Keberagaman telah menjadi penyatu dasar bagi setiap pribadi yang berdiam di bumi pertiwi. Dengan beribu pengalaman, telah membuahkan banyak tafsiran dan pelajaran akan pentingnya persatuan. Hasrat yang begitu mendalam dengan topangan Sang Pencipta, menjadikan kekuatan dasyat untuk menerobos belenggu individualisme, pada diri setiap pribadi. Cinta yang besar telah menjadi penggerak semuanya untuk bersatu. Cinta pula yang membuahkan kedekatan intim terhadap Dia yang memanggil. Pilihan yang malang menjadikan penolakan besar terhadap kesenangan luar. Masikah kita memiliki seberkas cinta? yang akan menjadi senjata pamungkas, guna mempersatukan perbedaan. Inilah yang menjadi sebuah kemandekan yg masih menggunduk. Mari datanglah kepada-Nya, berusahalah agar tidak pernah terlepas. Karena cinta sejati, yang tidak mengenal perbedaan hanya ada pada-Nya.
Perjalanan panjang dalam hidup menjadi sebuah teka-teki besar yang tidak akan terjawab secara tuntas. Setiap pilihan yang sudah dipikirkan secara matang, belum tantu menjadi jaminan untuk kebahagiaan abadi. Mungkinkah sebuah pilihan hidup membiara, benar merupakan garis tangan yang sudah ditentukan atau hanya sebagai pelarian semata atas ketidak sanggupan menghadapi genjatan dunia luar. Disinilah pertanyaan “kenapa” mesti dimunculkan kembali. Perkataan “ya” yang hendak menjadi penguat untuk diterima, benar-benar timbul dari dalam hati atau hanya sebatas ungkapan bibir? Ketidaksepakatan antara pikiran dan hati telah memakai bibir sebagai penengah untuk mengatakan yang sebenarnya atau malah sebaliknya. Semuanya akan nampak dalam perjalanan kedepannya.
Peristiwa yang menimpa membuat diriku terdampar pada pilihan hidup secara khusus. Kebingungan yang kurasakan terus bergema dalam pikiran dan hatiku. Setiap pelanggaran yang kutorehkan telah menjadi landasan untuk mempersalahkan Tuhan. Apa yang mau Tuhan inginkan dalam hidupku? Serasa tidak ada keadilan yang nampak, karena keputusan tersebut tidak dibuat atas dasar kesepakatan. Mungkin dunia kegilaan perlahan telah merasuk, lantaran pertanyaan yang tidak memperoleh jawaban.
Pada awal masuk, aku mulai menyesuaikan diri dengan keadaan, begitu banyak perbedaan yang kutemui. Suasana, keadaan di dalamnya menjadikan diri begitu asing dan hanya kekosongan yang menjadi teman setia dalam kesendirian. Semuanya terusku lalui, tanpa ada rasa yang menimbulkan kata untuk mengundurkan permainan yang sudah dimulai. Perlahan timbul kesadaran baru bahwa perbedaan yang begitu mencolok justru menjadi penopang hidup membiara. Jika diamati secara saksama bahwa betul kaum biara telah jauh dari seremonial mengenang pancasila. Namun penghayatannya dan cinta akan pancasila sudah diterapkan dan terus dibudidayakan. Apa sebenarya inti dibalik semuanya? Jawabanya adalah cinta. Tidak Nampak, namun dapat diterapkan.
Dengan cinta aku dibutahkan untuk melihat perbedaan tetapi malah menyadarkan diriku akan kebersatuan. Inilah sebuah jawaban yang Tuhan berikan. Ia pun pasti menyukai hidupku berada pada sebuah kegilaan besar yang membuatku mampu mengenal diri. Tidak peduli segala teguran yang diungkapkan-Nya lewat para pembimbing, tetapi itulah yang mendewasakanku. Dalam setiap perbedaan, kami telah terangkum menjadi sebuah keluarga bahagia.
Memang betul cinta yang ada masihlah subur. Terangkai dalam perbedaan agar menjadi satu tujuan yakni mengikuti Dia. Mari katupkan tangan, rapatkan pada dada dengan ikatan di dalam tiga dasar yakni cinta, kesatuan dan doa.
In The Name Of Love.
Penulis: Poferello
Editor: Adel
No comments:
Post a Comment