Pada
umur tujuh belas tahun, Amona merasakan kekosongan pada dirinya. Orang-orang
tersayangnya telah direnggut darinya. Amona merasa sendirian dan tidak ada yang
peduli dengannya. Ketika Amona sedang merenung semua hal buruk yang menimpanya
sambil berjalan, ia melihat sebuah gereja di ujung jalan. Sejak kecil mamanya
selalu mengajarkannya untuk berdoa, tetapi itu sudah lama sekali. Merasa tidak
ada salahnya untuk pergi, ia memutuskan untuk mengikuti ibadah. Saat masuk, ia
melihat banyak orang yang datang bersama dengan keluarga mereka. Ia Merasa
makin terkucilkan karena sendirian.
Selama ibadah, Amona masih tetap merasa sendirian. Amona mendengar Pemazmur bernyanyi, “Allah mengerti segala persoalan yang terjadi…”. Seketika Amona merenung dan berkata dalam hati,” Tuhan peduli? Tuhan mengerti? Lalu kenapa aku harus berada di posisi sekarang? Mengapa Dia mengambil semuanya dariku?” Amona terdiam lagi.
Setelah
nyanyian selesai dikumandangkan, imam naik ke atas mimbar untuk berbicara
tentang kasih Tuhan. Satu hal yang ditekankan oleh imam saat berkhotbah adalah
“Tuhan Yesus menyayangimu. Ia tahu pergumulanmu. Ia tahu keluh kesahmu. Ia
memberikan cobaan kepadamu, tidak lebih di luar kemampuanmu”. Saat mendengar khotbah
dari imam, ia merasa kasih Allah kepadanya benar-benar terjadi. Amona menangis
dan merasa bersalah, telah marah kepada Tuhan atas semua cobaan yang Tuhan
berikan kapadanya.
“Jangan
pernah merasa sendirian, Tuhan ada di sampingmu. Tuhan selalu berjalan
bersamamu, di setiap pergumulan, di setiap keluh kesahmu”. Itulah ajakan
terakhir dari khotbah yang dibawakan oleh imam. Air mata Amona menetas perlahan-lahan.
“Tuhan aku sayang pada-Mu. Karena-Mu aku ada hingga saat ini. Terima kasih Ya
Tuhanku. Aku menyesali semuanya”.
Akhirnya
ibadah yang diikuti oleh Amona selesai. Ia merasa kebahagiaannya telah kembali.
Walaupun ia sendirian dalam fisik, namun
bersama Tuhan dalam keheningan. Ia percaya, akan ada kebahagiaan di masa yang
akan datang. Karena selagi Tuhan selalu bersamanya, ia tidak akan merasa
sendirian dan kesepian.
Penulis: Aneta Yuliance Uruk
(Mahasiswi STP St. Petrus Keuskupan Atambua)
No comments:
Post a Comment