Iklan

La Marippossa (Cerpen Poferello)

inspirasiindo
Saturday, 17 September 2022 | September 17, 2022 WIB Last Updated 2022-09-19T07:14:11Z


La Marippossa (CerpenPoferello)


Hidup tak diindahkan, pelik restu menggurat mulut bertuan.

Pergi mengais, menabung pundi. Namun, salah memilih.

Terlampau bahagia, terendus nikmat rupiah, membuat diri lupa pulang. Pulang pun lupa diri. Ah, yang ditakdirkan pun hanyalah hasrat semu.

Kini semua hanya menjadi saksi. Telah terbukti yang tergurat.

Ingin menghindar lalu berbalik. Jalan pulang tak berbalik ulang.

Namun bukan main, semuanya berakhir pedih, dalam rintih serta nafas yang kian mengemis pada hidung yang tidak berfungsi.

Apa bertanda ia telah mati?  


Sepulang dari gubuk tua yang retak reot itu, hasrat yang disulam dalam keibahan yang fana menjadi pergulatan yang keji tuk membawa Aisya bertepi kembali ke pekerjaan silam. Pekerjaan yang banyak digandrungi para lelaki sadis. Sepanjang perjalanan, rusuh membalut piluh tepian hatinya yang lusuh. Tak jarang air mata Aisya tertumpah dari lereng matanya yang merona. Pada simpul senyumnya yang pasrah, tergurat kebingungan yang akut. Antara bertepi ke masa silam atau menyulam karya yang baru, terpahat jelas kebingungan yang hening pada sepersekian lipatan kening yang bening. Akhirnya diam membawanya pulang kembali ke tilam silam. Tilam yang pernah disudahi oleh tangisan dan keentahan mulut lelaki sadis.

Sesampainya di tempat yang biasa pada bias mata Aisya, Aisya si paras cantik, lentik, serta sintal, memilih masuk melalui pintu samping, karena takut hadirnya dicurigai. Sesampainya di dalam ia menangis tidak karuan, barangkali itulah Aisya merangkai bahasa paling ibah tuk mendapat belaskasihan meski diperuntukan kepada hati yang barangkali sekeras batu. Ataukah hanya sekedar drama semata untuk kembali menjadi pelakon utama di atas tilam? Entahlah. Ketika anggukan mengisyaratkan tanda terima, ia pun menyudahi tangisnya dengan senyum yang tak biasanya.

Awal adalah situasi ketakutan bagi setiap insan yang ingin menyesuaikan diri terhadap pekerjaan yang dipilih. Namun hal demikian tidaklah menjadi “iya” untuk Aisya. Ia begitu menikmati setiap alur dalam cerita tilam. Senyum ayu yang dipancarkan membuat para pelanggan yang sejatinya berbudi, dibui dalam jeruji lupa diri. Dengan tarif yang dikait pada dada, memikat para pelangan harus berpikir dua kali. Tarif yang begitu mahal dalam nuansa yang membahana, walau hanya sepersekian detik yang utuh, bukanlah laknat bagi pelanggan. Bergulat bagai rusa di padang, terpelintir dalam tangis yang diliputi tawa, berdebar-debar karena rasanya ingin membuang. Owww…… seruan dari kidung resah, hening membius malam itu. Ditemani pijar berdaya 5 wat, membentuk sensasi semakin bersahabat. Beradu pandang, bias menolak menjadikannya teman, malah hanya lawan yang tidak mendapat pemenang, karena alur tilam adalah cerita tentang siapa yang bertahan hingga akhir bukanlah siapa yang terbangun lebih awal di akhir adalah pemenang. Banyak pelanggan yang mengaguminya, hingga bagi mereka rupiah tidaklah berarti, karena habis di dompet, di ladang dituai kembali. Rupiah sudahlah berarti ketika sudah meninabobokan si jalang berbakti pada lipatannya yang rapih.

Hari berganti meninggalkan kisah pada jejak sabda hari. Aisya telah lelah. Pun letih. Lagi tak bergairah. Ikal rambutnya mulai terpelanting, warna pun kian memutih. Keriput menjadikan riasan tubuhnya yang tak lagi melalat pada mata pelanggan. Ia pun dikeluarkan secara terhormat.  Inilah awal Aisya menatap langit kemalangannya. Kantong yang dulu terjejal, menipis tingggal kulit. Kini Aisya tak lagi disebut pengait yang selalu di pakai, tetapi hanya menjadi pemulung, pekerjaan terkhir yang mampu memberikan setitik harapan tuk menyambung hidup. Ia tak mempunyai apa-apa lagi. Tak ada pelantun tawa baginya bahkan harga diri sekalipun. Di setiap harinya, kata-kata kejam terus menggerogoti dirinya. Tak jarang ia disakiti, dicaci, pun dijauhi. Melihat teman-temannya ia merasa iri, bahkan pusing karena malu meliputi. Ia tidak mendapat apa-apa lagi, tidak berdaya. Akhirnya Tuhan menjadi labuan terakhir segala asa disandarkan.

Sepeninggal orang tuanya, Aisya diberi gaji, tapi semuanya ia tepis, karena terbuai janji dan duit ketika masih gadis. Ia menyesal tetapi semuanya telah berakhir. Dalam hening ia memulai apa yang telah ia sudahi, tanpa lelah ia mengutuki diri, karena Tuhan sudah tidak merestui. Tiap hari ia terus bertelut, tanpa minum dan makan. Akhirnya ia pun rebah tanpa seisak tangis, hanya rintih yang ia luapkan, hingga semuanya menjadi gelap.

Aisya ditemukan mengakhiri hidupnya dengan cara yang sadis. “Bunuh diri”.

 

Penulis: Poferello

Editor: Adel    

 

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • La Marippossa (Cerpen Poferello)

No comments:

Post a Comment

Trending Now

Iklan