"Aku sudah keluar hari ini, mungkin kemarin,
aku tidak tahu"
Oleh: Fredrikus Jehaman
Aku
sudah keluar hari ini, mungkin kemarin. Aku tidak tahu.Salah mengambil
keputusan? Gegabah? Terburu-guru? Atau bahasa medis, prematur? Psikolog, alam
bawah sadar? Spiritual, salah discernment?
Dua hari bukanlah waktu yang cepat,
meski bukan waktu yang lama juga. Barangkali waktu yang tepat. Meski yang
terakhir adalah jawaban alternatif atau apalah, pembelaan diri, mungkin. Tetapi
keputusan harus kuambil. Mungkin juga dua hari hanya angka. Yang kalau
diperdebatkan tidak ada gunanya. Siapa yang membuat kalender? Apakah benar? Apa
dasarnya? Astaga kita selama ini diperbudak oleh hasil rancangan orang,
pendahulu. Atau terjebak dalam spiritualitas dan kebenaran masa? Sederet
pertanyaan masih bisa kita barisan atau paling tidak ajak baris.
Baca Juga: Untuk Tuan (Puisi Venansius Alfando Satrio)
Mari
bercerita!, atau mengarang? Ini tentang seorang manusia, yang konon katanya
homo viator. Kata mereka. Telah lama berkala
menyusuri lorong terang yang penuh dengan kenyamanan dan tidak ada
krikil, katanya dan sabda penonton. Ya
selama tujuh tahun akan berjalan dalam kenyamanan. Segalanya bulan hanya
tersedia tapi dapat kunikmati sepuas hati. Barang milik sendiri toh.
Perjalanannya ringan, kuk yang dipasang ringan. Sebab Dia yang memanggil
lemah lembut kata buku saleh, atau mungkin suci.
Tetapi mengapa tinggalkan kenyamanan? Pertanyaan yang menarik, bukan?
Saat aku bertanya mengapa aku meninggalkan kenyamanan tersirat bahwa aku berada
dalam arena pertarungan (antara kegelisahan dan kekaguman). Logikanya kalau aku
berada atau katakanlah bermukim dengan kenyamanan tak mungkin aku bertanya.
Bertanya selalu mulai dari kegelisahan. Jawabannya adalah pencarian. Bukan
kepastian. Saat aku bertanya mengapa aku tinggalkan kenyamanan, tampak bahwa
aku sedang gelisah meski bermukim dalam kenyamanan. Atau paling tidak
bertetangga dengan kenyamanan.
Aku
gelisah tentang dunia dimana aku bermukim. Aku gelisah, mampukah aku? Kata
mereka aku mampu. Tapi dari aku sendiri? Di sinilah persoalannya? Aku tak mau,
bukan tak bisa memberi jawaban, apalagi mengamini kata-kata mereka. Bagiku
kata-kata mereka menguburkan aku hidup-hidup. Motivasi mereka bagiku seperti
kain kafan yang membungkus diriku. Aku memang hangat, tapi aku menolak mati.
Ahh... apakah itu sebuah kejahatan? Tidak disengaja atau direncanakan. Aku teringat
tentang promotheus dan sisipus. Dua sosok dalam mitologi yunani yang menerima
hidup yang absurd. Nihil, bukan aku sedang mencari makna.
Aku
kagum. Yah. Teringat mata kuliah pengantar filsafat di semester satu. Kata
dosen ku filsafat mulai dari kekaguman. Apa hubungannya? Mungkin, sekali lagi
mungkin aku harus meninggalkan apa yang telah kuyakini, dipercaya. Bukankah ini
jalan menuju pencerahan, kebijaksanaan, kebebasan dan kemerdekaan.
Waktuku telah habis, mungkin hari ini atau mungkin kemarin, aku tidak
tahu? Aku perlu lahir lagi.
Good
ReplyDelete