Oleh: Benyamin Tarmin
Teras Inspirasi- Salah satu tradisi kuno yang pernah ada di Jepang ialah membuang orang tua yang sudah tua ke hutan. Mereka yang dibuang adalah orang tua yang sudah tidak berdaya sehingga memberatkan kehidupan dari anak-anaknya. Alkisah, pada suatu hari ada seorang pemuda yang berniat membuang orang tuanya yang telah lumpuh dan agak pikun ke hutan. Pemuda itu kemudian menggendong ibunya dan mulai menyusuri hutan. Selama perjalanan sang ibu memotong setiap ranting pohon yang dilaluinya. Kemudian sampailah pemuda itu bersama ibunya di tengah hutan yang sangat lebat itu.
Sebelum ditinggalkan ibunya, pemuda itu mengucapkan kata-kata perpisahan sambil menangis karena ternyata ia tidak menyangka tega melakukan perbuatan itu kepada ibunya. Akan tetapi, raut wajah kesedihan sang anak itu berbeda dengan sang ibu. Sang ibu justru tampak tegar. Sambil mengusap air mata putranya itu, sang ibu berkata, Anakku aku sangat menyanyangimu. Sejak kamu kecil hingga dewasa ibu selalu merawatmu dengan penuh kasih. Bahkan sampai hari ini rasa sayang itu tidak pernah berkurang sedikitpun. Itulah sebab dalam perjalanan menuju tempat ini ibu sudah menandai sepanjang jalan yang kita lalui dengan ranting-ranting kayu. Ibu takut kamu tersesat. Ikutilah tanda itu agar kamu selamat sampai rumahmu.
Baca Juga: Refleksi Tentang Kesempurnaan Kasih
Setelah mendengar kata-kata sang ibu, pemuda itu menangis dengan sangat keras. Lalu ia memeluk ibunya dan kembali menggendongnya untuk membawa si ibu ke rumah. Pemuda itu akhirnya bertekad untuk merawat ibu yang sangat mengasihinya hingga sang ibu meninggal.
Kisah di atas membawa ingatan saya pada sebuah lagu yang berjudul KASIH IBU. Bagian yang menarik saya dari lagu tersebut adalah sebuah lirik yang bunyinya demikian, “kasih ibu kepada beta (saya) tak terhingga sepanjang masa, hanya memberi tak harap kembali, bagai sang surya menyinari dunia”. Lantas saya bertanya dalam hati Apakah sang ibu tidak membutuhkan kasih sayang dan perhatian dari anaknya? Apakah seorang anak tidak memiliki kewajiban untuk memelihara dan merawat ibunya yang sudah tua? Dan masih banyak pertanyaan-pertanyaan yang timbul dalam hatiku.
Refleksi kecil ini bermula ketika pada suatu kesempatan yang diajak oleh sekelompok orang yang dari salah satu lingkungan untuk mengunjungi sebuah rumah panti jompo yang kelola oleh para biarawati. Di situ saya menemukan banyak sekali orang tua (laki-laki dan perempuan) yang sudah tua dan hampir seluruhnya mengalami gangguan. Misalnya ada yang mengalami gangguan pada indra penglihatan (mata), ada pula yang mengalami gangguan pada indra pendengaran (telinga) serta terdapat pula beberapa orang yang mengalami gangguan pada ingatan (pikun) dan masih banyak gangguan-gangguan lain yang dialami oleh mereka.
Salah satu sosok yang menarik perhatian saya selama di tempat itu adalah seorang ibu yang tampak sudah sangat tua. Dan berdasarkan keterangan yang saya dapat dari para biarawati yang merawat mereka bahwa ibu tua tersebut berasal dari keluarga mapan. Semua anak-anaknya telah sukses dan menduduki bagian penting di tempat kerja mereka. Karena kesibukan dan banyaknya pekerjaan yang harus dikerjakan oleh anak-anaknya, si ibu meminta kepada anaknya untuk membawanya ke rumah jompo. Si ibu tidak mau menambah beban yang harus ditanggung oleh anak-anaknya.
Lalu saya mengajak ibu itu untuk mengobrol. Dan betapa senangnya ibu itu ketika saya mengajaknya berbicara. Dia terlihat bersemangat untuk bercerita dengan saya. Setelah saya menanyakan nama dan dan asal, saya kemudian menanyakan keluarganya. Si Ibu bercerita bahwa ia adalah seorang ibu yang memiliki dua anak yang di mana keduanya adalah laki-laki yang sudah sukses dalam karir dan sudah berkeluarga. Lantas dalam hati saya berkata bagaimana mungkin seorang anak yang telah sukses rela melepaskan orang tuanya untuk dititipkan di rumah jompo.
Baca Juga: Baca Juga: Rindu Meneguk Sabda Suci(Puisi)
Kemudian si ibu menceritakan bahwa ia sangat mencintai anak-anaknya. Dan ia melanjutkan bahwa pilihan hidup untuk menempuh masa tuanya di rumah jompo adalah ungkapan cinta terakhirnya untuk anak-anak, menantu dan cucu-cucnya. Ia mengatakan kalau ia tidak mau mengakhiri hidup ini dengan meninggalkan beban dan penderitaan bagi anak-anaknya.
Setelah saya mendengar ceritanya, saya kemudian bertanya apa motivasi yang mendorong ibu mau melakukan hal itu. Ibu itu mengatakan anak-anakku adalah hadiah dan pemberian terindah dari Tuhan. Aku tidak mau membiarkan hadiah dari Tuhan itu rusak. Aku mau ia bertumbuh dan berkembang dengan baik. Dan akhirnya sang ibu bersyukur karena ia telah mengambil bagian dan telah memenuhi kewajibannya serta bertanggung jawab dalam memelihara dan merawat hadiah dari Tuhan.
Dari pengalaman di atas, tiba-tiba saya teringat dengan salah satu ibu yang bernama Bunda Maria. Bunda Maria adalah ibu dari Yesus Kristus. Seluruh hidup dari Bunda Maria dipersembahkan hanya untuk kemuliaan Allah semata. Aku ini hamba Tuhan dan terjadilah padaku menurut perkataanMu (bdk. Luk 1:38). Bunda Maria menjadi “hamba” Allah. Hal itu ditunjukan oleh Bunda Maria dengan mengandung, melahirkan, merawat, membesarkan dan memelihara Putra Allah. Bahkan tatkala Putra Allah itu bergantung di kayu Salib, Bunda Maria menemaniNya dengan berdiri di dekat Salib Yesus.
Sikap yang ditunjukan oleh Bunda Maria merupakan sikap iman. Suatu sikap penyerahan diri kepada rencana dan kehendak Allah. Sebagai sikap iman, Bunda Maria tidak mencari atau bahkan menuntut pahala demikian pun popularitas karena telah mengambil bagian dalam karya keselamatan Allah. Bunda Maria berlaku sebagai “hamba” Allah. Ia bekerja demi kemuliaan nama Allah semata. Deo Soli.
Akhirnya refleksi ini saya tutup dengan kutipan dari kata-kata Santo Yohanes Pembaptis ketika murid-murid bertanya kepadanya tentang Yesus. Dan ketika beberapa orang meyakini dan percaya kalau Yohanes adalah Mesias. Yohanes justru berkata Ia harus makin besar, dan aku harus makin kecil (Yoh 3:30). Inilah ungkapan kerendahan hati dari sebuah kesadaran Yohanes bahwa ia hanyalah “utusan” yang dipilih Allah untuk menyiapkan jalan bagi Yesus Kristus.
No comments:
Post a Comment