![]() |
Sumber gambar: Internet, Suara Pakar |
Mengapa mencintaimu selalu tak bisa kubendung.
Tak terhitung kali ke berapa aku menangis seperti anak kecil yang merengek minta dikasihani.
Tak terbilang saat-saat aku merasa gamang kala tahu dirimu tak sedikitpun peduli hingga memilih menghabiskan malam dengan menatap langit-langit kamar, tanpa memejamkan mata, terus mendaraskan doa pada Tuhan dan semesta agar hatimu sedikit tersentuh, lalu memberi aku ruang dan waktu untuk kembali bersamamu.
Aku tidak akan menyerah.
Setiap kali kau tidak mempedulikan rasa cinta yang kurawat dengan setia dan ketulusan yang kadarnya tidak pernah berupa dari sejak pertama kita jumpa, setiap kali juga aku menyayangimu.
Kendati engkau mengaku bahwa tak ada rasa apa-apa yang menyinggahi hatimu tentang aku, tetap saja aku tak akan berhenti memperjuangkanmu.
Yang menguatkanku adalah empat kali kita bersua, entah itu kehendak Tuhan atau skema semesta yang sengaja atau tidak mempertemukan kita.
Pertama, saat kita berdua saja di taman itu, pada sore yang sunyi dan rahmat-rahmat Tuhan tersembunyi di setiap sudut taman. Itu adalah kali pertama aku berjumpa dari muka ke muka denganmu. Itulah saat aku merasa jatuh cinta lagi. Itulah saat aku mendeklarasikan kepada dunia bahwa aku mencintaimu: gadis yang hangat, ceria, apa adanya, dan menatapku dengan tatapan memesona. Aku mencintaimu saat awal berkenalan via surat-surat udara dan semakin dalam saat aku berjumpa denganmu di taman, kala itu.
Kedua, saat kita berdua di antara yang lain, menikmati kopi di malam yang harusnya kita tidak makan apa-apa. Hanya aku dan kamu yang tahu. Pertemuan yang selalu aku kenang. Saat itu aku semakin yakin bahwa dirimu juga memiliki rasa atasku, entah apa masih samar, katamu: kita lebih dari sepasang kekasih, bukan? Malam itu kali pertama aku menggenggam jemarimu, menyentuh lembut pipimu. Malam yang membuatku tanpa malu menggodamu agar tersenyum dan aku boleh menikmati pesonamu. Pertemuan kedua: aku mencintaimu lebih lagi.
Ketiga, saat kita duduk berdua saja di kedai kopi itu, di lantai dua,hanya ada kita. Selepas hujan, aku yang selalu merindukanmu kembali mengajakmu bersua. Saat itu kita baru saja berpisah: kamu marah karena aku salah kata, lalu memutuskan untuk ke kota seribu candi: meskipun belakangan kamu cerita alasanmu bukan karena itu. Pertemuan yang masih sehangat sebelumnya. Kita makin dekat. Bercanda memecahkan sunyinya malam.
Sesekali aku menggenggam jemarimu atau menyentuh lembut pipimu jika kamu mulai menggodaku yang terlampau serius menanggapi setiap ucapanmu. Kita menghabiskan waktu berdua. Mata orang-orang menatap, tapi kita mengacuhkannya. Malam itu malam kita bukan? Pada akhirnya kita bercerita tentang masa lalu masing-masing. Tentang kamu yang pernah kehilangan sebelah sandalmu, merajuk pada sopir bus sekolah agar mengelilingi kota; dan tetang aku yang hidupnya dalam keteraturan dan kekakuan: aku yang ambisius dan disalahartikan, aku yang merasa sendiri, dan seterusnya. Kesan setelah berjumpa denganmu tak pernah berubah: aku bahagia dan merasa pulih dari luka lama yang menderaku dalam keterbelengguan ruang dan waktu!
Ketiga, adalah yang paling membahagiakan. Malam itu kita saling merindu begitu kuat. Memutuskan untuk bertemu. Kita menelusuri heningnya kota, tanpa menghiraukan gerimis yang berjatuhan lalu terlindas roda sepeda, demi menuju kota seberang. Aku memelukmu erat. Menguarikan kata-kata cinta tanpa bersuara. Diam. Hanya menyatakannya dengan memelukmu hangat dan sebentar menyentuh bahumu. Di kota yang digemari pasangan manapun, kita duduk di tanah lapang sebelah kanan jalan itu. Tentu yang memilih tempat adalah kamu: aku tak tahu apa-apa bukan?
Ketiga, adalah yang paling membahagiakan. Malam itu kita saling merindu begitu kuat. Memutuskan untuk bertemu. Kita menelusuri heningnya kota, tanpa menghiraukan gerimis yang berjatuhan lalu terlindas roda sepeda, demi menuju kota seberang. Aku memelukmu erat. Menguarikan kata-kata cinta tanpa bersuara. Diam. Hanya menyatakannya dengan memelukmu hangat dan sebentar menyentuh bahumu. Di kota yang digemari pasangan manapun, kita duduk di tanah lapang sebelah kanan jalan itu. Tentu yang memilih tempat adalah kamu: aku tak tahu apa-apa bukan?
Sembari menatap indahnya lampu-lampu kota dari kejauhan, aku menggenggam jemarimu. Kita bercerita banyak hal. Dan aku yang telah beberapa tahun memendamkan jalan rahasia yang kutetapkan dan kupilih secara bebas, mulai menceritakannya padamu. Kamu tak setuju. Tak pernah seia denganku. Aku tetap pada jalan itu. Akhirnya, setelah matamu merasa lelah, kita kembali berbalik, seakan-akan dari peziarahan ke dunia asmara yang mengenakan ke alam nyata yang penuh misteri. Jalanan makin sepi dan cuaca mulai dingin.
Embun mulai bermunculan. Aku menggenggam erat jemarimu dan memelukmu hangat. Dan sebelum benar-benar terlelap, ada yang lupa di sakumu (hanya aku dan kamu yang tahu). Tetapi jujur saja yang terlupa sejatinya hatiku yang semakin mencintaimu.
Meski pertemuan-pertemuan itu telah berlalu dan hanya menjadi sejarah yang tersembunyi dibalik kisah-kisah yang lebih hebat dari makhluk bernama manusia, aku masih setia merawatnya. Bukan hanya karena menyenangkan untuk diingat, tetapi karena rasa cintaku padamu tak lenyap oleh waktu.
Aku ingin sekali kembali bersamamu: saling mencintai tanpa awal dan akhir, tanpa kata-kata kepalsuan, begitu saja: seperti katamu “kita lebih dari sepasang kekasih, bukan?”
Ah, andai saja kamu mau berbalik. Bolehkah aku kembali menulis cerita bersamamu? Aku mungkin tak berharga: hanya debu pada kakimu. Tapi, maukah dirimu mempertimbangkan rasaku atasmu? Aku mencintaimu sangat!
Oktober berlalu begitu cepat. Tak tertahan. Melesat tanpa persetujuan siapapun, seperti anak panah yang dilepaskan dari pergumulan seorang prajurit: antara menembak atau ditembak duluan. Sepeninggalannya, November meraja. Rintikan hujannya yang khas memenuhi semesta, entah pagi, siang, sore ataupun malam. Aku, salah satu manusia yang mencari kesibukan ke sana ke mari, tidak bisa berbuat apa-apa.
Meski pertemuan-pertemuan itu telah berlalu dan hanya menjadi sejarah yang tersembunyi dibalik kisah-kisah yang lebih hebat dari makhluk bernama manusia, aku masih setia merawatnya. Bukan hanya karena menyenangkan untuk diingat, tetapi karena rasa cintaku padamu tak lenyap oleh waktu.
Aku ingin sekali kembali bersamamu: saling mencintai tanpa awal dan akhir, tanpa kata-kata kepalsuan, begitu saja: seperti katamu “kita lebih dari sepasang kekasih, bukan?”
Ah, andai saja kamu mau berbalik. Bolehkah aku kembali menulis cerita bersamamu? Aku mungkin tak berharga: hanya debu pada kakimu. Tapi, maukah dirimu mempertimbangkan rasaku atasmu? Aku mencintaimu sangat!
Oktober berlalu begitu cepat. Tak tertahan. Melesat tanpa persetujuan siapapun, seperti anak panah yang dilepaskan dari pergumulan seorang prajurit: antara menembak atau ditembak duluan. Sepeninggalannya, November meraja. Rintikan hujannya yang khas memenuhi semesta, entah pagi, siang, sore ataupun malam. Aku, salah satu manusia yang mencari kesibukan ke sana ke mari, tidak bisa berbuat apa-apa.
Hanya menghabiskan waktu dengan menyulam kenangan akan kebersamaanku denganmu. Menuturkan ribuan doa dan harap memaksa Tuhan yang mempertemukan kita agar Ia membiarkan kita kembali bersua dalam cinta yang terus mekar. Menulis sekian banyak sajak, hingga alas tidurku pun dipenuhi lembaran puisi yang tak jadi tatkala kau tak membiarkan diri kurengkuh dalam huruf dan kata, yang kugemakan begitu saja pada langit-langit November yang angkuh. Aku yang semendung November terus mengharapkan cintamu. Kamu tahu aku sangat mencintaimu. Tanpa henti.
Tak ada kata menyerah. Hanya terus memperjuangkanmu. Mengais sisa-sisa perasaanmu yang mungkin ada untukku. Lalu bagaimana denganmu? Aku tak tahu apa yang kamu lakukan. Mungkin saja dirimu tengah melangitkan litani ratapan karena telah bertemu denganku: satu di antara manusia yang paling tak berarti ‘hanya debu pada kakimu.’ Atau mungkin kamu tengah menyiapkan sekian ribu cara agar tidak bertemu denganku yang lebih membuatmu malu. Atau sedang menciptakan jarak, membuatnya semakin lebar agar dirimu terbebas dari aku yang terlampau mencintaimu sehingga siang malam mengganggumu dengan surat-suratku.
Di hari ketiga November, setelah aku yang ingin bertemu denganmu tak kau gubris dan saat aku dibasahi gerimis pada malam yang turun tanpa sempat ku antisipasi, semesta-melalui suratmu-memberitahuku kalau dirimu tak punya rasa apa-apa atasku. Aku tak lebih di matamu. Malahan tak terdefenisikan. Aku sekali lagi hanya debu pada kakimu: tak pernah kau harapkan ada, membuatmu terganggu hingga ingin aku kau lenyapkan! Aku, bagimu, tak ubahnya adalah causa dari ketidaktenanganmu, sumber dari hilangnya sukacitamu, aku adalah aku yang tak memiliki makna apa-apa bagimu. Mengetahui semuanya membuatku runtuh. Semuanya terasa lenyap dan yang tersisa hanya kehilangan. Aku terluka tapi tak tahu harus bagaimana sebab rasa cintaku padamu lebih kuat daripada dalamnya luka. Entahlah. Intinya aku hanya diam. Menatap langit. Meneteskan air mata tanpa suara.
Meski semuanya usai bagimu, tidak bagiku. Ketiadaan rasa padamu bukanlah akhir. Aku masih percaya bahwa suatu saat kamu akan kembali merasakan apa yang pernah kita rasakan. Ada masih banyak ucapan semoga, bukan? Semoga begini-semoga begitu. Aku mengawali hari dengan datar. Tanpa ada kehidupan yang terpancar. Seperti robot, aku hanya digerakkan rutinitas. Tanpa kesadaran.
Di hari ketiga November, setelah aku yang ingin bertemu denganmu tak kau gubris dan saat aku dibasahi gerimis pada malam yang turun tanpa sempat ku antisipasi, semesta-melalui suratmu-memberitahuku kalau dirimu tak punya rasa apa-apa atasku. Aku tak lebih di matamu. Malahan tak terdefenisikan. Aku sekali lagi hanya debu pada kakimu: tak pernah kau harapkan ada, membuatmu terganggu hingga ingin aku kau lenyapkan! Aku, bagimu, tak ubahnya adalah causa dari ketidaktenanganmu, sumber dari hilangnya sukacitamu, aku adalah aku yang tak memiliki makna apa-apa bagimu. Mengetahui semuanya membuatku runtuh. Semuanya terasa lenyap dan yang tersisa hanya kehilangan. Aku terluka tapi tak tahu harus bagaimana sebab rasa cintaku padamu lebih kuat daripada dalamnya luka. Entahlah. Intinya aku hanya diam. Menatap langit. Meneteskan air mata tanpa suara.
Meski semuanya usai bagimu, tidak bagiku. Ketiadaan rasa padamu bukanlah akhir. Aku masih percaya bahwa suatu saat kamu akan kembali merasakan apa yang pernah kita rasakan. Ada masih banyak ucapan semoga, bukan? Semoga begini-semoga begitu. Aku mengawali hari dengan datar. Tanpa ada kehidupan yang terpancar. Seperti robot, aku hanya digerakkan rutinitas. Tanpa kesadaran.
Saat ini aku boleh dikatakan kehilangan eksistensi bila mendasarkan diri pada Descartes: cogito ergo sum! Ada tapi seolah-olah tidak ada. Aku tak bisa memikirkan apa-apa. Kalut. Teralienasi dari kenyataan. Semuanya! Aku juga tidak bisa memutuskan apa-apa. Dilema. Antara menyerah karena luka atau terus mencintaimu. Yang jelas, yang lebih besar adalah aku masih ingin bersamamu. Itu saja!
Aku tidak tahu bagaimana melanjutkan seri cerita kita kali ini. Monolog-monolog ini bukan lagi tentang cinta kita yang biasa kunarasikan atas persetujuanmu. Wajahnya berubah. Kini monolog-monolog ini lebih berarti aku yang mencintaimu sendirian. Aku yang berdoa sendirian. Aku yang berharap sendirian. Aku adalah aku yang berada dalam kesendirian!
Aku tidak tahu bagaimana melanjutkan seri cerita kita kali ini. Monolog-monolog ini bukan lagi tentang cinta kita yang biasa kunarasikan atas persetujuanmu. Wajahnya berubah. Kini monolog-monolog ini lebih berarti aku yang mencintaimu sendirian. Aku yang berdoa sendirian. Aku yang berharap sendirian. Aku adalah aku yang berada dalam kesendirian!
Harus bagaimana aku tidak tahu. Tidak tahu bukan berarti lupa jalan, tapi benar-benar tidak tahu. ‘Biarkan cinta menemukan jalannya sendiri’ demikian kata langit November. Aku tak setuju. Sebab siapa yang akan mengarahkan cinta itu? Tuhan? Apakah Dia benar-benar ada atau alpa saat aku mengalami semuanya? Kalau Dia ada, mengapa Dia mempertemukan lalu memisahkan? Apakah Dia cemburu?
Semuanya tampak selesai.
Kembalimu adalah kemustahilan.
Tapi, bila kamu masih ada rasa sedikit saja buatku,
Pulanglah: aku rumahmu, orang yang mencintaimu tanpa henti!
Bukankah ragi yang sedikit mampu mengkhamirkan seluruh adonan?
Bukankan tinta hitam pada selembar kertas putih lebih menarik perhatian ketimbang putih itu sendiri?
Kembalilah puan.
Aku mencintaimu: selalu, seterusnya, kapanpun!
Walau ‘hanya debu pada kakimu’ aku bersumpah:
atas nama alam semesta yang menempatkan kita dalam ruang dan waktu,
dalam nama t(T)uhan yang mempertemukan-memisahkan-mempertemukan kita kembali!
(Bacalah sambil mendengarkan lagu "Cinta Lama" dari Marcello Tahitoe sebab sewaktu menulisnya penulis mendengarkan lagu yang sama)
Semuanya tampak selesai.
Kembalimu adalah kemustahilan.
Tapi, bila kamu masih ada rasa sedikit saja buatku,
Pulanglah: aku rumahmu, orang yang mencintaimu tanpa henti!
Bukankah ragi yang sedikit mampu mengkhamirkan seluruh adonan?
Bukankan tinta hitam pada selembar kertas putih lebih menarik perhatian ketimbang putih itu sendiri?
Kembalilah puan.
Aku mencintaimu: selalu, seterusnya, kapanpun!
Walau ‘hanya debu pada kakimu’ aku bersumpah:
atas nama alam semesta yang menempatkan kita dalam ruang dan waktu,
dalam nama t(T)uhan yang mempertemukan-memisahkan-mempertemukan kita kembali!
(Bacalah sambil mendengarkan lagu "Cinta Lama" dari Marcello Tahitoe sebab sewaktu menulisnya penulis mendengarkan lagu yang sama)
No comments:
Post a Comment