Oleh: Martinus Join
Senja itu tak ada siapa-siapa di Gua selain seorang gadis yang duduk letih. Tangannya menggenggam erat "hape". Ekspresinya seperti sedang menunggu seseorang, hanya saja wajahnya tampak pasi. setelah beberapa saat setelah memastikan tidak ada orang, ia menenmpati kursi paling depan di hadapan patung Bunda Maria.
"Aku ingin bunuh diri, aku ingin tinggalkan dunia ini secepatnya. Dari pada harus mengorbankan harga diri demi secarik kertas yang bagi kebanyakan orang sangat berharga. Toh, pada akhirnya perjuangan hidup bukan hanya berhenti pada tahap itu. Aku sadar, aku terjebak pada eforia hidup sebagai orang muda dan lupa pada tugas utamaku sebagai mahasiswa. Sekali lagi bukan berarti aku harus membiarkan keluhuran jati diriku untuk dilecehkan". Ia membagikan kisah itu dengan suara sedikit protes dengan diri dan juga kepada keadilan yang tidak memihaknya.
Baca Juga: Makna KataMisionaris
"Aku tak tahu lagi entah bagaimana solusi yang harus aku lakukan. Haruskah Aku berikan mahkotaku untuknya, demi skripsiku. Meskipun Aku tahu entah apa yang kutanggung nanti. Aku dibujukki dosenku dengan dalil skripsi selesai serta mendapat nilai yang memuaskan dengan memberikan tubuhku entah untuk diapakan. Bukankan itu konyol? Menghabiskan waktu bertahun-tahun hanya untuk merancang sebuah dosa sistematis. Pertama saya meragukan kemampuanku sendiri, kedua saya membohongi keluarga yang membiayaiku, lalu aku juga mencoreng kredibilitas akademis, dst. Kadang saya bertanya kepada Tuhan ketika sedang sendiri, bagaimana ini Tuhan, haruskah aku mengiyakan sebuah tawaran yang memudahkan tugasku sebagai akademisi dengan cara tidak halal, melegalkan yang haram?".
Baca Juga: SantoPeregrinus Laziosi, OSM (1265-1345): Pelindung Penderita Kanker (PestanyaDirayakan Pada 4 Mei)
Hari sudah mulai gelap. Sebentar lagi senja ikut pamit. Gadis itu belum juga minggat dari kursinya. Duduk diam dalam keresahan yang mengganjal batinnya. Ia masih bersih keras bertahan melawan sengatan dingin yang menggigit kulitnya meski tak ada siapa-siapa. Tampak ia berbicara seorang diri.
Ia lalu melanjutkan curhatnya. "Tuhan aku tidak mau terjebak pada pilihan yang salah, mengikhlaskan diri demi kesenangan sesaat tetapi membiarkan martabat diriku tak lagi dianggap. Bukankah tubuhku adalah sepenuhnya hakku. Bukankah tubuh manusia sebagai “sakramen” yang menampakkan keagungan misteri-Mu yang tak tampak (Kej 1:27). Keindahan ciptaan mencerminkan keindahan Pencipta yang tak terbatas (KGK 341). Aku lebih senang dipanggil “anak gagal” oleh orang-orang yang hanya sesaat, daripada membiarkan martabat diriku direndahkan selamanya. Aku lebih baik bersabar menahan ejekan kata-kata dari mulut sambal orang-orang, dari pada mengorbankan diri demi secarik kertas yang belum tentu menjamin kesuksesan dan kebahagiaan dalam hidupku. Aku teringat ungkapan motivasi di sebuah buku suci "Kuatkan dan teguhkanlah hatimu, janganlah takut dan jangan gemetar karena mereka, sebab Tuhan Allahmu, Dialah yang berjalan menyertai engkau; Ia tidak akan membiarkan engkau dan tidak akan meninggalkan engkau (Ul 31:6)".
Aku percaya Tuhan tak pernah tinggalkan aku, Tuhan tidak pernah ingkar janji. Aku masih muda. Tugasku adalah belajar dan belajar. Belajar menuntut ilmu tidak hanya sekedar mendapat nilai, lulus dan pekerjaan demi kedudukan yang terhormat atau ingin dipuji. Tetapi perlu mengeksistensikan diri dalam societas (lingkungan). Meskipun aku dihantui oleh “janji” itu, bukan berarti menjadi penghalang untuk hidup dan sukses. Thomas Alva Edison, melakukan seribu percobaan sebelum berhasil menyibukkan diri dengan penelitian lampu pijar yang saat itu menjadi perhatian banyak peneliti, pada tahun 1877. Dia pun menyadari pentingnya sumber cahaya semacam itu bagi kehidupan umat manusia. Ia tidak pernah menyerah dengan kegagalan dan kesulitan. Aku tahu bahwa hidupku saat ini memang sulit. Dua pilihan antara berhasil dan tidak berhasil. Di tengah kesulitan yang terjadi, mungkinkah sebuah peluang agar aku dibentuk untuk semakin dewasa, matang dan kompeten. Kesulitan yang nyata masih bisa diatasi, tetapi kesulitan yang tidak bisa diatasi adalah kesulitan yang ada dalam bayangan. Itulah diriku, yang selalu dihantui perasaan bersalah dan pikiranku selalu digodai janji itu. Walaupun aku merasa tak mampu, yang penting aku tak pernah berhenti".
Baca Juga: RenunganMinggu Palma 10 April 2022 (Bacaan Injil: Lukas 19:28-40)
Sejenak ia menarik nafas panjang, lalu perlahan menghembuskan. Ia tampak sedikit legah dan merasa menemukan tempat yang cocok untuk membagikan kemelut bantinnya. "Terima kasih Tuhan, Engkau menuntunku ke tempat yang tepat bagiku untuk membagikan duka hidupku. Tempat yang aman. Hening".
Sebelum gadis itu bergegas pergi dari gua Maria, ia melayangkan story di WAnya dengan menutip kata-kata Tere Lige (1979) "Tak ada kehilangan yang paling menyedihkan di dunia ini selain kehilangan kejujuran, harga diri dan martabat".
Baca Juga: Bible ForKids: Anak mencintai Kitab Suci
Baca Juga: Fajarmenggigil (Puisi Nana Apol Ampur )
Mantap e kae
ReplyDelete