Oleh: Adryan Naja
Engkau harus menerima keadaan hidupmu walaupun itu bukan apa yang engkau inginkan. Engkau harus menjalani takdirmu meskipun itu menyakitkan. Engkau seharusnya tahu bahwa engkau adalah makhluk yang dikutuk untuk menerima apa yang tidak engkau harapkan. Di dunia ini engkau dipenjarakan pada kejadian yang membuatmu menderita untuk selamanya ketika engkau masih memilih untuk tetap bertahan. Hidup ini terkadang membuat engkau menyesal berkali-kali, sebab terkadang hidup ini hanya membuat engkau berpikir untuk tidak dilahirkan lagi ke dunia lainnya. Hidup ini terkadang membuat engkau memilih untuk kembali ke awal sebelum engkau ada atau lebih baik juga memilih tiada dari pada engkau mengawali keadaan yang baru. Sebab, di dunia ini engkau hanya membayangkan dirimu yang ditimpa oleh berbagai peristiwa. Hampir di setiap pengalaman hidupmu, engkau menatap wajahmu sendiri yang tertimpa oleh berbagai penyesalan yang engkau ciptakan sendiri atas peristiwa-peristiwa yang tidak engkau inginkan terjadi dalam waktu hidupmu.
*****
Inspirasiindo.com. Senja hampir hilang, sementara malam mulai menampakkan diri ke seluruh semesta. Orang-orang di kampung itu pun menyibukkan diri untuk kembali ke tempat kediaman mereka. Suara burung dan suara alam menyanyikan lagu kehilangan. Segala sesuatu ditelan waktu. Ruang-ruang hampa malam tak terbendung lagi. Segala sesuatu sepertinya lenyap di kegelapan malam. Bayangan-bayangan manusia tidak lagi terlihat jelas. Bulan dan bintang malam belum pun muncul di langit hitam. Hanyalah seorang wanita yang berdiri seorang diri di sudut rumahnya. Matanya menatap ke langit sambil menikmati gelapnya dunia. Entah apa yang dipikirkannya adalah perkaranya dalam diamnya di malam gelap itu. Wajahnya seakan memancarkan penyesalan yang tak berkesudahan. Dunia seoalah-olah tak memberikan jawaban dari setiap perenungannya. Ah, mungkin dia sedang menyesal. Entah apa yang disesalinya sekali lagi itu pergulatan hatinya.
Baca: Pendidikan Anak Dalam Budaya Lampek Lima MenurutHerman Darius
Malam gelap pun menyelimuti dunia. Sementara wanita itu diam dan hening dalam penyesalannya yang paling keji. Air matanya membasahi seluruh pipinya. Tangisannya mengusik jiwa-jiwa yang tertidur lelap di atas ranjang kelelahan. Tidak ada satu pun yang datang menemaninya. Orang-orang yang dipercayainya selama ini bagaikan angin yang berlalu, demikian pun orang yang dianggapnya istimewa pun hilang dan pergi entah kemana, sahabat sejati yang hampir setiap hari selalu bersamanya seakan roh yang pulang tanpa pamit. Yang ada hanyalah kegelapan dan keheningan malam yang siap sedia membawanya ke lembah penyesalan. Sementara roh-roh halus seakan bermesrahan dengan kegelapan malam itu. Wanita itu pun dirasuki oleh roh yang tidak tahu dari mana datangnya. Suara Roh yang menuntutnya untuk bunuh diri seakan memberi solusi yang baik dan mudah untuk menghilangkan semua perkara hidupnya.
Wanita itu terus menangis dan menyesal di kegelapan malam itu. Nafasnya terengah-engah dan detak jantungnya tak seirama dengan tiupan angin semilir yang datang kian kemari. Suara lolongan anjing pun mulai menyentak kesadarannya yang terlarut dalam perasaan kesal dan kecewa. Jam sudah menunjukkan pukul 12.00. Dia mulai ketakutan dan kedinginan. Lolongan anjing di tengah malam sepi itu pun semakin terdengar di seluruh kampungnya. Bulu kuduknya mulai berdiri satu per satu. Dia sangat takut, sebab keyakinan orang di kampungnya bahwa ketika anjing melolong di tengah malam itu menandakan ada makhluk halus yang sedang berkeliaran. Niatnya untuk bunuh diri pun mulai hilang. Dalam hatinya dia bergumam, “Tuhan mengapa aku dilahirkan dengan takdir yang sekejam ini? Namun, pertanyaannya itu hanya membuat dia kecewa, karena pertanyaan yang sering diajukan kepada Tuhannya tidak pernah mendapat jawaban yang pasti. Ah, aku ini makhluk yang terkutut untuk menerima kenyataan yang tidak pernah kuharapkan terjadi. Aku benci dengan cinta! Tiba-tiba dia memecahkan keheningan malam itu dengan pernyataan yang sedikit aneh. “Aku benci cinta, aku benci mencintai dan aku benci dicintai”. Teriakannya di dalam hatinya terdengar dikejauhan dan sungguh mengejutkan malekat-malekat yang sedang menjaga kawasan Surga di malam itu.
Wahai wanita engkau terkutuk untuk merasa bersalah atas kelahiranmu, dan kesadaranmu telah membunuhmu dengan penyesalan yang tak berujung. Hasrat dan nafsu bejat telah menyiksa dirimu sendiri secara sadis. Engkau tersiksa oleh perbuatanm. Engkau memberikan bukti cinta dengan tubuhmu. Bukankah tubuh tempat penjara derita? Namun, engkau sepertinya tidak terlahir dalam cinta, engkau sama seperti gerhana bulan yang ditakuti. Cinta telah menusukmu secara keji dan kejam. Engkau harus menaati setiap suara cinta yang engkau sendiri tidak mengerti. Itulah sebabnya engkau sering kali jatuh dalam kegelapan cinta yang tidak pernah membawamu pulang ke cahaya impianmu. Cinta itu luka. Cinta itu keji. Cinta itu menghancurkan. Semuanya itu akan ada saatnya terjadi padamu ketika engkau berada di keinginanmu sementara yang terjadi tidak melahirkan apa yang tidak engkau harapkan terjadi.
Cintanya hancur sekejap oleh laki-laki yang tidak bertanggung jawab. Halnya beberapa bulan yang lalu wanita malang itu dan lelaki yang dianggapnya sebagai pujaan hatinya melakukan hubungan suami istri. Hubungan yang belum pantas untuk dilakukan oleh mereka. Malam itu mereka berduaan dan bermesraan di kos. Berduaan di kos di tengah malam tentunya sudah menjadi hak bersama mereka berdua untuk melakukan hal yang tidak wajar. Mereka menyebut malam itu sebagai tragedi cinta. Tragedi dimana mereka jatuh ke dalam kisah asmara yang paling intim. Mereka pun terlarut dalam kegelapan malam itu. Tertidur pulas di atas ranjang kenikmatan. Akan tetapi, penyesalan yang tak kunjung habisnya dalam kehidupan wanita malang itu adalah ketika tragedi cinta itu menjadi tragedi duka. Sebab, kejatuhan dan kehancuran hidup sering terjadi karena nafsu di kegelapan malam. Gelapnya malam, gelapnya hati dan gelapnya pikiran untuk melihat secara jelas mana yang baik dan yang buruk dapat menghancurkan seluruh waktu bahagia dalam hidup.
Baca: Luka Di Bulan Juli (Cerpen Fr. Isidoras Sungardi)
Malam itu pun wanita itu kembali duduk di tempat tidurnya sambil membayangkan apa yang terjadi di malam gelap waktu itu. Sisa akibat malam gelap waktu itu membuat dirinya harus memikul beban dan salib berat seumur hidup. Laki-laki yang telah menghamilnya pergi dan hilang entah ke mana. Sementara wanita malang itu harus menanggung malu dan beban yang tak berkesudahan. “Ah, inilah nasibku menjadi seorang wanita. Aku pasrah dengan keadaan ini. Biarlah aku sendiri yang menanggungnya. Pinta wanita malang itu di tengah malam suntuk itu.
Berhati-hatilah wahai wanita. Banyak laki-laki yang menyukaimu hanya karena badanmu yang seksi dan parasmu yang elok. Tidak ada yang lebih dari itu dari mencintaimu dalam sesaat dia ada bersamamu. Engkau tahu, bahwa ada saatnya ketika kata-kata adalah pengkhinatan yang paling sadis. Dan engkau akan mati, mati dalam penyesalanmu sendiri. Sebab, dia akan pergi setelah tubuhmu ditindih berkali-kali. Engkau akan tersiksa, engkau akan malu, dan engkau akan menyesal oleh perasaan bersalahmu sendiri, namun itu tidak berarti bagi kepergiannya. Cinta terkadang berubah rupa, yang menuntutmu untuk memahaminya bukan dengan hati tapi dengan akal. Hati mudah jatuh dalam perasaan, tapi jika akalmu tetap hidup, engkau akan hidup seperti bulan yang berani terang di kegelapan malam. Cinta terkadang menjelmakan diri dalam berbagai nafsu dan keinginan. Hanya orang yang alergi dengannya akan lolos dari kerasukan dayanya.
Hari demi hari wanita malang itu melewati waktu hidupnya dengan penuh penyesalan. Tapi, penyesalan tidak akan membuat dia terlepas dari duka dan derita yang sudah bersatu dengan dirinya. Dia sering kali berusaha agar duka dan deritanya itu berubah menjadi kesenangan. Dia pun selalu mencoba melepaskan duka dan derita itu dari dirinya dengan menghabiskan waktunya untuk bersenang-senang dan bermain-main dengan teman-temannya. Tetapi, semakin dia berusaha untuk melepaskannya, dia semakin terluka dan derita itu pun semakin abadi dalam setiap momen hidupnya. Dia mencoba melupakannya, tapi sesungguhnya cara untuk melupakannya hanyalah membuat dia mengingat terus tentang peristiwa waktu itu.
Memang disuatu waktu dia pernah melaporkan kekasihnya ke kantor polisi setempat. Namun, apalah daya polisi lebih suka suapan dari pada uluran minta bantuan. Dia pun mencoba meminta bantuan ke pihak keluarganya untuk mengurusi masalah yang dihadapinya, tapi keluarganya tidak lagi menerimanya. Keluarganya sudah tidak lagi menganggapnya sebagai anak dan keluarga mereka. Sebab bagi keluarganya, dia adalah wanita yang telah membuat malu dan beban dan wanita itu harus menanggung sendiri perbuatannya itu. Dia pun ditolak oleh keluarganya, bahkan kenalan dekatnya tidak lagi bermesrahan dengan dia. Wanita malang itu menjadi semakin terasing dari kehidupannnya dan dari dirinya sendiri. Dia membenci dirinya sendiri dan melukai dirinya sendiri dengan cubitan dan cambukan dari tangannya sendiri. Dia pun mencoba pasrah diri kepada kehendak dan kebaikan Tuhan agar Tuhan bisa menemani dan membebaskan dia dari perasaan bersalah dan penyesalan yang panjang, tapi harapannya kepada Tuhan bagaikan keinginannya yang tidak akan pernah terjadi. Kesedihan wanita itu tidak terbendung lagi. Kedukaannya tidak lagi diatasi oleh dirinya.
Ah, dunia ini terlalu kejam untuk diriku. Aku mencambuk diriku dengan perbuatanku sendiri. Aku tersiksa oleh tindakan-tindakan kusendiri. Sesungguhnya apa yang kubuat akan menjadi hakim untuk diriku sendiri. Tidak ada orang lain yang bisa mengatasi kesalahanku selain pertobatanku untuk selamanya. Semua orang membenciku karena satu kesalahanku. Satu kesalahan akan melenyapkan seribu kebaikanku kepada mereka. Satu kegagalan kecilku akan memunculkan seribu cacian dan ujaran kebencian. Semua orang mengasingkan diriku karena aku gagal untuk membuat mereka nyaman. Biarlah aku mati dalam pilihanku untuk selamanya tidak ada bersama mereka. Inilah pilihan terakhir yang tidak berdusta bagi jiwaku yang sedang ketakutan terhadap hari-hari hidupku yng dipenuhi dengan beban dan duka. (Narasi terakhir wanita malang itu sebelum kepulangannya berhasil membebaskan jiwanya yang sedang takut )
Wanita itu pun berhasil membunuh dirinya dengan menggantongkan dirinya di kamarnya. Baginya, pilihan untuk bunuh diri adalah pilihan yang baik untuk membebaskan dirinya dari ketakutan dan penyesalan yang tak berkesudahan. Wanita malang itu pun mati membusuk dalam kamarnya. Tidak ada satu pun teman-teman dan tetangga kamarnya yang datang untuk mencarinya. Hampir satu minggu wanita itu terentang dan membusuk dalam kamarnya. Keluarganya datang ketika tetangganya memberitahukan hal itu. Dan di samping mayat wanita malang itu, dituliskannya, “jangan membawaku pulang ke keluargaku, biarlah kematianku tidak menghancurkan kebahagiaan mereka. Sebab, mereka melahirkanku untuk berjalan sendiri untuk selamanya, dan aku tak mengenal mereka lagi di dunia akhirat.” Tulisan wanita malang itu akhirnya menyadarkan mereka (keluarganya) akan pentingnya peran keluarga terhadap anak-anak. Mereka (keluarga wanita malang itu) menangis dan menyesal atas kepergian wanita malang itu. Tapi, semuanya sia-sia untuk disesali dari belakang.
Akhirnya tamatlah riwayat hidup wanita malang itu. Semuanya berakhir dengan kematian tragis. Semua kisahnya bermula dari kegelapan. Dari kegelapan, wanita malang itu kembali ke dalam kegelapan yang paling gelap di dunia ini. Itulah kisah wanita dalam kegelapan itu.
No comments:
Post a Comment