Indahnya
persatuan di tengah keberagaman adalah hal yang patut dibanggakan di bumi ini.
Setiap orang menyadari diri sebagai kaum yang terpanggil untuk merajut
kebersamaan di tengah berbagai perbedaan. Dalam hal ini, perbedaan dan
kemajemukan dipahami sebagai harta yang bernilai yang mesti dirawat dan
dikembangkan demi kebaikan hidup bersama. Dasar penggerak yang mendorong setiap
orang mewujudkan hal ini sesungguhnya adalah meneladani dan menghidupi apa yang
telah ditunjukkan oleh Yesus. Ia tampil
sebagai pribadi yang terbuka dan membuka diri terhadap perbedaan di tengah
manusia. Dan apa yang ditunjukkan-Nya itu atas nama cinta dan demi cinta kepada
manusia. Cinta Yesus tentunya bersumber pada dasar relasi mesra dengan Bapa di
Surga. Indahnya sebuah relasi yang berlandaskan cinta sungguh mendatangkan
kebahagiaan. Panggilan hidup sebagai orang yang terpanggil juga akan semakin
kokoh ketika cinta Tuhan menjadi dasar yang mesti dihayati setiap waktu.
Kini dan di tempat ini, sebagai orang yang terpanggil aku bersama dengan saudara-saudara yang lain sekomunitas sungguh merasakan getaran cinta dari Dia Sang Pemanggil. Pilihan untuk hidup membira bukan berarti suatu ekspresi penolakan terhadap barang-barang duniawi. Tetapi, segala yang ada dan terjadi di sekitar menjadi sarana dan pendukung yang memacu aku untuk menggapi dan menghidupi cinta Tuhan. Inilah mimpi berbalut kerinduan dari kami sebagai kaum muda di tempat ini. Sebab, bukanlah suatu kebetulan kami ada di tempat ini dengan segala perbedaan dan keunikan masing-masing. Tetapi di atas semuanya itu adalah suatu keharusan bahwa kekuatan cinta mesti menjadi kekuatan bersama. Semuanya disatukan oleh cinta dan demi cinta yang sama. Dan Tuhan sendiri adalah Cinta itu. Tetapi, satu pertanyaan sederhana yang menggugat lagi menggugah adalah bagaimana menghayati cinta sejati di tengah perbedaan dalam sebuah kebersamaan?
Perjalanan panjang dalam hidup membiara
menjadi sebuah teka-teki yang tidak akan terjawab secara tuntas. Setiap pilihan
yang sudah dipikirkan secara matang, belum tentu menjadi jaminan untuk
kebahagiaan abadi. Dan kini mungkinkah sebuah pilihan hidup membiara ini sungguh merupakan garis tangan yang sudah
ditentukan? Ataukah pilihan ini hanya merupakan sebuah pelarian semata atas
ketidaksanggupan menghadapi genjatan dunia luar? Pertanyaan “mengapa”
semestinya menjadi pertanyaan yang sangat menukik untuk dicari dan dimaknai
jawabannya. Selanjutnya, jawaban “ya” juga semestinya menjadi kekuatan untuk
siap menerima konsekuensi yang akan dihadapi. Sebab, setiap jawaban pasti
menghadirkan situasi suka dan duka, tawa dan tangis, piluh dan canda tawa.
Itulah dinamika sebagai konsekuensi dari sebuah jawaban sekaligus pilihan.
Namun pertanyaan lanjutannya juga adalah apakah setiap jawaban “ya” tersebut
merupakan ungkapan kemurnian hati atau hanya sebatas ungkapan bibir saja?
Ketidaksesuaian antara apa yang dikatakan dengan bisikan suara hati
sesungguhnya awal suatu kegagalan dalam sebuah panggilan. Sebab, suara hati
adalah dasar dan kompas ke mana seseorang akan melangkah. Seseorang yang
sungguh mengikuti apa kata hatinya akan mencapai keberhasilan. Maka benar apa
yang dikatakan oleh Susana Tamaro seorang novelis Italia, ‘pergilah ke mana
hati membawamu.’ Ungkapan ini tersirat sebuah makna, bahwa hati adalah dasar
dan pedoman ke mana arah dan tujuan seseorang dalam hidupnya. Dan dalam konteks
hidup panggilan, hati itu adalah Tuhan sendiri. Dengan demikian, seseorang yang
setia mendengarkan suara hari, berarti siap diarahkan dan dibawa oleh Tuhan
sesuai rencana-Nya.
Namun, aku sangat menyadari kisah perjalanan panggilan ini sungguh unik lagi menantang. Sebab, aku tidak hanya mengalami dan menghadapi situasi bahagia dan menarik saja. Tetapi, beragam pengalaman duka dan aneka persoalan menghimpit dan menerpaku. Bahkan dalam kehidupan komunitas pun berbagai kebingungan harus aku hadapi. Aku tidak mengerti mengapa semuanya terjadi bahkan harus terjadi. Imbasnya aku kadang gagal fokus sehingga menciptakan sekaligus menghadirkan kesalahan dalam diri. Singkatnya, ada banyak hal yang kurang kupahami di tengah keberagamanku di komunitas ini. Namun, dengan adanya cinta semuanya bisa ditepis. Cintalah yang menghadirkan dan menopang kebersamaan di tengah berbagai situasi yang menggembirakan, pun pada saat kebersamaan itu menyesakkan dada. Oleh karena itu, ada bersama dalam sebuah kelompok atau komunitas harus terus menghidupi cinta dengan cara saling memberi diri kepada sesama. Ingat Pesan Sang Guru Cinta, ‘tidak ada kasih yang lebih besar dari seseorang yang menyerahkan nyawa untuk sahabat-sahabatnya.’ Mari merawat kebersamaan dengan cinta yang tulus dalam pemberian diri yang total kepada sesama demi cita-cita.
In The Name Of Love.
Penulis: Poferello
Editor: Adel
No comments:
Post a Comment