Iklan

PENDIDIKAN ANAK DALAM BUDAYA LAMPEK LIMA MENURUT HERMAN DARIUS

Tuesday, 22 November 2022 | November 22, 2022 WIB Last Updated 2023-09-18T15:50:19Z

 

PENDIDIKAN ANAK DALAM BUDAYA LAMPEK LIMA MENURUT HERMAN DARIUS

Oleh: Eugen Sardono, S.Fil.,M.Fil


Herman Darius, warga asala Weleng, Lamba Leda Utara, Ayah dari Kepala Desa Nampar Tabang, mantan Kepala Sekolah SDK Weleng dan mantan Pengawas SD ini sangat antusias dalam menulis manuskrip.

Adalah suatu keagungan dan keistimewaan bagi saya ketika mendampat sebuah kepercayaan dari Bapak Herman Darius, seorang guru yang berjasa dalam kehidupan saya, termasuk orang Lamba Leda secara umum dan Weleng secara khusus. Bagi saya beliua adalah seorang guru, kalau dalam bahasa Kitab Suci, mengubah Roti jadi Anggur, dia mengubah orang yang tidak tahu apa-apa menjadi bisa membaca dan menulis. Beliau selalu dipercayakan mengajar kelas I Sekolah Dasar. Tidak diragukan lagi kepandaiannya, bukan?

Dia menulis budaya Lampek Lima sebagai sebuah rekapitulasi dan dokumentasi atas seluruh proses kehidupannya sebagai guru dan budayawan. Beliau mencoba mengubah sebuah kebiasaan orang Weleng dari budaya tutur dan verbal ke budaya tulis. Ini luar biasa, bukan main? Saya menjulukinya sebagai “Sokrates-nya” Lamba Leda. Socrates adalah seorang filsuf pertama yang mengubah citra filsafat. Dia mengubah filsafat ke dalam filsafat tulis dari filsafat lisan atau tutur.

Herman Darius mengalami sebuah perjalanan sunyi untuk mengumpulkan tulisan ini. “Culture and all of its products are the result of the process of human life”. Kebudayaan dan semua produknya adalah hasil dari proses kehidupan manusia. Selama berziarah, manusia menciptakan budaya. Sejarah perkembangan kebudayaan lokal di Indonesia secara umum dan Manggarai secara khusus berjalan seiring sejarah peradaban. Sejak terbentuknya negara bangsa (nation state) pada masa kemerdekaan terjadilah transformasi masyarakat Indonesia di berbagai bidang. Dalam bidang politik, bangsa Indonesia telah merdeka dan melepaskan diri dari kekuasaan politik kolonial. Dalam bidang ekonomi, Indonesia terlepas dari dominasi sistem ekonomi kolonial. Dalam bidang sosial tampak terjadinya proses integrasi sosial Indonesia, di mana struktur sosial masyarakat feodal dan masyarakat kolonal runtuh. perubahan-perubahan itu semua merupakan transformasi budaya dalam arti yang luas.






Di Manggarai, Flores, NTT, terdapat banyak kearifan lokal mempresentasikan realitas kehidupan masyarakat Manggarai. Salah satu kearifan lokal yang terkenal adalah Lampek Lima. Menurut Herman Darius, Sebutan budaya Manggarai kurang tepat, ia lebih menggunakan ungkapan, Budaya Nunca Lale atau Budaya Lampek Lima. Lonto léok merupakan salah satu kearifan lokal (local wisdom) guyup tutur yang dapat dijadikan rujukan andalan dalam menampilkan identitasnya pada masyarakat multietnik sekarang ini.

Studi Bapak Herman Darius bertujuan menjelejahai dari sebuah fenomena atau realitas sosial yang acap kali terjadi di Manggarai, yaitu kebersamaan dan sosialitas. Nunca Lale memiliki banyak muatan symbol. Symbol-simbol tersebut memiliki makna yang tercemin dalam pribadi, sosialitas, alam semesta dan Tuhan (Mori Kraeng). Ini bagi saya adalah sebuah upaya gemilang. Jarang sekali orang menulis semua pergulatan budaya.

Ingat!

Buku ini adalah sebuah kumpulan dari manuskrip yang ditulis tangan oleh Bapak Herman Darius. Ini sebuah pelajaran bagi generasi muda Manggarai agar bisa merekam jejak budaya leluhur. Begitu banyak budaya leluhur yang lentur dan tenggelam oleh jaman.

Sebagai seorang murid dari Sokrates-nya Lamba leda ini, saya sangat gembira menyambut buku dari sosok Pahlawan tanpa tanda jasa ini. Seorang sosok yang membuat saya bisa membaca dan berani berpikir sendiri. Tanpa beliau, saya hanyalah seorang bayi dalam pengetahuan. Sekarang, saya sudah dewasa secara pengetahuan berkat beliau. Ini sebuah kesempatan istimewa bagi saya.

Kumpulan tulisan ini merupakan sebuah kekayaan pengetahuan. Saya mengharapkan agar siapa saja yang memegang buku ini terutama generasi muda Manggarai agar membacanya secara berulang-ulang. Kalian akan menemukan banyak mutiara berharga jika anda menggali secara dalam buku ini.

Selamat membaca dan menemukan makna. Semoga buku ini menjadi sebuah pemantik bagi buku-buku yang lain. Jangan takut untuk memulai. Karena kegagalan terbesar dalam hidup ini takut untuk memulai.

Dalam buku tersebut, Herman Darius, mengulas “MORAL DALAM HUBUNGANNYA DENGAN KEHIDUPAN SOSIAL DAN ALAM.” Napas kebersamaan dalam membangun lingkungan di bidang pembangunan dan moral menjadi semangat kesatuan dan semangat gotong royong “Paang olo Ngaung Musi”. Sebab, ini adalah napas dan kekuatan nai ca anggit agu tuka ca leleng.

“Ca leleng do

Do leleng ca

Ca tuka ca tombo”


Tapi kadang dirontokkan oleh tiga dosa besar yang dijalankan manusia, yaitu bahwa ada pemerkosaan, ada kekerasan, da nada intoleransi.

Menurut pandangan Budaya Lampek Lima bahwa pemerkosaan itu adalah toko toe kopn dan kido toe niok; ndekok ali gomeng; anak toe lelo; ende toe lelo; weta toe lelo; ata toe lelo. Hook ndekok kaeng beo agu sala kaeng tana. Pande meti wae agu ragang tanah.

Maka ini menjadi pintu dan jembatan muncul amarah dewa dan Tuhan. Sehingga besar kemungkinan, sebagai pula akibat pelanggaran ini maka muncul dan bangkit pula “rondong de naga beo”. Tapi ini terkadang sulit untuk dipercayai oleh lembaga agama. Sebab ini dianggap kafi, berhala, sia-sia dan tahyul atau sesat. Sulit untuk masuk dalam nalar dan akal sehat orang pada lembaga agama, pendidikan dan lembaga kesehatan.

Walau kita tahu bersama bahwa segala tindakan kejahatan itu pasti ada upahnya “ali hook toko one gomeng agu ruap pande”. Bicara perihal kekerasan itu adalah suatu unsur pemaksaan yang tinggi sekali dan berujung pada rontoknya moral sebab ini tindakan ingat diri dan orang lain yang dirugikan, serta jadi korban.

Ada begitu banyak munculnya berita tentang kekerasan baik dalam rumah, di tempat kerja, pada lembaga adat kekerasan ini muncul dalam keluarga yang sering selingkuh baik yang dijalankan oleh sang istri maupun suami.

Kekerasan menurut pandangan dari masyarakat lampek lima artinya ndekok ali ruap pande baik terjadi pada istri, anak dan orang lain. Ali hook nuk weki kanang toe nu kata hae. Wina, rona, anak, asekae pang olo ngaung musi.

“Tombo ata kopn

Pau ata patun

Pinga lite sina

Senget lite le”


Sumber: Doa Ritus Adat

Bicara tentang toleransi itu bicara tentang tidak ingat diri, tetapi peduli juga pada orang lain. Tapi omong inteloleransi.
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • PENDIDIKAN ANAK DALAM BUDAYA LAMPEK LIMA MENURUT HERMAN DARIUS

No comments:

Post a Comment

Trending Now

Iklan