Setelah sekian lama berjuang mempertahankan bahtera cinta yang nahkodahnya hanya aku seorang, pada akhirnya aku sampai pada kesimpulan bahwa melepaskan adalah jalan paling relevan untuk dipilih.
Membiarkanmu
pergi bukan karena kadar ketulusanku berkurang, tetapi karena engkau lebih
memilih pergi ketimbang berjuang bersamaku sekali lagi.
Aku
kecewa sejatinya.
Tapi,
aku tak mau terjebak dalam kenangan dan lupa bahwa mungkin ada orang lain yang
dapat menerimaku sekali lagi.
Orang yang benar-benar menjadikanku rumah.
Aku
memang tak meragkan bahwa kamu pertama menerimaku sebagai rumahmu. Menjadikanku
tempatmu pulang saat menjelang matamu terlelap: kita bercerita apa saja, hingga
pagi tak sadar telah tiba.
Aku
masih mencintaimu dan berharap kau kembali.
Tapi
hingga kini kamu tak memberiku waktu atau setidaknya kesempatan untuk kembali
bersua denganmu.
Mungkin
benar: aku harus belajar merelakanmu dan berusaha mencintai yang lain tanpa menjadikan
mereka sebagai dirimu!
Seusai menyeruput kopi yang kuseduh sendiri, aku tak
sengaja melihat kembali foto-fotomu yang kusimpan rapi dalam album mini itu. Hati
terasa goyah dan hasrat untuk tetap menunggumu mekar begitu saja. Ingin aku
mencoba mengirimmu pesan singkat. Tapi aku takut itu akan membuatmu semakin
menjauh. Luka kepergianmu sudah cukup, aku tak mau memperdalamnya dengan
kehilangan dirimu. Aku sadara kamu sama sekali tak lagi punya perasaan apa-apa.
Jarak semakin kau perlebar. Kita berada dalam ruang yang sama dan zona waktu
yang tak selisih sedetik pun, tapi kita tetap saja seperti orang asing. Doa-doaku
tidak pernah kau aminkan. Dan Tuhan nyatanya lebih berpihak padamu. Entahlah
mungkin aku memang terlampau buruk untukmu. Aku tak mampu apa-apa. Hanya sebagai
lelaki dewasa yang tak pernah tahu kepada siapa harus bercerita, selain kepada
Sang Ada yang lebih mendengar keraguanmu dan sajak-sajak lepas yang membuat
orang menghakimiku sebagai manusia tak beruntung di antara para manusia
lainnya: dalam perkara cinta!
Melepaskan! Pada akhirnya melepaskan-merelakanmu-pergi adalah
jalan paling bijak sekaligus paling kubenci untuk terus mencintaimu. Adalah lebih
baik tetap mencintaimu dari jauh, ketimbang memilikimu tapi aku tak kauingini. Lebih
baik mendiamkan semua rasa ini dan diam-diam terus mencintaimu dalam monolog-monolog
cinta kita yang abadi dari pada membuatmu tersiksa pun malu jika harus
bersanding denganku. Aku bukan siapa-siapa bukan? Hanya lelaki yang mampu
mencintaimu dengan sederhana: mengelilingi
kota sembari memegang jemarimu yang dingin karena embun pada malam jua
menyanyikan lagu-lagu dengan lepasnya; menyentuh lembut keningmu ketika duduk
di kedai kopi berbeda, tempat kita kali pertama bersua sebagai sahabat yang
pelan-pelan jatuh dalam pelukan cinta tanpa kata-kata, berlangsung begitu saja;
mengajakmu merayu Tuhan dalam doa agar kita dibolehkan terus bersama, ini hanya
beberapa malam saja sebab susah signal; dan menggodamu agar ceria seperti
biasanya.
Akankah kupu-kupu yang kehilangan sebelah sayapnya masih
bisa terbang untuk meniduri bunga-bunga lain yang begitu beraroma? Sulit. Keseimbangan
adalah prasyarat agar ia bisa terbang dengan sempurna. Tapi kadang, kupu-kupu
itu lupa diri. Ia tidak sadar kalau ia masih mempunya kaki yang setidaknya,
meski tampak mustahil dan membutuhkan tenaga ekstra, mampu mengantarnya pada
bunga lain. Aku adalah satu di antara kupu-kupu yang kehilangan keseimbangan
sebab kau, sayapku yang sebelah, telah patah-tak utuh. Aku sama sekali tidak
bisa terbang untuk mencangkau yang lain. Aku terjebak dan terus mencintaimu. Seperti
kupu-kupu yang bersayap satu aku tak mampu terbang untuk mencintai yang lain. Bagiku
kau bunga terakhir yang menawarkan madu paling nikmat! Tapi, aku akhirnya tahu
diri. Aku tahu siapa aku: manusia dengan
sejuta kekurangan dan keegoisan yang kadang menjengkelkan! Aku tahu bahwa
aku bukanlah sosok yang tepat buatmu. Kamu pantas mendapatkan yang lebih baik
bukan?
Meski berat aku memutuskan untuk keluar dari zona
ternyaman yang pernah kurasakan: beradu
kasih bersamamu! Seperti kupu-kupu
yang kehilangan sayap untuk terbang dengan mudah: aku yang tak mampu berbuat apa-apa karena luka dan kehilangan yang
masih tak mampu kuterima dnegan damai serta gelora cinta akanmu yang tak pernah
berubah setitik pun, dengan berat hati belajar untuk mencintai yang lain. Mencintai
dia, entah siapa!
***
Gadis pemalu nan diam itu. Entah kenapa aku jatuh hati padanya. Seperti denganmu dulu perasaan itu tiba-tiba muncul saat bertemu pandang pertama kalinya, saat kau duduk berdua bersamaku di taman penuh rahmat dan nubuat! Menatap wajahnya yang memerah karena malu membuatku terkesima. Caranya menyeduh kopi memikatku. Meski tak sama denganmu: kamu masih kucintai dan kusediakan ruang untuk kembali, barangkali ia mampu menerimaku sebagai rumah yang tak hanya disinggahi tetapi didiami kendai saat hujan atapnya bocor sana-sini. Rumah yang ia bersihkan kala kotor dan ia renovasi ketika beberapa tiang penyangganya mulai rapuh. Rumah yang adalah rumah itu sendiri: didiami, dibersihkan, diperbaiki, dirawat, dijaga, dipastikan aman! Kamu memang menjadikanku rumah, tapi akankah itu terus berlanjut setelah semuanya?
***
Tapi
melalui malam yang bicara dalam kebisuannya, aku ingin berpesan padamu:
Jika dalam hatimu masih ada sisa
cinta untukku,
katakanlah!
Aku masih mencintamu!
Betapapun itu sedikit, rasa itu,
kalau kau izinka,
baiklah kita memekarkannya,
baiklah aku membuatnya makin berkembang!
Gambar: internet (Adrie P. Saputra, https://www.grid.id/read/04178291/wow-keren-sayap-kupu-kupu-yang-rusak-ini-bisa-diperbaiki-oleh-seorang-wanita-dan-dia-terbang-kembali?page=all)
No comments:
Post a Comment