Sumber Gambar: https://www.popbela.com/relationship/dating/anisya-fitrianti/hal-yang-bikin-pria-kehilangan-wanita
III
Waktu bergulir begitu cepat. Ia tak memberiku kesempatan
untuk mengulang kembali apa yang terjadi kemarin, hari ini, dan bahkan saat
jemariku menulis tentang aku, kamu, dan kegelisahan hati yang tiada pernah
berhenti. Atas nama waktu, aku hanya mampu menyusun kembali kepingan kenangan
yang telah kulalui bersamamu. Hanya saja, satu hal yang berbeda: Aku tak akan
berhenti mencintaimu! Sekuasa apapun waktu tak akan memudarkan rasaku yang
begitu dalam atasmu. Aku mencintaimu melampaui waktu.
***
Dunia
keseharianku tak lagi istimewa dimata sebagaian orang yang tak setuju dengan
keputusan yang telah kutetapkan dalam nama kebebasan. Aku tak mau peduli meski
bukan bermaksud masa bodoh. Aku hanya menemukan kebahagiaan dalam dan atas apa
yang kini kujalani. Menjadi orang ‘biasa’ dengan segala kebiasaannya: suka cita, gelisah, was-was di akhir bulan,
dan seterusnya-selanjutnya! Hanya, satu hal yang membuatku tak pernah
merasa benar-benar bahagia, yakni keputusanmu untuk pergi. Aku tahu ini sulit.
Kamu merasa tersudutkan karena aku yang ‘egois’.
Di atas segalanya, aku selalu mencintaimu. Memelukmu dalam setiap doa taatkala
aku menjumpai Tuhan yang keberadaannya dipertanyakan begitu banyak orang namun
kupercayai dengan teguh: Tuhan ada dan
dipihakku!
Berada diposisi ini memang
serba susah. Mencintai tanpa dicintai, merindu tanpa dirindukan, bertahan tanpa
ada harapan; entahlah akhirnya akan seperti apa. Mungkin akan berakhir teragis
seperti kisah-kisah klasik manakala aku kembali ke hadapan Sang Khalik tanpa
menggandeng tanganmu. Mungkin juga seperti dongeng-dongeng lampau tentang
sepasang kekasih yang kembali bersatu setelah terpisah sekian lamanya. Aku tak
tahu mana yang lebih mungkin dari dua skema yang ada. Aku tak punya kuasa
apa-apa untuk menentukannya. Aku tak bisa memaksa takdir. Aku juga tak dapat
membujuk hatimu untuk memilih diriku. Hanya, cobalah sedikit mendengar
celetukan hatimu, mungkin di sana perasaan yang kita bangun tanpa ada awal dan
akhir akan kembali muncul dan dirimu sedikit memberi ruang untukku. Sayangnya kesempatan
itu tampak mustahil. Kamu terlalu pandai menciptakan jarak meski kita berada
dalam genggaman bumi yang sama. Pahit memang, tapi aku telah terbiasa dengan
luka.
Di tengah dilema antara atau
mencintaimu dalam diam dan bait-bait puisi pada langit kota ini atau kembali
berjuang untuk berada di sisimu yang selalu kukasihi dengan kadar yang sama,
September mempertemukan kita. Sebenarnya aku malu menyapamu. Suasana hatiku tak
menentu seketika. Tatapanku tak seberani sebelumnya. Tapi atas nama cinta dan
dalamnya rasa aku tak mempedulikan diriku sendiri. Aku menyapamu. Spontan
menyentuh keningmu. Berharap dirimu mengizinkanku kembali menulis kisah-kisah
sederhana bersama. Seperti dulu: menghabiskan
kopi hangat sembari memegang erat jemarimu, mengelilingi kota sambil
menyanyikan lagu cinta, pun sekadar membaca pesanmu yang selalu kutunggu. Aku
yakin tak satupun pujangga yang mampu melukiskan kisah kita!
Maukah
dirimu kembali? Masih ingatkah kamu saat kita berpelukan dalam gelapnya malam?
Amboi dirimu sedikit memberi ruang untuk memaafkanku dan kembali berbagi peran
dalam melukis serajarah kita berdua, aku pasti dan tanpa menunda-menunda tuk
berada dekatmu. Kerinduan ini mungkin terlalu besar. Sebab aku bukanlah
apa-apa. Aku hanya pria malang yang menderita karena ditinggalkan oleh
sajak-sajakku yang berilian tentang cinta. Tapi, aku yakin. Jika aku sesabar
tetesan air yang ingin memecahkan batu atau sesetia bulan yang menemani malam,
suatu saat dirimu pasti kembali menerimaku. Aku tak tahu itu kapan. Mungkin
saat aku masih berziarah di bumi yang dipenuhi kebohongan, cemoohan, dan
ketidakadilan (tanpa meniadakan kebaikan manusia-manusia berhati humanis
kendati tak bertuhan sepertiku) maupun saat aku menginjakkan kaki di surga: yang sampai saat ini masih misteri apakah
ada atau tidak dan apakah aku diizinkan ke sana sebab aku telah dikatakan
berdosa sejak semula kendati telah ‘diberi kepastian’ bahwa aku telah
dibebaskan! Ini terlihat seperti mimpi. Tapi aku masih sangat yakin. Aku
percaya bahwa dirimu adalah yang paling baik dan mampu menerima aku apa adanya.
Kidung Kerinduan
Seperti
rerumputan merindukan
Setetes embun
di pagi hari,
Aku terus
menantimu kembali.
Jiwaku melayu
waktu demi waktu,
Menanti siraman
cintamu,
Hatiku gelisah
setiap saat,
Menunggu sapaanmu
yang dahsyat.
Wahai Yang
Tertinggi,
maukah kalian
membujuknya?
Malang, 04092022, setelah dihariNya!
No comments:
Post a Comment