Iklan

Kamu!

Catatan Kecil Sang Musafir
Monday, 10 October 2022 | October 10, 2022 WIB Last Updated 2022-10-11T05:17:11Z

 

Kamu!
Lokasi: Puncak Gunung Buthak, Jawa Timur. Sumber: Dok. Pribadi

***

Mencintaimu ibarat menaklukan ketinggian sebuah gunung.

Aku harus mengalahkan rasa lelah dan bahkan keinginan untuk menyerah.

Jika saat mendaki gunung aku dikuatkan karena pengalaman ‘wah’ yang menjanjikan: saat menyaksikan keindahan alam sebagai karya Tuhan yang adalah Sebab Pertama nan mengagumkan, saat mencintai-memperjuangkanmu aku ditopang harapan bahwa suatu saat aku akan merasakan kehangatan dirimu yang dulu: dirimu yang mampu membuatku bahagia, tersenyum, dan berbicara apa saja seperti hembusan angin yang menemani tiap-tiap malam, pun yang paling tinggi menjadi diri sendiri tanpa pernah kau cela.

Puncak gunung akan hilang pesonanya jika angin, dingin, dan secercah sinar dipagi hari tak berpadu.

Puncak gunung akan dikenang jika kedinginan ditenda saat bersua malam terobati pesona terbitnya matahari pagi.

Mencintaimu akan tak ada artinya jika aku tak berjuang, menyerah atau enggan untuk menunggu.

Justru perpaduan dari segalanya membawa nikmat saat merindukanmu di malam-malam yang sunyi, di antara teraturnya tetesan hujan pada atap, di tengah-tengah kata pada sajak yang selalu merupakan kidung kerinduan akan dirimu.

 

Oktober tak ubahnya adalah sahabat hujan. Di bulan ini hujan turun seenaknya. Ia benar-benar berkuasa. Jika semesta gelisah dan ingin menghujatnya tentu dengan mudah ia membela diri: ini bulanku toh? Dari pada ribut dengan hujan, lebih baik mencintainya. Menulis kenangan yang selalu hadir tatkala aroma tanah setelah hujan menyeruak atau ketika menyaksikan tetesan hujan yang  menerpa kaca di Simpang Istimewa (Jalan Hidup, juga Mega Mendung tempat hidup kembali dimulai) ini. Selain mencoba meninggalkan sajak-sajak lepas pada langit-langit kamar dan membacanya pelan-pelan sembari memejamkan mata: berharap kamu mendengarnya di sana, Oktober ini aku dan bersama-sama beberapa kawan lainnya mencoba untuk menaklukan Gunung Buthak yang tinggi menjulang, ......mdpl.

Rabu, 5 Oktober 2022 aku dan kawan-kawan menantang hujan yang mengguyur kota tempat pertama kali kita berjumpa. Menyesuri jalan-jalan yang pernah kita lalui berdua. Seakan nostalgia, aku kembali merasakan hangat jemarimu saat kita saling memadu kasih. Seorang teman yang tau benar luka dan cintaku yang tak pernah pudar atasmu memandang dalam diam: ia sepertinya meneguhkan bahwa aku harus memperjuangkanmu. Tatapan peneguhan ini sepenuhnya keliru sebab tujuanku mendaki gunung ini ialah untuk benar-benar melupakanmu. Namun, akankah bisa, aku tidak pernah tahu. Biarkan aku bercerita dulu, nanti setelah turun gunung jawabannya akan kuumumkan dalam goresan pena yang mungkin tak dirindukan siapapun.

Setelah perjalanan cukup jauh dan melelahkan akhirnya kami tiba di titik start pendakian pada pukul 18.00. Setelah beristirahat sejenak dan menitipkan tanda tangan sebagai jaminan, juga uang tiket yang menghabiskan isi kantong, kami mulai berangkat ke Pos Pertama. Dalam perjalanan menuju Pos Pertama semuanya terlihat baik-baik saja. Ada banyak cerita yang dibagikan. Tapi, setelah melewati Pos Pertama dan merasakan sulitnya berjalan karena licin, sebab di wilayah itu hujan juga berkuasa, dan hanya diterangi cahaya handphone serta senyuman bulan yang remang-remang itu, keluhan mulai terlontarkan. Rasa lelah mulai muncul. Perasaan ingin kembali, menyerah, dan pulang merebahkan diri di Simpang Istimewa berkuasa secara bersamaan. Tak ada cara lain untuk melenyapkan semuanya selain meyakinkan diri bahwa di puncak ada lukisan Sang Ada yang mengagumkan. Alhasil perjalanan terus
dilanjutkan. Agar tidak terlalu sepi dan tegang sahabatku satunya masih sempat memutar lagu-lagu John Mayer, walau aku sebenarnya rindu sama-sama cerita Iksan Skuter dalam senandungnya.

Setelah berjalan lebih kurang tujuh jam, melewati dan menaklukan jalanan bebatuan yang di sebelah kiri dan kanan hanya terdapat jurang serta suara angin yang menggoyangkan dedaunan pinus, akhirnya kami tiba di Padang Savana yang teramat Indah. Pukul 2.00, dini hari, kami memasang tenda dan menyiapkan air untuk menyeduh kopi: kata orang ngopi di puncak punya cerita sendiri, sensasinya beda, mungkin seperti saat aku memegang lembut pipimu di tiap-tiap kali kita bersua. Pada akhirnya, semua terlelap dalam lelah dan memeluk dinginnya malam yang hampir menjelma pagi.

 

***

Malam tak lagi dapat membendung terang yang hendak melahap sisa-sisa gelapnya. Suasana perlahan mulai terang. Suara burung-burung terdengar ramai mendamaikan hati juga telinga yang selama ini dijajah kebisingan kota dan berita-berita palsu pun korupsi yang makin menjamur di layar televisi, termasuk mereka yang mencuri perhatian massa dengan blusukan ke mana-mana. Aku yang tak sabar menunggu pagi tiba segera menyimak alam sekitar dengan tatapan mata penuh kagum. Lalu, tak mau kalah dengan pendaki lain yang juga berburu matahari terbit, aku dan kawan-kawan lainnya berjalan menuju puncak sembari sesekali mengabadikan indahnya Savana saat sebelum kabut tiba dalam foto-foto yang pantas tuk dikenang kapanpun, sampai anak-anak nanti bilang: ayah hebat ya bisa menaklukan Gunung Buthak! Saat itu dalam hati aku pasti menyombongkan diri: ah mendaki gunung ma tak seberapa, yang susah adalah menumbuhkan kembali benih-benih cinta dalam hati ibumu!

Di puncak, paling atas, ketika pohon-pohon terlihat lebih rendah dari kepalaku, aku menyaksikan secercah sinar mentari yang melawati bumi, pagi-pagi sekali. Merasakan hangatnya yang tak terlupakan. Menatap awan dan alam sapuan tangan Sang Ada dengan rasa kagum yang tak terungkapkan. Di sana, di puncak itu, aku hanya mampu berkata: wah! Sementara menyaksikan mega karya Yang Tertinggi, aku memikirkan dirimu yang kini semakin menjauh saja. Semula, sebelum menaklukan gunung ini, aku bercita-cita untuk melupakanmu. Menghapus semua kenangan yang pernah kita ciptakan bersama di kota yang menyimpan sejuta harapan ini. Tapi aku salah. Di puncak ini aku kembali yakin bahwa hanya dirimu yang mampu membuatku bahagia. Aku masih sempat mengirim sebait sajak dan sepucuk surat yang mungkin kamu anggap bukan isyarat. Di Puncak ini aku tak ada niat lain selain mencintaimu terus. Memperjuangkanmu laiknya menaklukan gunung ini. Aku tak akan menyerah lagi. Aku akan terus memperjuangkanmu. Mencintaimu (mungkin) adalah salah satu maksud keberadaanku!

 

***

 

Hari kembali berlalu. Dalam pelukan hujan yang sama aku kembali ke kota ini dengan beribu hasrat dan harap. Aku ingin memperjuangkanmu. Semoga engkau memberiku ruang pun waktu agar kita bisa kembali melanjutkan kisah kita.

 

Sepulang dari pendakian itu,

Tak ada lain selain harapan untuk terus mencintaimu.

Banyak yang bilang kalau ini sia-sia.

Tapi lebih baik terlihat demikian ketimbang tak berbuat apa-apa.

Aku tak tahu apa akhi dari semua ini.

Tapi yang pasti, aku akan terus mencintaimu.

Hati ini terlampau terluka untuk mencintai yang lain.

Hanya dirimu yang telah menyembuhkannya.

Di antara sekian banyak pralambang, aku adalah hujan,

Yang tak mau dihentikan siapapun: akan terus mencintaimu.

Bersama Sang Ada pembuat kemungkinan,

Aku membesarkan hati bahwa kelak kita bersebelahan menuju altar,

Mengikat janji.

Puncak Gunung Buthak, Jawa Timur. Sumber: Dok. Pribadi


Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Kamu!

No comments:

Post a Comment

Trending Now

Iklan