Oleh: Adryan
Naja
Aku tak
pernah tahu mengapa pertemuan itu begitu singkat. Mungkinkah waktu ditentukan
hanya sekedar menitip rasa rindu yang tak akan berakhir ini. Waktu itu aku
terpana melihat setetes keindahan terbit di wajahmu. Paras mukamu begitu elok
dan mulus seperti salju di musim semi.
Wajah cantikmu bagaikan malaikat yang terlahir. Titipan sinar cahaya bola
matamu bagaikan cahaya di musim gelap.
Alur
tawamu menggetarkan seluruh waktu hidupku. Aku pasrah pada caramu yang sedikit
menyungging senyum kecilku padamu. Dan engkau senang menatap wajahku
berkali-kali. Aku sempat menyapa hatimu dengan rasa yang tak terkatakan. Engkau
juga membiarkan dirimu tertata rapi menahan rindu terlarang untuk merelakan
kepergian diriku. Aku ingat sekali bahwa ketika aku diam membisu, engkau dengan
segera mengambil jarak dekat menatapku tanpa tanya. Hatiku seolah-olah tidak
pernah mengenal arti dari hakikat dirimu. Sulit bagiku tuk menggenggam angin
semilir nan sejuk membawa damai dalam kisah singkat itu.
Kita bermesraan
di pojok Gereja tua, ditemani kesepian senja. Hanya saja sejumlah suara burung
yang turut bergembira melihat kita tersenyum. Tak lama kemudian, engkau
mengajakku menatap wajahmu. Aku pun tak segan memandang wajahmu yang penuh cerita
di hari nanti. Engkau sempat mengajukan permohonan kecil kepadaku,
“Kak,
bolehkah aku menjadi bagian dari hidupmu? Bolehkah aku menjadi bagian dari
waktu hidupmu?”
Engkau
seolah-olah tidak pernah paham bahwa kebohongan terbesar dalam hidup ialah
pertanyaan yang menarik ribuan rasa percaya dan yakin bahwa kebenaran terbaring
di ranjang kata. Aku terdiam sejenak melirik wajahmu yang memberi gambaran awal
pengkhianatan akan datang di halaman sejarah hidupku.
“Kak,
kenapa diam saja. Kak, tidak maukah kalau aku menjadi bagian dari hidupmu?” Tanyamu kembali. Aku sebenarnya ingin menjawab
bahwa rembulan hanya bersinar di saat gelap menutupi seluruh tubuh dunia. Tapi,
selebihnya matahari menampakkan wajah kebohongan dalam nama kebenaran. Ah,
bukan gitu Ny. Dengan suara lembut langkah rasaku mencoba memberi kedamaian
pada rasa curigamu. Aku sih tidak masalah kalau kamu menjadi bagian dari seluruh
waktu hidupku ke depan. Tapi, apakah kamu sanggup bila aku tak mampu membangun
keabadian bahagia dalam hidupmu.
Baca Juga: CurhatSeorang Gadis (Cerpen Martinus Join)
Engkau
dengan segera menatapku dengan tatapan tajam tanpa ada kata yang mampu mengubah
kebiasaanmu dalam menatapku. “Ah, kak,,,, serius jawabnya”. Engkau pun membutuhkan keseriusan dariku. “Ya, Ny aku serius loh. Aku tulus mencintaimu.
Aku tak akan membiarkan kata khianat mendurhakai kisah cinta kita. Waktu itu,
aku memilih jujur dengan perasaan terdalamku. Hal itu menandakan bahwa aku rela
menerima apa yang terjadi pada kata-kata terakhir kisah itu”.
***
Ny adalah
nama yang akrab sekali dengan rasa damai dalam diriku. Aku senang memanggil Ny,
namamu. Lalu, engkau tersenyum malu dan sekaligus senang ketika nama itu
menyentuh seluruh harapanmu. “Terima kasih ya kak, aku sangat damai ketika bersamamu. Aku sangat mencintaimu kak”. Kembali engkau meramu mesra dariku. “Aku juga mencintaimu Ny”.
Tanpa
sadar aku membuka pintu hati mengatakan cintaku yang lahir dari kepolosan
terdalam. Engkau pun tertenang mendengar denyutan kata-kataku meneduhkan jiwamu.
Engkau pun sangat ceria mendesainkan suasana pertemuan kita dengan menyusun struktur
kata agar tak terlihat tenang dan hening. Engkau menunjukkan kebolehanmu dengan
menceritakan semua kisah hidupmu.
Satu
pertanyaan penutup dari semua kisah tentang hidupmu yang kau ajukan kepadaku
demi memecahkan kesepian senja itu. “Kak,,,aku
benci pada jarak, sebab jarak adalah salah satu duri bagi rindu. Apakah kaka juga benci pada
jarak?”. “Ya Ny, aku sangat benci”. Dengan
lugas dan santun aku mengambil bagian dari kebencianmu. Waktu pun terus
berputar. Sementara kita tidak ingin membiarkan waktu menjadi hakim terakhir
dari pertemuan kecil itu.
***
“Ny, Engkau
telah menjadi ujung dari waktu penziarahanku. Engkau telah mengukir indah
dinding sejarah hidupku”. Pintaku dalam hati. Tanpa segan, tanganku merapikan rambutmu yang
sedikit terbawa angin. Sementara engkau begitu damai merasakan detak jantung
cintaku. Engkau pun berteduh di dadaku, tanpa satu pun kata yang mampu membujuk
kesepian senja itu pergi meninggalkan kita. Aku terdiam, merasakan hangatnya
dirimu yang bersandar di dinding hatiku. Lalu, engkau tersenyum dikala tanganku
mengelus-elus rambutmu yang berantakan. Senja rupanya sangat akrab dengan kisah
pertemuan singkat itu, bahkan kumpulan-kumpulan angin kecil tak ingin pergi
meninggalkan kita sendirian. Akhirnya juga, kita berpasrah pada gelap yang
datang sekian kalinya menutup pintu dunia dengan segala kepekatannya. Kita pun
bergegas berjalan pulang, sambil membawa rindu dan ingat kisah singkat itu.
***
Hari demi
hari, pertemuan itu seakan membisu diam tanpa kata akhir yang mengakhiri
rinduku. Aku masih ingat sekali raut wajahmu yang melempari aku pada diam.
Caramu menyentuh alam rinduku, yang hampir saja menyeretku ke tebing pasrah
pada rasa. Gelombang suaramu menggumuli segala keraguanku, mengajakku menatap
cahaya senja di ujung waktu. Engkau tersenyum dikala kita saling menatap wajah
bahkan tersungkur melihat setetes ketulusan jatuh dari bening hatiku.
Aku yakin
bahwa bola matamu bagaikan lorong kecil
menuju kebahagiaan. Bahwa senyummu setulus merpati, tak menyingkap tabir
khianat di akhir pilihanmu untuk pergi. Aku ingat sekali akan dirimu.
Aku
sengaja membiarkan memoriku menggemakan syair-syair rindu, agar semesta tahu
betapa beratnya melepaskan orang yang pergi tanpa ada alasan. Sekarang engkau
pergi tanpa pesan dan alasan sedikit pun padaku. Engkau pergi tanpa pamit
apalagi permisi bahkan tak ada rasa kuatir akan luka padaku.
Baca Juga: ManusiaSebagai Makhluk Peziarah; Sebuah Refleksi
Tampaknya
engkau tidak memiliki rasa peduli pada janji kita waktu itu. Masih segar dalam
ingatanku janjimu waktu itu, “bahwa kita akan bersama seumur hidup”. Atas nama cinta
dan kasih engkau memproklamirkan janji di semesta cintaku. Memang janji pada
hakikatnya terlahir dari kedamaian sebentar yang secara tulus dan berani
mengawinkan waktu sekarang dengan yang akan datang.
“Ah,,,
entahlah. Aku tidak membutuhkan banyak kata-kata darimu untuk menjelaskan
maksud kepergianmu. Aku hanya membutuhkan kata akhir darimu, agar aku merasa
terhormat bagi dunia. Sebab, di awal kisah memasuki ruang cinta kita, engkau
dengan berani bahkan jujur untuk memulai membangun pengalaman ini selama ini.
Tapi, mengapa di akhir cerita engkau tak sempat menyapaku dengan kata maaf, aku
tidak bisa bersamamu lagi. Engkau pergi
membawa sejuta pertanyaan yang tidak berakhir pada jarak jauh yang kau ciptakan
itu”.
Aku lebih baik memilih berdiam diri dari pada mengajukan
sedikit gugatan terhadap kepergianmu, karena bagiku kepergianmu menjadi tanda
bahwa kedamaian adalah awal dari perjalanan menuju luka.
Barangkali
rasa sakit hati dari orang yang terlihat jahat lebih indah, dari pada
pengalaman jatuh pertama kali dalam kebohongan yang tulus.
Janji
adalah awal dari pengkhianatan, dan percaya adalah kisah pertama dari rasa
kecewa. Percaya pada kata-kata hanya menyediakan ruang luka dan penyesalan di
akhir kalimat. Jujur, aku tak bisa membedakan antara kebenaran dan kebohongan.
Sebab, keduanya bersajak sama oleh orang yang tepat pada waktu yang tepat.
Kebohongan sering kali datang dari orang yang dianggap baik dan istimewa. Dalam
kata-katanya tak seorang pun mengenal wajah munafik yang berpura-pura tulus dan
sejuk. Bagaikan mawar berduri, terlihat indah namun menyakitkan.
Kepergian merupakan suatu pengalaman yang menyakitkan,
apalagi orang yang pergi adalah orang yang kita sayang dan istimewa dalam
hidup. Kehilangan dirinya membuat seseorang tak mampu melihat waktu sebagai
kesempatan tapi melainkan sebagai penyiksaan. Aku terlihat biasa-biasa saja
dengan kepergianmu. Tapi, aku tak berani menyembunyikan luka di hati tercecer
dalam kebohongan. Sebagaimana pun aku kuat dan tegar, aku lemah lembut dalam
rasa. Kendati demikian halnya, bahwa aku rela engkau pergi, tapi jiwaku sejak kepergianmu
telah memilih untuk pergi dari hari-hari hidupku.
Mungkin kegagalan
terbesar dalam hidupku ialah ketika aku tak mampu membangun ruang nyaman dan
bahagia bagi jiwaku sendiri. Aku terasing dari waktu hidupku. Aku mungkin
bagian dari kemustahilan-kemustahilan yang tidak asing lagi dengan kenyataan.
Kesendirianku saat ini adalah bagian dari pilihanmu untuk pergi. Aku juga tak
benci sekali dengan kepergianmu. Kebencian hanya membuat seseorang terluka dan
jauh dari kedamaian. Aku juga tak ingin melarikan diri dari luka, sebab
pelarian akan mengurungkan diri sendiri dalam rasa bersalah.
***
Aku sudah
cukup sering menjadi seorang pengembara yang tidak benci pada perpisahan. Walaupun
waktu terlihat jauh dan ruang masih terbentang luas, aku sama sekali tidak
pernah berhenti melangkahkan kakiku di atas semesta impianku. Bahkan di setiap bait-bait
kesepianku menjadi momen yang terindah bagiku untuk menemukan diriku. Aku
sangat yakin bahwa setiap pengalaman bersamamu memberikan banyak kenangan-
kenangan yang tak terhapus oleh waktu. Walaupun di sudut rindu ini, engkau adalah
misteri yang belum tuntas dilakoni oleh Sang Waktu. Namun, engkau adalah
penggalan-penggalan takdir yang hanya memasrahkan diriku pada kekecewaan.
Baca Juga: Fajarmenggigil (Puisi Nana Apol Ampur )
Aku
sungguh tak percaya pada takdir seperti yang telah kau balut diriku dengan
kata-kata mutiaramu bahwa takdir akan menyatukan kita di hari nanti. Takdir
hanya membuat seseorang pasrah pada janji, dan takdir hanya membuat seseorang
menjadi tidak bebas menentukan pilihan hidupnya.
Aku
tertunduk diam menyaksikan diriku sendiri mengembara usia muda ini. Aku sungguh
tak berhasil menjadi bagian dari rasa cintaku ini. Sementara jiwaku sendiri
memilih untuk mengasingkan diri dari dugaanku. Ah, aku ini makhluk yang
terlempar dari duniaku sendiri.
Biarlah,
aku sebenarnya tak menuntutmu untuk pergi. Tapi, mungkin kepergianmu menjadi
tanda bahwa kita tidak diciptakan untuk bersama. Atau mungkin kepergianmu
menunjukkan bahwa tak selamanya orang baik akan menjadi baik dan orang jahat
tidak selamanya menjadi jahat. Tidak ada hakikat yang pasti untuk memastikan
kepastian seorang manusia. Lebih baik, belajarlah dari semua peristiwa dan
pengalaman hidup bahwa tak ada yang abadi dan pasti dari semua yang datang dan
dimiliki dalam hidup. Tidak ada keadilan yang benar selain tiadanya keadilan.
Hidup
kita mengalir dari pertentangan yang dipertemukan dalam wajah kenyataan. Aku
juga tak mau menyebutmu sebagai pengkhianat, sebab tak semua khianat datang
dari rasa benci dan dendam.
***
“Biarlah”, pintaku dalam hati. Aku mencoba membangun
sebuah kebenaran dan keadilan dalam diriku, agar penyesalan dan kekecewaanku
tidak menyangsikan kepergian dirimu. Sambil menatap wajahku dalam cermin, keikhlasanku
memberanikan diri melepaskan dirimu. Ny, pergilah dari hidupku. Pergilah,
pergilah ke mana saja engkau dipanggil oleh takdir yang engkau yakini selama
ini. Bahagiakan dirimu di sana. Jangan pernah melukai pilihanmu. Sebab,
kejujuranmu pada waktu itu merupakan salah satu alasan mengapa kebenaran
berbaring mesra di atas ranjang nestapa. Dan kebohongan lebih akrab dengan
kata-kata, daripada dengan kenyataan.
Jangan
pernah mengulangi lagi sejarah terburuk dalam kehidupan orang lain. Karena itu akan
membuatmu terpisah dari kebenaran dan kebaikan. Jangan lagi berpikir bahwa aku
di sini merindukan kehadiranmu lagi. Tidak akan Ny, aku tidak akan mengulangi
rasa yang sama pada waktu yang berbeda, walaupun kepergianmu ini membawa
penyesalan bagiku. Ah, tidak apa-apa, memang aku akui bahwa penyesalan selalu
datang ketika rasa nyaman dikhianati oleh orang yang hadir hanya untuk menjatuhkan
setetes air mata penyesalan, lalu pergi diam-diam sambil meninggalkan sederetan
kata; selamat berpisah, walau kau tak sempat mengungkapnya. Aku hanya
mengucapkan terima kasih kepadamu yang telah menjadi bagian dari sejarah dalam
waktu hidupku.
Baca Juga: Budaya Populer: Tantangan Iman Kaum Muda?
Engkau
telah menunjukkan kepadaku arti dari hidup sebagai sebuah persinggahan. Ya memang
begitulah, dan cinta hanyalah manifestasi ide-ide yang menjelma dalam nada
senja. Di mana setiap orang hadir hanya untuk menjadi bagian dari tebing rindu.
Sekali lagi, tidak perlu engkau memikirkan aku di sini ya, aku baik-baik saja
ya. Aku sudah terbiasa akrab dengan sejumlah sejarah terburuk dalam waktu. Kegagalan
bagiku terjadi hanya karena kealpaan diriku untuk tidak memulainya. Tapi Jangan
lupa ya, kisah waktu itu.
Penulis adalah mahasiswa STFT Widya Sasana Malang. Asal Flores-Manggarai
Timur.
Mantappp brooo..Lanjutkan.!!!!
ReplyDelete“Kak, bolehkah aku menjadi bagian dari hidupmu? Bolehkah aku menjadi bagian dari waktu hidupmu?”. Pertanyaan retoris yang mana jawabannya hanya terungkap seturut kata hati.
ReplyDelete