Ayah, Aku Rindu (Surat Kecil Untuk Ayah)
Oleh: Adryan Naja
“Di mana akan kucari, aku menangis seorang diri. Hatiku s’lalu ingin bertemu, untukmu aku bernyanyi”. Lirik lagu ciptaan Rinto Harahap ini kembali mengusik ketenangan batin ini. Aku terdiam merasakan kepedihan hati. Kamar sepih, bisikan suara burung tak lagi terdengar. Ruang rasa dipenuhi oleh ayat-ayat rindu. Aku tertunduk sambil menatap wajahku yang berantakan di lembaran pengalaman. Aku sedih. Mengingat masa lalu yang telah pergi bersama irama waktu. Hanya rindu dan ingat membuka pintu kamar sepih dan sedih. Ah, aku ini makhluk yang tertimpa oleh kegagalan misteri. Barangkali misteri itu ada. Sehingga, di sudut kesedihan ini, aku ingat sekali wajahmu ayah,,,,,,,(sambil menangis, aku mengutuki diri yang malang ini).
********
Ayah,,,ayah,,,suaraku bergema memanggil namamu dalam surat ini. (Aku menulis surat ini sambil menangis ayah). Aku sebenarnya tak sanggup untuk menulis surat ini, tapi akan lebih luka lagi bila aku tidak jujur dengan diriku sendiri bahwa aku rindu dirimu ayah.
Baca Juga: Keterlibatan Gereja dalam Pendidikan Karakter KaumMuda
Aku tak tahu lagi apa yang harus aku lakukan di sini ketika ketiadaan dirimu seakan menghilangkan semua duniaku. Aku tak mempunyai apa-apa lagi selain rasa benci dan kecewa, luka dan duka, rindu dan sayang tercecer di ruang rasa dan ideku. Hari-hari hidupku selalu dipenuhi dengan berbagai rindu dan kecewa. Aku benci sekaligus rindu dirimu ayah. Kepergianmu menjadi awal dari semua kisah aneh dan sejarah terburuk dalam hidupku. Aku tidak tahu, engkau di mana sekarang. Aku tak mengerti mengapa engkau pergi di saat-saat aku belum mampu merelakan dan memaafkan. Aku di sini hanya menatap wajahku sendiri, menatap hari-hari hidupku yang selalu setia menemaniku ke ruang benci dan dendam pada Yang Mahakuasa. Mungkin Dia yang melakukan semuanya ini.
*****
Ayah, ayah,,,, masihkah kau ingat saat-saat kita bersama dan bermesraan di rumah ini. Ketika kita saling bersua muka. Ketika kita saling beradu rasa, tawa dan canda memecahkan kesunyian malam hari, lalu kita saling berpelukan layaknya seekor burung mengayomi anaknya. Sementara itu, musik tradisional Manggarai kesukaanmu menggemakan lagu sendu. Aku masih ingat jelas tentang dongeng yang kau ceritakan sebelum tidur malam, dan tanganmu membelai rambutku. Aku pun tertidur pulas di tengah sepihnya malam. Masihkah kau ingat, ketika bangun di pagi hari engkau menyapaku dengan nada hangat.
Aku masih ingat ayah,,,, masih segar dalam ingatanku,,,, ekspresimu dikala aku masih menjadi seperti seorang yang sedang menunggu kelahiran benar dan salah di siang hari. Masih terdengar jelas nada-nada pesanmu diingatanku. Engkau berpesan agar “jangan membiarkan masa depanmu terbaring nyenyak di atas impian orang lain”. Waktu itu aku belum mengerti maksud pesanmu ayah. Tapi, saat ini Aku menjadi manusia yang memiliki rasa peduli pada kebebasan diriku yang mampu mengubah hidup masa lalu dengan menjanjikan kepastian masa depan yang cerah. Barangkali di sana kau masih ingat kisah-kisah indah yang telah kita lalui itu. Ah, ayah. Engkau hanya membuatku jatuh pada rasa jengkel. Ayah, aku ingin sekali kisah itu diulang kembali saat ini.
*****
Ayah, sejak kepergianmu, aku dihadapkan dengan berbagai pertanyaan-pertanyaan aneh yang datang silih berganti di ruang rinduku. Mengapa engkau melahirkan aku? Mengapa engkau datang hanya sekedar membuat kerangka derita ini menimpa diriku? Ayah, andai kau tahu di sana bahwa aku di sini, di alam duka dan rindu ini, telah memilih menjadi bagian dari kenyataan yang sengaja aku paksakan untuk menemukan arti dari kehidupan ini.
Sulit bagiku menuruti kehendak semesta. Semesta telah gagal membuat bahagia diriku. Sebab itu, aku tak mau berpasrah pada saat-saat aku dan realitasku ini menyimpan rahasia alam. Alam mendiamkan seribu kata, dan melilit kesadaranku pada ketidaktahuanku tentang kematian sepertinya membiarkan Kepergianmu menjadi abadi dalam misteri. Semua orang akan mengatakan bahwa kematian itu misteri. Ayah,, hidup ini aneh. Ada banyak orang yang menghuni kerajaan takdir, dan menganggap misteri terjadi pada apa yang tidak bisa dimengerti.
*****
Kendati demikian, aku hanyalah lukisan dari setiap rencana rahasia apa yang harus terjadi di semesta ini. Sebenarnya aku belum mampu merelakan peristiwa ini terjadi pada dirimu. Tapi, semesta ini mempunyai landasan kuasa yang mengharuskan diriku menebarkan cinta padanya. Ayah, aku tak pantas menjadi bagian dari kenyataan hidup ini. Andai saja aku tidak tahu apa artinya perpisahan, aku yakin, aku akan baik saja. Tapi, sekarang mataku melihat dengan jelas bahwa kematian melenyapkan ribuan waktu hidup.
Kematian sama sekali tidak peduli dengan keinginanku. Kematian telah menenunkan pilihanku untuk pasrah pada kuasa misteri. Apakah aku harus membenci kematian? Apakah batas-batas waktu hidup hanyalah kematian. Mengapa ayah tidak bangkit lagi, bangkit dalam hayalanku. Agar aku bisa merasakan kenikmatan misteri. Ayah, aku rindu. Aku ingin masa lalaku menguburkan jenazah impianku. Biarkan kehampaan menempati ruang dan waktu hidupku. Sebab nada rindu ini telah merenggut jarak yang terbentang antara kita, ayah.
*****
Ayah, apakah engkau tahu, aku merindukan kehadiran dirimu? Sebab, tidak ada lagi yang kuandalkan di sini. Mereka yang menemani diriku di setiap saat tidak membujukku tuk menaruh kepercayaan sedikit pun pada penjelasan takdir. Engkau tahu itu ayah? Akankah engkau kembali ke pangkuan rasa rindu ini, ayah? Aku ingin saat ini engkau hadir menemani diriku, mendampingiku di saat-saat aku sudah berada dalam sajak sukses. Namun, kematian tampaknya keharusan yang pasti diterima. Sebab, tidak ada satu hal yang bisa mengembalikan jiwa-jiwa yang hilang.
Baca Juga: Budaya Populer: Tantangan Iman Kaum Muda?
Ayah, perjalananku masih panjang, dan masih banyak saat-saat yang tidak sempat kulalui. Aku mencoba menciptakan jarak jauh dari rindu ini, tapi semakin aku membuatnya, aku semakin sakit dan luka. Aku masih terus mencari mengapa misteri Kematian itu diam membisu, seolah-olah jawabannya terlempar jauh dari ruang dan waktu ini. Tak ada jawaban dalam semua yang ada dan semua yang ada bukanlah jawaban. Mungkin bayangan wajah Allah memberikan kepastian bahwa hidup ini fana.
Entahlah,,,,
Di atas ranjang rasa curigaku semua jawaban dari mereka yang berpihak pada ketentuan-ketentuan takdir hanyalah lukisan derita mereka sendiri yang tidak mampu mengendalikan kejujuran diri. Aku cukup menitipkan kemauan untuk mendapatkan alasan akan misteri yang terselubung dalam diam. Karena belenggu derita hidup ini membungkus seribu kebusukan dalam hari-hari hidupku. Terkadang aku lelah, menatap wajahku sendiri di tengah keramaian pengalaman hidupku. Apalagi memandang ke sudut terdalam dari cerita kematianmu ayah. Ayat-ayat cinta pada masa lalu hanya goresan hasrat. Sementara Nada senja seringkali membujukku pergi ke luar kenyataan hidup ini. Karena, bagiku hidup tanpamu ayah bagaikan gelombang suara tanpa penyanyi.
Baca Juga: Kisah Kasih Bersama Seorang Ibu (Teras Inspirasi)
Ayah, atas nama rindu, kukutukan karma ini. Kutuliskan surat rindu ini hanya ingin kau tahu bahwa aku sedang membenci takdir. Aku sengaja tidak membiarkan diri ini memihak kepada kebodohan semesta. Walau terkadang kebenaran tertidur lelap di balik bayangan segala sesuatu. Tapi, segala sesuatu pasti akan malu tersipu-sipu melihat kejujuranku berpihak pada pilihan untuk mendoakanmu, semoga kau bahagia di sana. Hanya itu saja yang dapat kuberikan padamu ayah. Semoga kau bahagia di sana.
No comments:
Post a Comment