Oleh: Fredrikus Jehaman
Homo Laborans
Salah satu perbedaan dan kebaruan dari pemikiran Karl Marx dengan filsafat terdahulu, terutama abad pertengahan adalah konsep tentang manusia. Dalam filsafat tradisional, manusia didefinisikan sebagai makhluk politik (zoon polition), makhluk sosial (ens sociale), makhluk berdoa (homo orans) atau makhluk religius ( homo religiosus). Sedangkan bagi Marx ciri pembedaan manusia dengan makhluk lain adalah bahwa manusia dan hanya manusia adalah makhluk yang bekerja (homo laborans). Marx melihat manusia sebagai makhluk yang bekerja, atau makhluk ekonomi. Baginya kerja menyatakan atau mengungkapkan hakekat manusia.
Kebaruan pemikiran Marx ini membawa dampak bagi basis masyarakat. Bagi marx ekonomi harus menjadi basis masyarakat. Jika kerja merupakan pengungkapan hakekat manusia, maka kerja merupakan pengejawantahan diri manusia yang menghasilkan karya sebagai ciptaan dan gambaran dirinya. Dengan kata lain kerja merupakan aktivitas aktualisasi diri. Aktualisasi diri mendapatkan ruangnya dalam kerja.
Baca Juga: Misa Pembukaan Tahun Ajaran Baru Tk,Sd,Smp Pius Pemalang Tahun Ajaran2022/2023 Berlangsung Hikmat
Berdasarkan argumentasi dasar tersebut, pemikiran Marx kemudian bergeser kepada kerja sebagai emansipasi. Dalam hal ini, sekurang-kurangya ia membahas pekerjaan sebagai berikut. Pertama, kerja sebagai sarana menciptakan diri sendiri. Kedua, kerja sebagai kegiatan khas manusia. Ketiga, kerja sebagai objektivasi. Dan terakhir kerja sebagai pernyataan sosialitas manusia.
Yang pertama merupakan tindakan manusia yang paling mendasar. Di mana dalam pekerjaan manusia membuat dirinya menjadi nyata. Sebagai kegiatan khas manusia, karena hampir semua kebutuhan hidup manusia diperoleh dengan cara mengubah alam agar sesuai dengan kebutuhan manusia. Dalam hal ini manusia berbeda dengan binatang yang hidup dalam alam pertama dan menerima begitu saja alam tanpa mengolahnya. Dengan kerja pula, manusia memberi makna objektif pada alam sebagai ciptaannya. Pematung menjadikan wadas kenyataan objektif dengan memahatnya menjadi patung. Yang terakhir, dalam memahat patung, manusia membutuhkan berbagai macam alat yang diperlukan untuk membuat patung dari orang lain. Pada titik ini kerja mengungkapkan relasi sosial manusia.
Dalam kenyataannya keempat aspek tersebut sering dinaikan atau dilupakan. Hal ini yang menurut Marx membuat pekerja teralienasi dari pekerjaannya sendiri. Keempat hal tersebut merupakan satu kesatuan. Artinya dalam pekerjaan harus memuat keempat aspek tersebut.
Selain itu, sumber utama lain yang membuat manusia terasing dari pekerjaannya adalah masalah Hak milik. Hal ini tidak terlepas dari perbedaan kelas dalam masyarakat. Menariknya bagi Marx keterasingan itu tidak hanya dialami oleh pekerja buruh, tetapi juga oleh majikan. Pekerja buruh mengalami keterasingan karena tidak bisa mengklaim sebagai hak milik atas apa yang dihasilkannya. Sementara majikan teralienasi karena hanya menikmati hasil pekerjaan tersebut secara pasif. Ia menikmati apa yang tidak dihasilkannya. Logikanya sebagai berikut, keempat aspek sebelumnya merupakan satu kesatuan dalam upaya manusia mengaktualisasikan dirinya. Baik buruh maupun majikan tidak memenuhi semua aspek tersebut secara keseluruhan.
Homo Laborans: Menikmati Keringat Sendiri
Terlepas dari apapun intensi pemikiran Marx, saya berpendapat gagasan Marx dapat dijadikan refleksi penting untuk memaknai kehidupan. Dewasa ini, masih banyak orang yang bergantung pada "kemurahan hati" orang lain dengan menggunakan doktrin humanisme, teologis dan lain sebagainya. Dengan menggunakan doktrin kemanusiaan orang sering kali menjual kemanusiaan untuk mendapatkan kemurahan hati orang lain. "Manusia adalah makhluk sosial, maka sudah seharusnya manusia yang saling membutuhkan saling membantu". Ini adalah doktrin kemanusiaan yang menjinakkan kemalasan. Ibarat benalu kata-katanya hijau (menghidupkan) padahal sedang menghisap kehidupan orang lain.
Baca Juga: Keterlibatan Gereja dalam PendidikanKarakter Kaum Muda
Dengan menggunakan doktrin teologi, orang sering menjadikan teologi sebagai kode PIN untuk membobol kekayaan orang lain. Mereka mendapatkan legitimasi atas pembobolan tersebut dengan berkhotbah tentang pembalasan atas kemurahan hati tersebut pada "saatnya" nanti di akhirat. Tentu kita juga tidak bisa mengabaikan pandangam masyrakat yang sudah terjangkar kuat dalam pikiran masyrakat tertentu bahwa membantu mereka adalah ungkapan syukur atas anugerah Tuhan yang boleh mereka terima.
Poin terakhir tampaknya membuat kita dilema, terutama apabila mencari siapa yang salah. Karena itu dalam tulisan ini, saya hanya bermaksud menyadarkan kita bahwa hidup dari kemurahan hati adalah bentuk keterasingan dari pekerjaan. Dalam gagasan Marx kita yang hidup dari kemurahan hati adalah majikan yang menikmati secara pasif hasil kerja orang lain.
Hidup dari kemurahn hati orang lain, yang mungkin diteologikan menjadi penyelenggaraan ilahi adalah tindakan mengasingkan orang lain dari pekerjaan. Artinya apa yang dia kerjakan tidak bisa sepenuhnya dia nikmati. Tentang hal ini, kita bisa bertanya, bukankah dia murah hati dengan penuh kesadaran? Atau bahkan iri hatikah kamu karena aku murah hati?
Perlu disadari bahwa kultur kita masih sangat kuat penghormatan
terhadap orang tertentu, apalagi kalau dalam masyrakat memiliki kedudukan
tertentu. Maka tidaklah heran apabila orang memberi begitu saja, yang mungkin
menurut kita memberi dengan penuh kesadaran. Lagi pula kita yang menerima
biasanya sering mengumbar pembalasannya di dunia akhirat, yakni surga. Selain
itu perlu di sadari dan diakui bahwa
seringkali kita meminta dengan berbusana teologi untuk mengelabui bahwa kita
sedang mengemis.
Bekerjalah!
Penulis, alumni STFT Widya Sasana Malang.
Maaf.. saya salah mengetik dalam bagian terakhir kerja sebagai emansipasi, bukan kerja sebagai pernyataan seksualitas tetapi kerja sebagai pernyataa sosialitas
ReplyDeletePemikiran yang sangat bagus. Gagasan yang berusaha menyadarkan setiap orang akan arti pentingnya bekerja.
ReplyDelete