebas padahal pilihan kita telah ditentukan sebelumnya. Rama mengangguk sebab ia kini mengerti bahwa kebebasan yang semu lebih berbahaya daripada penjara yang nyata.
Forum itu ditutup dengan kesepakatan untuk terus menyebarkan wacana alternatif dan menjaga ruang berpikir kritis. Inilah awal dari demokrasi sejati saat rakyat mulai menyuarakan kembali apa yang tak terdengar.
Beberapa bulan kemudian Rama mengirim skripsinya ke jurnal kampus dan mendapat respon luas. Sebagian dosen memujinya sebagian diam, dan sebagian lagi menyindir bahwa ia terlalu politis. Tapi Rama tidak gentar, Ia percaya bahwa keberpihakan adalah bagian dari etika intelektual. Ia mengutip Cornel West dalam kata pengantarnya bahwa intelektual yang sejati harus bersuara bagi rakyat yang terpinggirkan. Rama menyatakan bahwa kekerasan struktural di Indonesia tidak bisa dilawan dengan netralitas.
Beberapa bulan kemudian Rama mengirim skripsinya ke jurnal kampus dan mendapat respon luas. Sebagian dosen memujinya sebagian diam, dan sebagian lagi menyindir bahwa ia terlalu politis. Tapi Rama tidak gentar, Ia percaya bahwa keberpihakan adalah bagian dari etika intelektual. Ia mengutip Cornel West dalam kata pengantarnya bahwa intelektual yang sejati harus bersuara bagi rakyat yang terpinggirkan. Rama menyatakan bahwa kekerasan struktural di Indonesia tidak bisa dilawan dengan netralitas.
“Netralitas di tengah ketidakadilan adalah bentuk lain dari pembiaran,” ucapnya lantang.
Rama disambut oleh teman-temannya yang membawa spanduk kecil bertuliskan, “Demokrasi Tanpa Rakyat Adalah Kekuasaan Tanpa Jiwa.” Pak Raras yang diam-diam hadir di belakang ruangan menatap Rama dengan mata berbinar. Ia tahu apa yang ia tanamkan selama ini mulai tumbuh. Rama lulus dengan nilai cum laude dan keberanian untuk terus melawan sistem yang membungkam.
Di bawah langit yang redup tanpa bintang Rama berdiri di pelataran kampus sambil menatap tiang bendera yang lengang. Ia tahu perjuangan barulah dimulai bukan di ruang seminar atau halaman skripsi tetapi di jalan sunyi kesadaran publik yang nyaris padam. Suara Pak Raras kembali terngiang di benaknya,
“Demokrasi tak butuh pemuja, tapi penjaga.”
Ia menyadari bahwa negeri ini tidak sedang kekurangan pemimpin tetapi kekurangan keberanian untuk mengatakan bahwa para pemimpin itu telah menyimpang. Hatinya penuh kemarahan yang jernih bukan untuk membenci tapi untuk menolak dibohongi atas nama stabilitas. Ia percaya kata Walter Benjamin bahwa setiap dokumen peradaban juga adalah dokumen kekuasaan. Maka menulis adalah bentuk perlawanan dan diam adalah kesepakatan dengan penindasan.
Rama melangkah pulang dengan tenang membawa satu tekad; jika sejarah bangsa ini ditulis oleh mereka yang berkuasa maka ia akan menulis sejarah tandingan dari pinggir. Di malam pekat ada cahaya kecil yang menyala di pikirannya sebuah cahaya dari keberanian yang tak bisa dibungkam sistem mana pun.
No comments:
Post a Comment