Hidup tak diindahkan, pelik restu menggurat mulut bertuan.
Pergi mengais,
menabung pundi. Namun, salah memilih.
Terlampau bahagia,
terendus nikmat rupiah, membuat diri lupa pulang. Pulang pun lupa diri. Ah,
yang ditakdirkan pun hanyalah hasrat semu.
Kini semua hanya
menjadi saksi. Telah terbukti yang tergurat.
Ingin menghindar lalu
berbalik. Jalan pulang tak berbalik ulang.
Namun bukan main,
semuanya berakhir pedih, dalam rintih serta nafas yang kian mengemis pada
hidung yang tidak berfungsi.
Apa bertanda ia telah mati?
Sepulang dari gubuk
tua yang retak reot itu, hasrat yang disulam dalam keibahan yang fana menjadi
pergulatan yang keji tuk membawa Aisya bertepi kembali ke pekerjaan silam.
Pekerjaan yang banyak digandrungi para lelaki sadis. Sepanjang perjalanan,
rusuh membalut piluh tepian hatinya yang lusuh. Tak jarang air mata Aisya
tertumpah dari lereng matanya yang merona. Pada simpul senyumnya yang pasrah,
tergurat kebingungan yang akut. Antara bertepi ke masa silam atau menyulam
karya yang baru, terpahat jelas kebingungan yang hening pada sepersekian
lipatan kening yang bening. Akhirnya diam membawanya pulang kembali ke tilam
silam. Tilam yang pernah disudahi oleh tangisan dan keentahan mulut lelaki
sadis.
Sesampainya di tempat
yang biasa pada bias mata Aisya, Aisya si paras cantik, lentik, serta sintal,
memilih masuk melalui pintu samping, karena takut hadirnya dicurigai.
Sesampainya di dalam ia menangis tidak karuan, barangkali itulah Aisya
merangkai bahasa paling ibah tuk mendapat belaskasihan meski diperuntukan
kepada hati yang barangkali sekeras batu. Ataukah hanya sekedar drama semata
untuk kembali menjadi pelakon utama di atas tilam? Entahlah. Ketika anggukan
mengisyaratkan tanda terima, ia pun menyudahi tangisnya dengan senyum yang tak
biasanya.
Awal adalah situasi
ketakutan bagi setiap insan yang ingin menyesuaikan diri terhadap pekerjaan
yang dipilih. Namun hal demikian tidaklah menjadi “iya” untuk Aisya. Ia begitu
menikmati setiap alur dalam cerita tilam. Senyum ayu yang dipancarkan membuat
para pelanggan yang sejatinya berbudi, dibui dalam jeruji lupa diri. Dengan
tarif yang dikait pada dada, memikat para pelangan harus berpikir dua kali.
Tarif yang begitu mahal dalam nuansa yang membahana, walau hanya sepersekian
detik yang utuh, bukanlah laknat bagi pelanggan. Bergulat bagai rusa di padang,
terpelintir dalam tangis yang diliputi tawa, berdebar-debar karena rasanya
ingin membuang. Owww…… seruan dari kidung resah, hening membius malam itu.
Ditemani pijar berdaya 5 wat, membentuk sensasi semakin bersahabat. Beradu
pandang, bias menolak menjadikannya teman, malah hanya lawan yang tidak
mendapat pemenang, karena alur tilam adalah cerita tentang siapa yang bertahan
hingga akhir bukanlah siapa yang terbangun lebih awal di akhir adalah pemenang.
Banyak pelanggan yang mengaguminya, hingga bagi mereka rupiah tidaklah berarti,
karena habis di dompet, di ladang dituai kembali. Rupiah sudahlah berarti
ketika sudah meninabobokan si jalang berbakti pada lipatannya yang rapih.
Hari berganti
meninggalkan kisah pada jejak sabda hari. Aisya telah lelah. Pun letih. Lagi
tak bergairah. Ikal rambutnya mulai terpelanting, warna pun kian memutih. Keriput
menjadikan riasan tubuhnya yang tak lagi melalat pada mata pelanggan. Ia pun
dikeluarkan secara terhormat. Inilah
awal Aisya menatap langit kemalangannya. Kantong yang dulu terjejal, menipis
tingggal kulit. Kini Aisya tak lagi disebut pengait yang selalu di pakai,
tetapi hanya menjadi pemulung, pekerjaan terkhir yang mampu memberikan setitik
harapan tuk menyambung hidup. Ia tak mempunyai apa-apa lagi. Tak ada pelantun
tawa baginya bahkan harga diri sekalipun. Di setiap harinya, kata-kata kejam terus
menggerogoti dirinya. Tak jarang ia disakiti, dicaci, pun dijauhi. Melihat
teman-temannya ia merasa iri, bahkan pusing karena malu meliputi. Ia tidak
mendapat apa-apa lagi, tidak berdaya. Akhirnya Tuhan menjadi labuan terakhir
segala asa disandarkan.
Sepeninggal orang
tuanya, Aisya diberi gaji, tapi semuanya ia tepis, karena terbuai janji dan
duit ketika masih gadis. Ia menyesal tetapi semuanya telah berakhir. Dalam
hening ia memulai apa yang telah ia sudahi, tanpa lelah ia mengutuki diri,
karena Tuhan sudah tidak merestui. Tiap hari ia terus bertelut, tanpa minum dan
makan. Akhirnya ia pun rebah tanpa seisak tangis, hanya rintih yang ia luapkan,
hingga semuanya menjadi gelap.
Aisya ditemukan mengakhiri hidupnya dengan
cara yang sadis. “Bunuh diri”.
Penulis: Poferello
Editor: Adel
No comments:
Post a Comment