![]() |
Sumber Gambar: https://www.bola.com/ragam/read/4392124/25-kata-kata-galau-hujan-bikin-hati-teriris-pedih |
Kota tempat aku menghabiskan waktu bersamamu
--dan sejatinya aku ingin terus melanjutkannya walau peluang untuk itu tampak
mustahil sebab dirimu tak memberi restu,-- baru saja ditinggalkan hujan yang
memberi warna di September yang masih misteri apakah membawa berkah atau tidak,
apakah akan kembali mempertemukan aku dengan dirimu yang teramat kucintai,
ataukah merenggut semuanya dariku sehingga aku menjadi pria paling malang yang
pernah hidup di antara para manusia yang kebanyakan mementingkan dirinya
sendiri: bahkan ada yang mencuri uang rakyat! Sepeninggalan hujan, aroma tanah
yang khas dan memikat itu masih terhirup. Bugenvil ungu yang di luar pagar itu
juga masih merona, sisa-sisa debu jalanan yang seharian menghilangkan pesonanya
lenyap sudah: ia kembali bersih, sebersih hati para peziarah yang tak pernah mau
meninggalkan luka pada siapapun namun bersedia menanggung duka seberapapun
dalamnya.
***
Tuhan sepertinya berbaik hati telah menghadirkan hujan pada
semesta, entah Ia buat sendiri dari ketiadaan: karena ia adalah sebab utama, causa prima; ataukah hanya proses
alamiah yang sebenarnya sama sekali tak berhubungan dengan-Nya: kemahakuasaan dan keberadaan Tuhan tak dapat
direduksi pada hujan, bukan? Keistimewaan hujan tidak hanya terletak pada
kebaikan hatinya menyuburkan segala jenis tanaman di bumi, tidak terbatas pada
momen jatuh dan membusuknya dedaunan yang memupuk segala tetumbuhan, tidak juga
hanya pada aroma khas tanah yang dijamahnya atau pun karena iramanya yang teratur
pada atap: merayu mata para manusia untuk terlelap; hujan istimewa karena
mengasah kembali memori setiap insan, terutama lelaki pecundang sepertiku: yang kalah karena cinta yang terlampau dalam,
akan kenangan-kenangan masa silam tatkala menghabiskan waktu bersama kekasih
yang dicintai dan angan-angan akan hari tua yang diwarnai tawa penuh bahagia
dalam bingkai kebersamaan pun hangatnya cinta. Hujan memberi sugesti yang
membawa aku pada kesunyian kepingan kenangan yang selama ini kucoba benamkan
dalam huruf-huruf sajakku yang berantakan.
Kemampuan hujan yang tak
terjelaskan tersebut membawaku pada kenyataan bahwa adalah lebih baik terus
mencintai dan memperjuangkan: seseorang
yang dengannya kita merasa bebas mengungkapkan apa saja, seseorang yang membuat
kita tanpa sungkan memegang lembut jari jemarinya, seseorang yang membuat kita melupakan kelamnya
kisah cinta masa lalu, seseorang yang membuat kita merasa yakin bahwa dengannya
kita akan bahagia dan dialah yang tepat buat kita; ketimbang mencari sosok
lain yang belum tentu membuat kita merasakan hal yang sama. Memperjuangkan seseorang
tanpa persetujuannya, tanpa tahu apakah ia akan memberi kita kesempatan untuk
kembali merajut kisah bersama atau tidak, mungkin terlihat seperti terpenjara
dalam ruang dan waktu. Seolah-olah terperangkap dalam Gua seperti yang
disebutkan Platon: tak pernah ada dalam
benak bahwa ada orang lain yang mungkin telah disediakan semesta untuk kita
cintai sekaligus miliki dalam waktu yang sama! Absurd memang. Tapi mungkin
itulah uniknya mencintai dengan tulus dan kedalaman hati. Cinta jenis ini
membuat aku, dan siapa pun yang pernah dan barang kali akan mengalaminya,
berdiri hanya pada satu keyakinan bahwa dia milikku dan diciptakan untukku meskipun
di saat yang sama kita dengan yang dicintai berada dalam jarak pun
ketidakpastian.
Aku kini berada dalam keabsurdan
yang sama. Tapi aku tak pernah merasa aneh. Bukankah kita mencintai hanya
kepada siapa yang menurut kita pantas untuk dicintai? Aku tak mau berpura-pura!
Aku juga tak mau menghibur diri atas nama realistis: realistis saja masih banyak kok yang perlu dicintai, Tuhan sudah atur
loh siapa yang bersanding denganmu, sadarlah dia tidak menginginkanmu lagi! Kalimat-kalimat
ini tak pernah mau aku terima apalagi aku terapkan dalam peziarahan hidupku
sebagai makhluk fana yang hanya bisa memperkaya diri dengan terus mencintai
tanpa perlu dicintai. Bukannya aku bego atau mau mengemis pada kenyataan, pada
yang dicintai, atau pada kehendak Yang Tertinggi; aku hanya berdiri tegak pada
iman bahwa jika aku telah dipertemukan dengan dirinya dan memulai kisah cinta
yang selalu bukan sandiwara, kecuali kalau ada orang yang berpura-pura, maka
aku ditakdirkan untuk bersamanya. Ditakdirkan bukan oleh siapa-siapa tetapi
oleh semesta yang menciptakan kesempatan bagi diriku untuk bertemu dengannya
dan oleh waktu yang menandakan permulaan sejarahku sendiri! Iman yang sekokoh
wadas dan setegar ombak ini juga kukenakan pada dia yang kucintai. Dia bukan
objek yang hanya menjadi sasaran bukan? Aku percaya, atas nama semua yang dapat
dijadikan alasan dan bukti keyakinan, bahwa ia akan memberiku kesempatan: sekecil apa pun itu tetap kesempatan, bukan?
Dia tetap mencintaiku, walau sebesar
biji sesawi, itu tetaplah cinta!
Hujan semakin lama berlalu. Aroma
tanah mulai lenyap. Bugenvil yang bersandar pada pagar itu perlahan menaikan
kidung syukur sebab sehari terlalu berlalu dan indah bungannya masih terjaga
dari kotornya kota ini, meski di pinggiran sekali. Malam juga mulai merenggut
terang dengan gelapnya yang tak terbendung. Gelap sekali! Tanpa pesona senja
yang dikagumi mereka yang mengaku diri romantis tapi tak pernah berpuisi
tentangnya. Tanpa tanda-tanda rembulan akan nampak kali ini. Aku yang menemukan
diri tetap mencintai dirimu yang pernah kurengkuh dalam pelukan dan kuhangatkan
dalam genggaman jemari terus meyakinkan diri bahwa menunggumu adalah lebih baik
ketimbang mencintai yang lain! Menunggu! Seperti rerumputan merindukan hujan di
September penuh debu, dan malam yang merindukan cahaya redup nan damai milik
rembulan! Pada akhirnya, menutup goresan kecil tentang hujan yang menyadarkan
diriku tentang kadar cintaku yang masih sama atasmu, aku bersatu dalam doa
bersama seluruh semesta yang telah, tengah, dan akan mempertemukan kita
kembali:
Seperti bakung di padang parasmu,
indah tanpa tak tertandingi,
putri-putri elok dari selatan pun tidak!
Seperti madu hutan manismu,
molek penuh misteri,
dewi-dewi kayangan pun takluk!
Seperti doa-doa para suci matamu,
memancarkan ketulusan murni,
malaikat-malaikat pun tunduk!
Maukah, kau kembali,
melukis sejarah pada bumi,
meniadakan jarak dalam kasih sejati,
merayu Tuhan agar kita lekas kembali!
Malang: Simpang Mega Mendung,
selepas Hujan awal September, 08/09/2022, 18: 42!
No comments:
Post a Comment