Tuhan, Agama dan “Isme-isme”
Pada suatu kesempatan, saya pernah membaca seuntai kalimat dari sebuah buku yang berjudul Justinian Anthology karya P. Louis Caputo SDV.* Sebenarnya buku tersebut merupakan rangkuman dari setiap ide dan ajaran dari Santo Yustinus Maria Russolillo pendiri Serikat Panggilan Ilahi atau sering dikenal dengan sebutan Vokasionis. Kalimat tersebut begini:
“Iman adalah fondasi, dasar dan akar dari semua pekerjaan pengudusan kita.”[1]
Beberapa saat setelah membaca kalimat tersebut, saya mengalami pencerahan. Saya tersadar bahwa iman merupakan dasar dari setiap kepercayaan umat manusia terhadap sesuatu yang Ilahi dan hal tersebut merupakan sebuah tanggung jawab pribadi dalam diri setiap orang di dunia ini. Boleh dikatakan bahwa iman merupakan keteguhan hati setiap individu. Keteguhan hati tersebut merupakan pegangan yang mampu mengantar setiap pribadi pada sebuah relasi yang intim dengan yang Ilahi. Iman inilah yang mampu menepis setiap ide-ide “miring” pembicaraan tentang “Tuhan” dan agama serta pergolakan umat manusia dengan “isme-isme” yang berkembang pada abad ke-21 ini.
* Beliau merupakan seorang imam dari Serikat Panggilan Ilahi berkebangsaan Italia. Pernah menjabat sebagai pemimpin umum Serikat Panggilan Ilahi sejagat (Superior jenderal) selama dua periode (ca. 2001-2006, 2007-2012).
[1] P. Louis M. Caputo SDV., Justinian Anthology (Palisades Park: E. Brinkerhoff Ave, 2013). hlm. 155.
Kontroversi Pembicaraan Tentang Konsep “Tuhan”
Dalam sejarah, konsep Tuhan memang banyak mengundang kontroversi. Berbagai agama mencoba untuk memahami dan menjelaskannya. Beragam tafsiran muncul. Kerapkali Tuhan dibicarakan dengan penuh sikap sok tahu, oleh pribadi yang sebenarnya kurang tahu tentang konsep tersebut. Semakin tidak tahu, orang-orang justru semakin percaya diri dan sok tahu. Semakin tidak waras konsep tersebut, orang-orang semakin terinspirasi untuk berdiskusi. Memang, jika setiap individu diberi pertanyaan tentang Tuhan, jawabannya bervariasi. Ada orang yang memahami Tuhan sebagai Tuhan kosmik.
Tuhan inilah yang menjadi perancang segala yang ada di alam semesta. Ia merupakan awal dan akhir dari segalanya. Ada yang memahami Tuhan sebagai Tuhan pribadi yang ikut campur dalam kehidupan seorang manusia. Tuhan seperti ini dipercaya akan mengabulkan setiap doa dan membantu seseorang dalam menjalani hidupnya jika pribadi tersebut berdoa kepada Tuhannya. Namun, jika tidak Tuhan semacam ini pun bisa menghukum. Lalu, para ilmuwan memandang Tuhan sebagai sesuatu yang misteri dan mengagumkan, oleh karena masih banyak hal di dunia ini yang tidak dapat dipahami oleh akal budi manusia. Meskipun begitu, Tuhan tetap tidak akan pernah bisa sepenuhnya dipahami oleh akal manusia. Ia terlalu luas untuk dipenjara dalam kata. Upaya untuk memahami-Nya dengan pikiran akan berujung pada kebingungan. Namun, Tuhan dapat dialami. Melalui tindakan spiritual yang tepat, manusia bisa menyatu dengan-Nya. Bahwasanya, ada hal yang lebih parah pada zaman ini terjadi, ketika muncul segelintir orang yang mendefinisikan dirinya sebagai Tuhan atas dunia dan Tuhan bagi sesamanya. sehingga keyakinannya terhadap sesuatu yang Ilahi mengalami penyusutan. Bahkan lebih parahnya lagi keyakinan tersebut sirna bak ditelan bumi. Mereka pun muncul dengan membawa setiap sikap kepercayaan dirinya, mengagungkan setiap kelebihannya, serta menganggap diri mampu melakukan segala hal di dunia ini.
Kombinasi antara Rasa Takut dan Rasa Kagum Terhadap Ketidakpastian Hidup
Agama hadir di dunia oleh karena dua hal yakni rasa takut dan rasa kagum. Banyak hal di dunia ini yang berada di luar kendali manusia. Misalnya fenomena alam yang sering dialami oleh masyarakat manusia. Perubahan cuaca sampai dengan bencana alam, semuanya menciptakan rasa takut di dalam diri manusia. Di tengah alam yang penuh dengan ketidakpastian, manusia terasa kecil dan tidak berarti. Di samping itu, alam juga mengundang rasa kagum di dalam diri manusia. Keindahan alam dan fenomena yang indah, unik dan istimewa membuat hati manusia bergetar. Ia merasa kecil sekaligus merasa bangga menjadi bagian dari alam ini. Oleh karena rasa takut dan rasa kagum inilah manusia menciptakan agama. Di hadapan yang tidak dapat dikendalikan, agama lahir sebagai bentuk dari kepercayaan akan adanya sesuatu yang mengatur segalanya. Sosok tersebut merupakan sesuatu yang Ilahi. Ada yang menyebutnya Tuhan, Dewa, Allah dan sebagainya.
Bahwasanya kombinasi antara rasa takut dan rasa kagum terhadap ketidakpastian hidup melahirkan agama. Oleh karena dua hal ini terus berkembang dalam diri manusia, agama pun terus berkembang sampai sekarang. Namun, di zaman ini orang-orang sering mendefinisikan agama dengan fungsi sosialnya, bukan dengan eksistensi Tuhannya. Sebagaian besar orang mendefinisikan agama secara keliru sehingga terjadi kesalahpahaman. Kekeliruan ini biasanya dapat menimbulkan konflik dan penyusutan kepercayaan. Selain itu, kekeliruan ini pun merenggut secara perlahan rasa takut dan rasa kagum yang ada pada diri seseorang. Kepercayaan terhadap sesuatu yang Ilahi pun berangsur punah merongrong setiap akal budi individu dan akhirnya merenggut kepercayaan tersebut.
Topeng “Isme-isme”
Dalam sejarah dunia, salah satu hal yang mampu mengimbangi agama dan mampu menjadi musuh agama di dunia ini adalah isme-isme. Pada abad 21 ini, orang-orang terkadang tanpa sadar menilai sesuatu berdasarkan kacamata sudut pandang isme-isme tertentu. Terkadang juga penilaian tersebut diberi sampul agama sehingga kebanyakan orang melihat bahwa hal tersebut merupakan sesuatu yang berbau religius yang mendorong seseorang taat kepadanya. Isme-isme ini menggerogoti pemikiran dari sekian banyak orang dan menjadi sebuah keyakinan bagi segelintir individu. Isme-isme ini pun berkembang pesat di berbagai sektor kehidupan, seperti dalam sektor pendidikan, bidang pemerintahan, dan bahkan dalam diri sosok yang memiliki keterikatan terhadap suatu agama tertentu.
Kombinasi antara Rasa Takut dan Rasa Kagum Terhadap Ketidakpastian Hidup
Agama hadir di dunia oleh karena dua hal yakni rasa takut dan rasa kagum. Banyak hal di dunia ini yang berada di luar kendali manusia. Misalnya fenomena alam yang sering dialami oleh masyarakat manusia. Perubahan cuaca sampai dengan bencana alam, semuanya menciptakan rasa takut di dalam diri manusia. Di tengah alam yang penuh dengan ketidakpastian, manusia terasa kecil dan tidak berarti. Di samping itu, alam juga mengundang rasa kagum di dalam diri manusia. Keindahan alam dan fenomena yang indah, unik dan istimewa membuat hati manusia bergetar. Ia merasa kecil sekaligus merasa bangga menjadi bagian dari alam ini. Oleh karena rasa takut dan rasa kagum inilah manusia menciptakan agama. Di hadapan yang tidak dapat dikendalikan, agama lahir sebagai bentuk dari kepercayaan akan adanya sesuatu yang mengatur segalanya. Sosok tersebut merupakan sesuatu yang Ilahi. Ada yang menyebutnya Tuhan, Dewa, Allah dan sebagainya.
Bahwasanya kombinasi antara rasa takut dan rasa kagum terhadap ketidakpastian hidup melahirkan agama. Oleh karena dua hal ini terus berkembang dalam diri manusia, agama pun terus berkembang sampai sekarang. Namun, di zaman ini orang-orang sering mendefinisikan agama dengan fungsi sosialnya, bukan dengan eksistensi Tuhannya. Sebagaian besar orang mendefinisikan agama secara keliru sehingga terjadi kesalahpahaman. Kekeliruan ini biasanya dapat menimbulkan konflik dan penyusutan kepercayaan. Selain itu, kekeliruan ini pun merenggut secara perlahan rasa takut dan rasa kagum yang ada pada diri seseorang. Kepercayaan terhadap sesuatu yang Ilahi pun berangsur punah merongrong setiap akal budi individu dan akhirnya merenggut kepercayaan tersebut.
Topeng “Isme-isme”
Dalam sejarah dunia, salah satu hal yang mampu mengimbangi agama dan mampu menjadi musuh agama di dunia ini adalah isme-isme. Pada abad 21 ini, orang-orang terkadang tanpa sadar menilai sesuatu berdasarkan kacamata sudut pandang isme-isme tertentu. Terkadang juga penilaian tersebut diberi sampul agama sehingga kebanyakan orang melihat bahwa hal tersebut merupakan sesuatu yang berbau religius yang mendorong seseorang taat kepadanya. Isme-isme ini menggerogoti pemikiran dari sekian banyak orang dan menjadi sebuah keyakinan bagi segelintir individu. Isme-isme ini pun berkembang pesat di berbagai sektor kehidupan, seperti dalam sektor pendidikan, bidang pemerintahan, dan bahkan dalam diri sosok yang memiliki keterikatan terhadap suatu agama tertentu.
Boleh dikatakan bahwa hal ini merupakan kedok yang menyelimuti isme-isme sehingga isme-isme tersebut terus berkembang dan merenggut keyakinan setiap orang terhadap agama atau sesuatu yang Ilahi. Hal ini mampu meruntuhkan setiap kemapanan religius yang telah dibangun sejak lama. Lebih bahayanya lagi, isme-isme tersebut menjadi kepercayaan, model dan tonggak kehidupan.
Fondasi, Dasar dan Akar
Iman merupakan benteng sekaligus tameng kokoh yang mampu menepis setiap godaan dan pengaruh dari berbagai macam persoalan tentang tuhan, agama dan isme-isme. Iman hadir sebagai dasar dari segala sesuatu yang setiap orang harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak dapat dilihat. Sebagai fondasi, iman merupakan dasar yang kuat bagi kepercayaan setiap individu akan Tuhan. Sebagai dasar, iman mampu menjadi pokok atau pangkal dari setiap ajaran tentang kebenaran akan Tuhan dalam beragama. Sebagai akar, iman merupakan asal mula kepercayaan setiap umat manusai terhadap Tuhan dan menjadi dasar pembentukan bagi umat manusia untuk menepis pengaruh isme-isme. Namun, tentunya setiap pribadi pun mesti mengukuhkan imannya. Mengenai hal ini, Saya kembali teringat akan untaian kata St. Justin dalam buku Justinian Anthology yang mengatakan demikian:
“Karena akar, dasar dan prinsip dari semua pembenaran, iman, kebajikan teologis pertama, yang ditanamkan oleh Tuhan di dalam kita, bergantung pada cara tertentu yakni ex auditu - dari pendengaran.”[2]
Saya kira petuah ini bermaksud untuk menjelaskan pada setiap orang bahwa sebagai fondasi, dasar dan akar, iman bertumbuh dan berkembang melalui pendengaran pribadi tersebut. Sebagai rahmat Tuhan, iman mesti didahului oleh Firman Tuhan yang didengar dengan rasa ingin dan sadar terhadap Firman tersebut. Setelah itu Firman tersebut tumbuh dan berkembang dalam iman seseorang. Iman yang bertumbuh dan berkembang ini dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari melalui tingkah laku, tutur kata, dan buah pikiran. Sehingga iman mampu menjadi benteng dan pertahanan yang kuat dalam melawan setiap kemelut yang dialami umat manusia pada abad ini.
Sebagai hidangan penutup untuk merampung tulisan ini, saya menyajikan sebuah kalimat dari St. Yustinus Maria Russolillo yang saya kutip dari buku yang sama. Kalimat tersebut begini:
“Setiap kebaikan supernatural berakar pada iman suci, dan iman suci berawal dari rahmat Firman Ilahi yang diungkapkan dan diturunkan, disambut dan direnungkan, dipercaya dan dipraktikkan dengan benar.”[3]
Kalimat ini ingin menegaskan bahwa iman sebagai fondasi, dasar dan akar dari segala kebaikan mesti bertumbuh dan berkembang dalam diri serta diwariskan kepada sesama. Lalu kemudian dipraktikkan dalam kehidupan nyata.
* Beliau merupakan seorang Imam dari Serikat Panggilan Ilahi berkebangsaan Italia. Pernah menjabat sebagai pemimpin umum Serikat Panggilan Ilahi sejagat (Superior jenderal) selama dua periode (ca. 2001-2006, 2007-2012).
[1] P. Louis M. Caputo SDV., Justinian Anthology (Palisades Park: E. Brinkerhoff Ave, 2013). hlm. 155.
[2] Ibid.
[3] Ibid.
Penulis: Febryano Wagur
Editor: Adel
Fondasi, Dasar dan Akar
Iman merupakan benteng sekaligus tameng kokoh yang mampu menepis setiap godaan dan pengaruh dari berbagai macam persoalan tentang tuhan, agama dan isme-isme. Iman hadir sebagai dasar dari segala sesuatu yang setiap orang harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak dapat dilihat. Sebagai fondasi, iman merupakan dasar yang kuat bagi kepercayaan setiap individu akan Tuhan. Sebagai dasar, iman mampu menjadi pokok atau pangkal dari setiap ajaran tentang kebenaran akan Tuhan dalam beragama. Sebagai akar, iman merupakan asal mula kepercayaan setiap umat manusai terhadap Tuhan dan menjadi dasar pembentukan bagi umat manusia untuk menepis pengaruh isme-isme. Namun, tentunya setiap pribadi pun mesti mengukuhkan imannya. Mengenai hal ini, Saya kembali teringat akan untaian kata St. Justin dalam buku Justinian Anthology yang mengatakan demikian:
“Karena akar, dasar dan prinsip dari semua pembenaran, iman, kebajikan teologis pertama, yang ditanamkan oleh Tuhan di dalam kita, bergantung pada cara tertentu yakni ex auditu - dari pendengaran.”[2]
Saya kira petuah ini bermaksud untuk menjelaskan pada setiap orang bahwa sebagai fondasi, dasar dan akar, iman bertumbuh dan berkembang melalui pendengaran pribadi tersebut. Sebagai rahmat Tuhan, iman mesti didahului oleh Firman Tuhan yang didengar dengan rasa ingin dan sadar terhadap Firman tersebut. Setelah itu Firman tersebut tumbuh dan berkembang dalam iman seseorang. Iman yang bertumbuh dan berkembang ini dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari melalui tingkah laku, tutur kata, dan buah pikiran. Sehingga iman mampu menjadi benteng dan pertahanan yang kuat dalam melawan setiap kemelut yang dialami umat manusia pada abad ini.
Sebagai hidangan penutup untuk merampung tulisan ini, saya menyajikan sebuah kalimat dari St. Yustinus Maria Russolillo yang saya kutip dari buku yang sama. Kalimat tersebut begini:
“Setiap kebaikan supernatural berakar pada iman suci, dan iman suci berawal dari rahmat Firman Ilahi yang diungkapkan dan diturunkan, disambut dan direnungkan, dipercaya dan dipraktikkan dengan benar.”[3]
Kalimat ini ingin menegaskan bahwa iman sebagai fondasi, dasar dan akar dari segala kebaikan mesti bertumbuh dan berkembang dalam diri serta diwariskan kepada sesama. Lalu kemudian dipraktikkan dalam kehidupan nyata.
* Beliau merupakan seorang Imam dari Serikat Panggilan Ilahi berkebangsaan Italia. Pernah menjabat sebagai pemimpin umum Serikat Panggilan Ilahi sejagat (Superior jenderal) selama dua periode (ca. 2001-2006, 2007-2012).
[1] P. Louis M. Caputo SDV., Justinian Anthology (Palisades Park: E. Brinkerhoff Ave, 2013). hlm. 155.
[2] Ibid.
[3] Ibid.
Penulis: Febryano Wagur
Editor: Adel
No comments:
Post a Comment