![]() |
Sumber Gambar: Internet (semaymedia.com) |
Tak ada yang
lebih bijak dari menunggu,
terus menantimu
dengan segudang harapan,
pun beberapa
kenangan,
yang menguatkan
kaki untuk terus berdiri,
dan hati untuk
beriktiar dan bernazar tentangmu.
Terkadang terasa
aneh.
tapi mengkhianati
diri dan mencari yang lain,
lalu menjadikan
mereka sebagai dirimu,
adalah yang paling bodoh.
Bagiku, adalah
paling masuk akal menantimu terus!
Sampai kapan,
tak penting.
Skema sesuatu
setelah yang lain: waktu,
dan sesuatu di
samping yang lain: ruang,
bisa diciptakan
berulang seturut kemauan siapapun,
yang fana pada
akhirnya ruang pun waktu,
sedang cintaku padamu adalah satu-satunya yang kekal!
Telah lama jemari ini menghindari papan berisi deretan huruf dan ruang imaji tentang dirimu yang tiada pernah terlupa. Terkakhir saat aku menulis surat pengakuan padamu bahwa seperti pendosa yang merindukan pengampunan, aku adalah pencinta yang membutuhkan kehadiranmu. Tetapi akankah dirimu kembali? Tak ada kepastian? Tak mengapa! Tidak ada yang pasti dalam ruang bernama bumi ini.
Hidup yang
diciptakan Yang Tertinggi juga tidak pernah menjanjikan kepastian. Satu-satunya
yang pasti adalah kematian, yang bagi sebagian orang menakutkan, tapi bagiku
biasa saja sebab ke sanalah semua kita terarah. Yang paling aku takutkan adalah
aku tak dapat berbuat apa-apa yang baik sebelum kematian itu tiba: semenit yang akan datang, esok saat
matahari terbit, atau mungkin 100 tahun lagi. satu di antara kebaikan yang
hendak kulakukan adalah menjadikanmu kekasih yang nanti selalu ada di setiap
pagiku.
Dini
hari, saat aku melirik kalender yang
angka 29-nya kulingkari sebagai pengingat pertemuan kita yang pertama kali,
aku menyadari bahwa tahun ini akan segera berlalu. Aku memaksa diri untuk
kembali menulis tentangmu. Tak ada maksud apa-apa selain berharap bahwa kamu
membacanya dan membuka kembali hatimu untukku. Tak menjadi soal bila dirimu mengabaikannya
seperti angin. Yang terpenting aku telah bersaksi kepada semesta tentang
cintaku yang tiada pernah pudar: langit
dan bumi akan berlalu, cintaku tidak! Cinta ini lebih besar dari kisah
asmara para dewa Yunani yang tersohor itu. Sebab aku mencintaimu sebagai anak
manusia. Sebagai seseorang yang hanya punya dua kaki, dua tangan, dan tidak
punya kekuatan luar biasa. Aku adalah makhluk sederhana yang mendapat keberuntungan
sehingga bisa berada di kota yang sama denganmu ini. Ya, sejujurnya, aku adalah
debu yang kebetulan ditiup angin dan mendarat tepat tak seberapa jaraknya
darimu.
Kali ini aku ingin bercerita tentang suatu malam saat kita memandang ribuan cahaya. Malam itu, selepas hujan yang datang begitu saja di bulan yang tak seharusnya, atas inisiatif rindu yang bergelora kita menelusuri jalanan, menuju kota sebelah. Bersua denganmu tidak pernah sia-sia. Aku selalu dan untuk ke sekian kalinya jatuh cinta kepadamu. Pada tawamu, kesabaranmu dalam mendengarkan cerita-ceritaku, ketulusanmu untuk membagikan cerita-cerita masa lalumu, tawamu tiap kali menggodaku, merah pipimu ketika kusentuh, dan hangatnya jari-jemari yang saling menggenggam. Tak ada yang melebihimu. Dalam dirimu aku benar-benar menemukan defenisi asali cinta. Ia bukanlah soal seberapa elok fisik seseorang tapi seberapa dalamnya memahami dan menerima seseorang apa adanya. Cinta itu sesederhana itu. Hanya saja selama ini para manusia memaksakan defenisi yang dibuat-buatnya. Cinta mereka letakan sebagai relasi untung rugi seperti penjual dan pembeli.
Ya, payah memang. Kapitalisme cinta.
Tak sanggup aku bayangkan kalau dulu Tuhan yang menciptakan manusia memakai
prinsip yang sama: apa untungnya
menciptakan manusia yang hanya pandai berbuat dosa dan kemudian datang memohon
pengampunan, lalu berdosa lagi?. Ah. Aku tak bisa menuliskan apa-apa lagi.
Semuanya terasa buntu. Jari-jari ini tak sehilai dulu. Biarkan aku menuliskan
ulang cerita tentang perjumpaan yang pernah kugoreskan lima bulan yang lalu
itu. Semoga engkau sedikit tergerak untuk kembali!
***
"Malam itu kamu bersandar lembut pada dadaku.
Bagai semburat senja yang memanjakan mata para manusia, elok parasmu memikatku.
Aku tak mampu bertutur banyak hal. Serentak lidahku keluh kala menatap indah
matamu. Hanya tanganku yang merangkulmu erat adalah isyarat bahwa aku
mencintaimu sebegitu hebatnya. Seerat aku menyentuh bahumu, sekuat itulah aku
tak ingin berada jauh dari sisimu. Aku bahagia bersamamu."
April telah berlalu begitu cepat. Tapi, sisa-sisa basah hujannya masih menghantui awal Mei yang adalah awal musim semi. Mei menginisiasi semaraknya bunga-bunga dan hijau pepohonan dan menjadikan dunia seindah surga bak lukisan insan yang percaya Sang Ada. Meskipun menaruh hati pada Mei sebagai tanda dimulainya 'kehidupan' di negeri-negeri bermusim empat aku sama sekali tak mau melukiskannya lebih jauh.
Apa peduliku padanya? Ketimbang lebih jauh melukiskan hawa Mei yang mencetuskan firdaus, aku lebih baik menceritakan hatiku yang tengah berada pada kepenuhan cinta yang luar biasa. Aku menamainya sebagai kepenuhan sebab penemuan akannya membuatku tak lagi menyangsikan kisah-kisah romantis mereka yang dimabuk cinta. Aku sendirinya mengalaminya! Tapi, kendati orang bilang bahwa ketika berada dalam gelora asmara dan manisnya cinta seseorang akan menggunakan hatinya sebanyak 60% sementara logikanya hanya 40%, aku lebih menjadikan keduanya terbalik. Sebab. saat aku jatuh cinta aku masih menggunakan logika 100% dan hatiku juga 100%: yang satu tidak meniadakan yang lain.
Persetan dengan tanggapan semesta,
yang pasti aku mencintai dengan kesadaran akal yang prima dan kedalaman hati
yang tak terjangkau. Kali ini, izinkan aku--melalui huruf-huruf bernyawa
cinta ini--bertutur tentang kisah cinta dua insan yang melampaui catatan
romantis siapapun. Aihhh....Laila, gadis dengan banyak nama, pasti tersenyum
puas dengan pujian mahaindah ini!
Di antara gerimis dan basah embun, di malam kelima Mei nan aduhai, Aku, Yudas--pria pembenci senja, penyuka hujan, dan jauh dari kata romantis,-- mengajak Laila menelusuri jalanan kota tetangga yang dipenuhi warna-warni cahaya lampu. Dalam perjalanan menuju kota yang disinggahi banyak peziarah pencari malam nan cemerlang bersama sang kekasih, aku menggenggam erat jemari Laila. Tanggannya memeluk lembut tubuhku yang tak sekekar siapapun. Aku hanya anak manusia, bukan titisan dewa bagai dikisahkan mitologi-mitologi di zaman terdahulu. Seperti biasa, ketika tubuh dan jemari masing-masing dialiri kehangatan tak terlukiskan, aku dan Laila menyanyikan lagu-lagu yang kebetulan sama-sama kita paham lirik dan syairnya. Lagu- lagu yang entah kenapa selalu terdengar tatkala kita menghabiskan waktu berdua. Dan lagu yang setiap kali seolah-olah berbicara tentang kisah cinta kami yang bagiku tak dapat binasa walau bintak berhenti bersinar pada malam.
Di antara
irama lagu yang tak teratur, aku dan Laila terlibat dalam perdebatan kecil yang
hanya akan berakhir ketika yang satu memeluk yang lain, atau tatkala aku membisikkan
kata-kata mesra padanya: aku mencintaimu, aku sayang kamu, aku milikumu,
kamu punyaku saja, dan seterusnya, tanpa koma, titik atau seru: hanya titik
koma pertanda semua kata-kata itu tidak akan pernah usai atau terkhianati
olehku.
Kota tetangga memiliki banyak
tawaran menakjubkan dan menentramkan. Aku dan Laila memilih untuk duduk begitu
saja di tanah lapang yang ditumbuhi rumput-rumput kecil berhiaskan embun malam.
Tempat ini pilihannya. Ia memang pandai mencari tempat yang membuat kami merasa
bebas untuk berbincang-bincang atau sekadar menatap cahaya lampu kota dari
kejauhan. Laila adalah gadis romantis, sementara aku adalah pria yang hanya
tahu merayu dalam barisan puisi. Aku dan Laila duduk bersisian. Layaknya
sepasang kekasih, tangan kami berpelukan, jemari kami saling menggenggam, dan
kepalanya bersandar lembut padaku.
Malam itu, kami tidak berbicara banyak hal. Hanya hati yang saling bertaut dan lidah yang keluh tak tahu harus bagaimana menyatakan berjuta rasa yang tertanam dalam dada masing-masing. Waktu makin cepat berputar, langit makin sunyi, dan cahaya kembang api tampak dikejauhan sana. Aku menikmati semuanya dalam diam, apalagi Laila. Dia memerhatikan cahaya lampu yang menakjubkan di Barat sana sembari menatapku diam-diam: dia tersipu malu nampaknya! Memecah kesunyian aku beranikan diri untuk berkata-kata lembut padanya.
"Laila, aku sungguh mencintaimu. Aku tak sedikit pun mau bila harus mennjauh darimu. Bagiku kamu adalah sosok yang kembali memulihkan hati yang telah sekian lama hancur karena luka. Kamu tak ubahnya adalah gadis yang membuatku kembali bergairah menjalani hari-hari. Aku akan selalu setia berada di sampingmu, bahkan jika kamu memutuskan untuk pergi. Aku sungguh sangat menyayangimu."
Laila hanya diam. Ia sudah lama mengetahui semuanya. Ia malahan yakin bahwa aku tak akan mungkin memisahkan diri darinya. Ya, suatu keyakinan yang tak dapat kusangkal. Sebab, setiap kali ia menghilang sebentar saja atau agak lama mengetikkan pesan singkat, aku selalu berusaha mendapatkan maaf darinya.
Ya, seseorang yang
dicintai perlu dijaga bukan? Dan aku telah mengukir dalam diriku sendiri: aku
tak akan mengkhianati dirinya, komitmenku adalah berada di sampingnya setiap
kali aku bangun pagi--yang ini aku tak akan pernah bosan mengatakannya!
Suasana makin mengenakan untuk menikmati waktu sendiri bersama yang dicintai tatkala bulan makin damai menyinari jiwa yang dimabuk asmara. Laila, bercerita banyak hal yang membuatku semakin tak ingin menyia-yiakannya.
Dari ceritanya, aku baru tahu bahwa sewaktu
kecil namanya begitu banyak karena parasnya yang menggemaskan; ia juga pernah
menipu ibu saat sandalnya putus gegara bersepeda; alis matanya bisa diangkat
sebelah karena diajar kakaknya; dan tentang dirinya yang pandai merayu bapaknya
meski kadang ia menangis digurau bapaknya! Aih, semuanya malahan membuatku
semakin dalam mencintainya!
Pertemuan malam itu
berakhir ketika mata Laila mulai tak kuasa menahan kantuk. Aku yang
mencintainya pun tak kuasa memaksa. Aku takut ia sakit. Ah, Laila, terima kasih
sudah membuat semuanya kembali bermakna, terutama mengenai cinta yang selama
ini telah lama kutinggalkan sebab luka yang tiada terpahami.
"Seperti
malam yang selalu memberi ruang pada pagi yang menjanjikan terang, aku selalu
menyediakan ruang kosong untuk kau tempati dalam hatiku. Aku yakin kamulah yang
pantas mendiaminya, sebab hadirmu membuatku bahagia berlipat ganda!"
No comments:
Post a Comment