Iklan

Pergilah Kasih dan Lupakan Semua Tentang Kita (Cerpen: Adryan Naja)

Redaksi
Friday, 13 May 2022 | May 13, 2022 WIB Last Updated 2022-08-26T13:51:56Z

 

Pergilah Kasih dan Lupakan Semua Tentang Kita (Cerpen: Adryan Naja)
Pergilah Kasih dan Lupakan Semua Tentang Kita (Cerpen: Adryan Naja)

Oleh: Adryan Naja

Aku tak pernah tahu mengapa pertemuan itu begitu singkat. Mungkinkah waktu ditentukan hanya sekedar menitip rasa rindu yang tak akan berakhir ini. Waktu itu aku terpana melihat setetes keindahan terbit di wajahmu. Paras mukamu begitu elok dan mulus seperti  salju di musim semi. Wajah cantikmu bagaikan malaikat yang terlahir. Titipan sinar cahaya bola matamu bagaikan cahaya di musim gelap.

Alur tawamu menggetarkan seluruh waktu hidupku. Aku pasrah pada caramu yang sedikit menyungging senyum kecilku padamu. Dan engkau senang menatap wajahku berkali-kali. Aku sempat menyapa hatimu dengan rasa yang tak terkatakan. Engkau juga membiarkan dirimu tertata rapi menahan rindu terlarang untuk merelakan kepergian diriku. Aku ingat sekali bahwa ketika aku diam membisu, engkau dengan segera mengambil jarak dekat menatapku tanpa tanya. Hatiku seolah-olah tidak pernah mengenal arti dari hakikat dirimu. Sulit bagiku tuk menggenggam angin semilir nan sejuk membawa damai dalam kisah singkat itu.

Kita bermesraan di pojok Gereja tua, ditemani kesepian senja. Hanya saja sejumlah suara burung yang turut bergembira melihat kita tersenyum. Tak lama kemudian, engkau mengajakku menatap wajahmu. Aku pun tak segan memandang wajahmu yang penuh cerita di hari nanti. Engkau sempat mengajukan permohonan kecil kepadaku,

Kak, bolehkah aku menjadi bagian dari hidupmu? Bolehkah aku menjadi bagian dari waktu hidupmu?

Engkau seolah-olah tidak pernah paham bahwa kebohongan terbesar dalam hidup ialah pertanyaan yang menarik ribuan rasa percaya dan yakin bahwa kebenaran terbaring di ranjang kata. Aku terdiam sejenak melirik wajahmu yang memberi gambaran awal pengkhianatan akan datang di halaman sejarah hidupku.

Kak, kenapa diam saja. Kak, tidak maukah kalau aku menjadi bagian dari hidupmu? Tanyamu kembali. Aku sebenarnya ingin menjawab bahwa rembulan hanya bersinar di saat gelap menutupi seluruh tubuh dunia. Tapi, selebihnya matahari menampakkan wajah kebohongan dalam nama kebenaran. Ah, bukan gitu Ny. Dengan suara lembut langkah rasaku mencoba memberi kedamaian pada rasa curigamu. Aku sih tidak masalah kalau kamu menjadi bagian dari seluruh waktu hidupku ke depan. Tapi, apakah kamu sanggup bila aku tak mampu membangun keabadian bahagia dalam hidupmu.

Baca Juga: CurhatSeorang Gadis (Cerpen Martinus Join)

Engkau dengan segera menatapku dengan tatapan tajam tanpa ada kata yang mampu mengubah kebiasaanmu dalam menatapku. Ah, kak,,,, serius jawabnya. Engkau pun membutuhkan keseriusan dariku. Ya, Ny aku serius loh. Aku tulus mencintaimu. Aku tak akan membiarkan kata khianat mendurhakai kisah cinta kita. Waktu itu, aku memilih jujur dengan perasaan terdalamku. Hal itu menandakan bahwa aku rela menerima apa yang terjadi pada kata-kata terakhir kisah itu.

***

Ny adalah nama yang akrab sekali dengan rasa damai dalam diriku. Aku senang memanggil Ny, namamu. Lalu, engkau tersenyum malu dan sekaligus senang ketika nama itu menyentuh seluruh harapanmu. Terima kasih ya kak, aku sangat damai ketika bersamamu. Aku sangat mencintaimu kak. Kembali engkau meramu mesra dariku. Aku juga mencintaimu Ny”.

Tanpa sadar aku membuka pintu hati mengatakan cintaku yang lahir dari kepolosan terdalam. Engkau pun tertenang mendengar denyutan kata-kataku meneduhkan jiwamu. Engkau pun sangat ceria mendesainkan suasana pertemuan kita dengan menyusun struktur kata agar tak terlihat tenang dan hening.  Engkau menunjukkan kebolehanmu dengan menceritakan semua kisah hidupmu.

Satu pertanyaan penutup dari semua kisah tentang hidupmu yang kau ajukan kepadaku demi memecahkan kesepian senja itu. Kak,,,aku benci pada jarak, sebab jarak adalah salah satu duri bagi rindu. Apakah kaka juga benci pada jarak?”. Ya Ny, aku sangat benci.  Dengan lugas dan santun aku mengambil bagian dari kebencianmu. Waktu pun terus berputar. Sementara kita tidak ingin membiarkan waktu menjadi hakim terakhir dari pertemuan kecil itu.

***

Ny, Engkau telah menjadi ujung dari waktu penziarahanku. Engkau telah mengukir indah dinding sejarah hidupku. Pintaku dalam hati. Tanpa segan, tanganku merapikan rambutmu yang sedikit terbawa angin. Sementara engkau begitu damai merasakan detak jantung cintaku. Engkau pun berteduh di dadaku, tanpa satu pun kata yang mampu membujuk kesepian senja itu pergi meninggalkan kita. Aku terdiam, merasakan hangatnya dirimu yang bersandar di dinding hatiku. Lalu, engkau tersenyum dikala tanganku mengelus-elus rambutmu yang berantakan. Senja rupanya sangat akrab dengan kisah pertemuan singkat itu, bahkan kumpulan-kumpulan angin kecil tak ingin pergi meninggalkan kita sendirian. Akhirnya juga, kita berpasrah pada gelap yang datang sekian kalinya menutup pintu dunia dengan segala kepekatannya. Kita pun bergegas berjalan pulang, sambil membawa rindu dan ingat kisah singkat itu.

***

Hari demi hari, pertemuan itu seakan membisu diam tanpa kata akhir yang mengakhiri rinduku. Aku masih ingat sekali raut wajahmu yang melempari aku pada diam. Caramu menyentuh alam rinduku, yang hampir saja menyeretku ke tebing pasrah pada rasa. Gelombang suaramu menggumuli segala keraguanku, mengajakku menatap cahaya senja di ujung waktu. Engkau tersenyum dikala kita saling menatap wajah bahkan tersungkur melihat setetes ketulusan jatuh dari bening hatiku.

Aku yakin  bahwa bola matamu bagaikan lorong kecil menuju kebahagiaan. Bahwa senyummu setulus merpati, tak menyingkap tabir khianat di akhir pilihanmu untuk pergi.  Aku ingat sekali akan dirimu.

Aku sengaja membiarkan memoriku menggemakan syair-syair rindu, agar semesta tahu betapa beratnya melepaskan orang yang pergi tanpa ada alasan. Sekarang engkau pergi tanpa pesan dan alasan sedikit pun padaku. Engkau pergi tanpa pamit apalagi permisi bahkan tak ada rasa kuatir akan luka padaku.

Baca Juga: ManusiaSebagai Makhluk Peziarah; Sebuah Refleksi

Tampaknya engkau tidak memiliki rasa peduli pada janji kita waktu itu. Masih segar dalam ingatanku janjimu waktu itu, “bahwa kita akan bersama seumur hidup”. Atas nama cinta dan kasih engkau memproklamirkan janji di semesta cintaku. Memang janji pada hakikatnya terlahir dari kedamaian sebentar yang secara tulus dan berani mengawinkan waktu sekarang dengan yang akan datang.

Ah,,, entahlah. Aku tidak membutuhkan banyak kata-kata darimu untuk menjelaskan maksud kepergianmu. Aku hanya membutuhkan kata akhir darimu, agar aku merasa terhormat bagi dunia. Sebab, di awal kisah memasuki ruang cinta kita, engkau dengan berani bahkan jujur untuk memulai membangun pengalaman ini selama ini. Tapi, mengapa di akhir cerita engkau tak sempat menyapaku dengan kata maaf, aku tidak bisa bersamamu lagi.  Engkau pergi membawa sejuta pertanyaan yang tidak berakhir pada jarak jauh yang kau ciptakan itu.

Aku lebih baik memilih berdiam diri dari pada mengajukan sedikit gugatan terhadap kepergianmu, karena bagiku kepergianmu menjadi tanda bahwa kedamaian adalah awal dari perjalanan menuju luka.

Barangkali rasa sakit hati dari orang yang terlihat jahat lebih indah, dari pada pengalaman jatuh pertama kali dalam kebohongan yang tulus.  

Janji adalah awal dari pengkhianatan, dan percaya adalah kisah pertama dari rasa kecewa. Percaya pada kata-kata hanya menyediakan ruang luka dan penyesalan di akhir kalimat. Jujur, aku tak bisa membedakan antara kebenaran dan kebohongan. Sebab, keduanya bersajak sama oleh orang yang tepat pada waktu yang tepat. Kebohongan sering kali datang dari orang yang dianggap baik dan istimewa. Dalam kata-katanya tak seorang pun mengenal wajah munafik yang berpura-pura tulus dan sejuk. Bagaikan mawar berduri, terlihat indah namun menyakitkan.

Kepergian  merupakan suatu pengalaman yang menyakitkan, apalagi orang yang pergi adalah orang yang kita sayang dan istimewa dalam hidup. Kehilangan dirinya membuat seseorang tak mampu melihat waktu sebagai kesempatan tapi melainkan sebagai penyiksaan. Aku terlihat biasa-biasa saja dengan kepergianmu. Tapi, aku tak berani menyembunyikan luka di hati tercecer dalam kebohongan. Sebagaimana pun aku kuat dan tegar, aku lemah lembut dalam rasa. Kendati demikian halnya, bahwa aku rela engkau pergi, tapi jiwaku sejak kepergianmu telah memilih untuk pergi dari hari-hari hidupku.

Mungkin kegagalan terbesar dalam hidupku ialah ketika aku tak mampu membangun ruang nyaman dan bahagia bagi jiwaku sendiri. Aku terasing dari waktu hidupku. Aku mungkin bagian dari kemustahilan-kemustahilan yang tidak asing lagi dengan kenyataan. Kesendirianku saat ini adalah bagian dari pilihanmu untuk pergi. Aku juga tak benci sekali dengan kepergianmu. Kebencian hanya membuat seseorang terluka dan jauh dari kedamaian. Aku juga tak ingin melarikan diri dari luka, sebab pelarian akan mengurungkan diri sendiri dalam rasa bersalah.

***

Aku sudah cukup sering menjadi seorang pengembara yang tidak benci pada perpisahan. Walaupun waktu terlihat jauh dan ruang masih terbentang luas, aku sama sekali tidak pernah berhenti melangkahkan kakiku di atas semesta impianku. Bahkan di setiap bait-bait kesepianku menjadi momen yang terindah bagiku untuk menemukan diriku. Aku sangat yakin bahwa setiap pengalaman bersamamu memberikan banyak kenangan- kenangan yang tak terhapus oleh waktu. Walaupun di sudut rindu ini, engkau adalah misteri yang belum tuntas dilakoni oleh Sang Waktu. Namun, engkau adalah penggalan-penggalan takdir yang hanya memasrahkan diriku pada kekecewaan.

Baca Juga: Fajarmenggigil (Puisi Nana Apol Ampur )

Aku sungguh tak percaya pada takdir seperti yang telah kau balut diriku dengan kata-kata mutiaramu bahwa takdir akan menyatukan kita di hari nanti. Takdir hanya membuat seseorang pasrah pada janji, dan takdir hanya membuat seseorang menjadi tidak bebas menentukan pilihan hidupnya.

Aku tertunduk diam menyaksikan diriku sendiri mengembara usia muda ini. Aku sungguh tak berhasil menjadi bagian dari rasa cintaku ini. Sementara jiwaku sendiri memilih untuk mengasingkan diri dari dugaanku. Ah, aku ini makhluk yang terlempar dari duniaku sendiri.

Biarlah, aku sebenarnya tak menuntutmu untuk pergi. Tapi, mungkin kepergianmu menjadi tanda bahwa kita tidak diciptakan untuk bersama. Atau mungkin kepergianmu menunjukkan bahwa tak selamanya orang baik akan menjadi baik dan orang jahat tidak selamanya menjadi jahat. Tidak ada hakikat yang pasti untuk memastikan kepastian seorang manusia. Lebih baik, belajarlah dari semua peristiwa dan pengalaman hidup bahwa tak ada yang abadi dan pasti dari semua yang datang dan dimiliki dalam hidup. Tidak ada keadilan yang benar selain tiadanya keadilan.

Hidup kita mengalir dari pertentangan yang dipertemukan dalam wajah kenyataan. Aku juga tak mau menyebutmu sebagai pengkhianat, sebab tak semua khianat datang dari rasa benci dan dendam.

***

Biarlah, pintaku dalam hati. Aku mencoba membangun sebuah kebenaran dan keadilan dalam diriku, agar penyesalan dan kekecewaanku tidak menyangsikan kepergian dirimu. Sambil menatap wajahku dalam cermin, keikhlasanku memberanikan diri melepaskan dirimu. Ny, pergilah dari hidupku. Pergilah, pergilah ke mana saja engkau dipanggil oleh takdir yang engkau yakini selama ini. Bahagiakan dirimu di sana. Jangan pernah melukai pilihanmu. Sebab, kejujuranmu pada waktu itu merupakan salah satu alasan mengapa kebenaran berbaring mesra di atas ranjang nestapa. Dan kebohongan lebih akrab dengan kata-kata, daripada dengan kenyataan.

Jangan pernah mengulangi lagi sejarah terburuk dalam kehidupan orang lain. Karena itu akan membuatmu terpisah dari kebenaran dan kebaikan. Jangan lagi berpikir bahwa aku di sini merindukan kehadiranmu lagi. Tidak akan Ny, aku tidak akan mengulangi rasa yang sama pada waktu yang berbeda, walaupun kepergianmu ini membawa penyesalan bagiku. Ah, tidak apa-apa, memang aku akui bahwa penyesalan selalu datang ketika rasa nyaman dikhianati oleh orang yang hadir hanya untuk menjatuhkan setetes air mata penyesalan, lalu pergi diam-diam sambil meninggalkan sederetan kata; selamat berpisah, walau kau tak sempat mengungkapnya. Aku hanya mengucapkan terima kasih kepadamu yang telah menjadi bagian dari sejarah dalam waktu hidupku.

Baca Juga: Budaya Populer: Tantangan Iman Kaum Muda?

Engkau telah menunjukkan kepadaku arti dari hidup sebagai sebuah persinggahan. Ya memang begitulah, dan cinta hanyalah manifestasi ide-ide yang menjelma dalam nada senja. Di mana setiap orang hadir hanya untuk menjadi bagian dari tebing rindu. Sekali lagi, tidak perlu engkau memikirkan aku di sini ya, aku baik-baik saja ya. Aku sudah terbiasa akrab dengan sejumlah sejarah terburuk dalam waktu. Kegagalan bagiku terjadi hanya karena kealpaan diriku untuk tidak memulainya. Tapi Jangan lupa ya, kisah waktu itu.

 

Penulis adalah mahasiswa STFT Widya Sasana Malang. Asal Flores-Manggarai Timur.

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Pergilah Kasih dan Lupakan Semua Tentang Kita (Cerpen: Adryan Naja)

2 comments:

  1. Mantappp brooo..Lanjutkan.!!!!

    ReplyDelete
  2. “Kak, bolehkah aku menjadi bagian dari hidupmu? Bolehkah aku menjadi bagian dari waktu hidupmu?”. Pertanyaan retoris yang mana jawabannya hanya terungkap seturut kata hati.

    ReplyDelete

Trending Now

Iklan