Iklan

Hujan, Sugesti, Aku!

Catatan Kecil Sang Musafir
Thursday, 8 September 2022 | September 08, 2022 WIB Last Updated 2022-09-15T12:13:07Z

 

Hujan, Sugesti, Aku!
Sumber Gambar: https://www.bola.com/ragam/read/4392124/25-kata-kata-galau-hujan-bikin-hati-teriris-pedih

Kota tempat aku menghabiskan waktu bersamamu --dan sejatinya aku ingin terus melanjutkannya walau peluang untuk itu tampak mustahil sebab dirimu tak memberi restu,-- baru saja ditinggalkan hujan yang memberi warna di September yang masih misteri apakah membawa berkah atau tidak, apakah akan kembali mempertemukan aku dengan dirimu yang teramat kucintai, ataukah merenggut semuanya dariku sehingga aku menjadi pria paling malang yang pernah hidup di antara para manusia yang kebanyakan mementingkan dirinya sendiri: bahkan ada yang mencuri uang rakyat! Sepeninggalan hujan, aroma tanah yang khas dan memikat itu masih terhirup. Bugenvil ungu yang di luar pagar itu juga masih merona, sisa-sisa debu jalanan yang seharian menghilangkan pesonanya lenyap sudah: ia kembali bersih, sebersih hati para peziarah yang tak pernah mau meninggalkan luka pada siapapun namun bersedia menanggung duka seberapapun dalamnya.

***

              Tuhan sepertinya berbaik hati telah menghadirkan hujan pada semesta, entah Ia buat sendiri dari ketiadaan: karena ia adalah sebab utama, causa prima; ataukah hanya proses alamiah yang sebenarnya sama sekali tak berhubungan dengan-Nya: kemahakuasaan dan keberadaan Tuhan tak dapat direduksi pada hujan, bukan? Keistimewaan hujan tidak hanya terletak pada kebaikan hatinya menyuburkan segala jenis tanaman di bumi, tidak terbatas pada momen jatuh dan membusuknya dedaunan yang memupuk segala tetumbuhan, tidak juga hanya pada aroma khas tanah yang dijamahnya atau pun karena iramanya yang teratur pada atap: merayu mata para manusia untuk terlelap; hujan istimewa karena mengasah kembali memori setiap insan, terutama lelaki pecundang sepertiku: yang kalah karena cinta yang terlampau dalam, akan kenangan-kenangan masa silam tatkala menghabiskan waktu bersama kekasih yang dicintai dan angan-angan akan hari tua yang diwarnai tawa penuh bahagia dalam bingkai kebersamaan pun hangatnya cinta. Hujan memberi sugesti yang membawa aku pada kesunyian kepingan kenangan yang selama ini kucoba benamkan dalam huruf-huruf sajakku yang berantakan.

              Kemampuan hujan yang tak terjelaskan tersebut membawaku pada kenyataan bahwa adalah lebih baik terus mencintai dan memperjuangkan: seseorang yang dengannya kita merasa bebas mengungkapkan apa saja, seseorang yang membuat kita tanpa sungkan memegang lembut jari jemarinya,  seseorang yang membuat kita melupakan kelamnya kisah cinta masa lalu, seseorang yang membuat kita merasa yakin bahwa dengannya kita akan bahagia dan dialah yang tepat buat kita; ketimbang mencari sosok lain yang belum tentu membuat kita merasakan hal yang sama. Memperjuangkan seseorang tanpa persetujuannya, tanpa tahu apakah ia akan memberi kita kesempatan untuk kembali merajut kisah bersama atau tidak, mungkin terlihat seperti terpenjara dalam ruang dan waktu. Seolah-olah terperangkap dalam Gua seperti yang disebutkan Platon: tak pernah ada dalam benak bahwa ada orang lain yang mungkin telah disediakan semesta untuk kita cintai sekaligus miliki dalam waktu yang sama! Absurd memang. Tapi mungkin itulah uniknya mencintai dengan tulus dan kedalaman hati. Cinta jenis ini membuat aku, dan siapa pun yang pernah dan barang kali akan mengalaminya, berdiri hanya pada satu keyakinan bahwa dia milikku dan diciptakan untukku meskipun di saat yang sama kita dengan yang dicintai berada dalam jarak pun ketidakpastian.

              Aku kini berada dalam keabsurdan yang sama. Tapi aku tak pernah merasa aneh. Bukankah kita mencintai hanya kepada siapa yang menurut kita pantas untuk dicintai? Aku tak mau berpura-pura! Aku juga tak mau menghibur diri atas nama realistis: realistis saja masih banyak kok yang perlu dicintai, Tuhan sudah atur loh siapa yang bersanding denganmu, sadarlah dia tidak menginginkanmu lagi! Kalimat-kalimat ini tak pernah mau aku terima apalagi aku terapkan dalam peziarahan hidupku sebagai makhluk fana yang hanya bisa memperkaya diri dengan terus mencintai tanpa perlu dicintai. Bukannya aku bego atau mau mengemis pada kenyataan, pada yang dicintai, atau pada kehendak Yang Tertinggi; aku hanya berdiri tegak pada iman bahwa jika aku telah dipertemukan dengan dirinya dan memulai kisah cinta yang selalu bukan sandiwara, kecuali kalau ada orang yang berpura-pura, maka aku ditakdirkan untuk bersamanya. Ditakdirkan bukan oleh siapa-siapa tetapi oleh semesta yang menciptakan kesempatan bagi diriku untuk bertemu dengannya dan oleh waktu yang menandakan permulaan sejarahku sendiri! Iman yang sekokoh wadas dan setegar ombak ini juga kukenakan pada dia yang kucintai. Dia bukan objek yang hanya menjadi sasaran bukan? Aku percaya, atas nama semua yang dapat dijadikan alasan dan bukti keyakinan, bahwa ia akan memberiku kesempatan: sekecil apa pun itu tetap kesempatan, bukan?  Dia tetap mencintaiku, walau sebesar biji sesawi, itu tetaplah cinta!

              Hujan semakin lama berlalu. Aroma tanah mulai lenyap. Bugenvil yang bersandar pada pagar itu perlahan menaikan kidung syukur sebab sehari terlalu berlalu dan indah bungannya masih terjaga dari kotornya kota ini, meski di pinggiran sekali. Malam juga mulai merenggut terang dengan gelapnya yang tak terbendung. Gelap sekali! Tanpa pesona senja yang dikagumi mereka yang mengaku diri romantis tapi tak pernah berpuisi tentangnya. Tanpa tanda-tanda rembulan akan nampak kali ini. Aku yang menemukan diri tetap mencintai dirimu yang pernah kurengkuh dalam pelukan dan kuhangatkan dalam genggaman jemari terus meyakinkan diri bahwa menunggumu adalah lebih baik ketimbang mencintai yang lain! Menunggu! Seperti rerumputan merindukan hujan di September penuh debu, dan malam yang merindukan cahaya redup nan damai milik rembulan! Pada akhirnya, menutup goresan kecil tentang hujan yang menyadarkan diriku tentang kadar cintaku yang masih sama atasmu, aku bersatu dalam doa bersama seluruh semesta yang telah, tengah, dan akan mempertemukan kita kembali:

Seperti bakung di padang parasmu,

indah tanpa tak tertandingi,

putri-putri elok dari selatan pun tidak!

Seperti madu hutan manismu,

molek penuh misteri,

dewi-dewi kayangan pun takluk!

Seperti doa-doa para suci matamu,

memancarkan ketulusan murni,

malaikat-malaikat pun tunduk!

Maukah, kau kembali,

melukis sejarah pada bumi,

meniadakan jarak dalam kasih sejati,

merayu Tuhan agar kita lekas kembali!

 

Malang: Simpang Mega Mendung, selepas Hujan awal September, 08/09/2022, 18: 42!

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Hujan, Sugesti, Aku!

No comments:

Post a Comment

Trending Now

Iklan