Oleh : Afri Ampur
InspirasiINDO.Com-Malam semakin gelap semakin sunyi. Paduan jangkrik yang ada di samping kamarku mewarnai malam ini. Gemericik air dari aquarium yang ada di pojok kamar meneduhkan malam-ku.
Aku membaca sekali lagi pesan yang dikirim oleh perempuan yang ku-nikahi dua tahun lalu. “sayang, tuan puteri sudah tidur, dia langsung tidur setelah mandi” demikian isi pesan dari istriku. Iya, kami memanggil puteri kecil kami tuan puteri.
Beberapa bulan terakhir, aku selalu menanti pesan singkat dari istriku. Ada energi positif yang masuk setelah menerima pesan dari-nya.
Semangatku membara setelah melihat foto puteri-ku. Istriku selalu mengingatkan aku supaya jangan mengingat malaikat kecil kami tengah malam. Katanya, dia selalu bangun tengah malam. Iya, aku mempunyai ritual baru yakni melihat fotonya sebelum tidur.
Aku menatap kalender yang ada di dinding. Hari terakhir di bulan Februari. Aku memamerkan senyum terbaik-ku kepada Februari. “Februari, permusuhan kita telah usai, aku mengakui 14 Februari sebagai hari kasih sayang dan Februari sebagai bulan penuh cinta” kataku dalam hati. Oh iya, sejak dua tahun lalu, aku bermusuhan dengan bulan Februari. Aku juga tidak mengakui tanggal 14 Februari sebagai hari kasih sayang.
Banyak kejadian yang menyakitkan terjadi pada bulan Februari. Pada tanggal 14 Februari, aku menanggalkan jubah putih kebanggaanku karena sebuah kesalahan fatal yang aku lakukan. Inilah awal permusuhan-ku dengan bulan Februari. Memori-ku menampilkan slide-slide Februari beberapa tahun silam.
Baca: KiatMenulis Karya Ilmiah Populer
Banyak orang memamerkan kekasih mereka di media sosial. Kaum hawa sibuk memamerkan hadiah pemberian kaum Adam ditambah caption yang lebay. Iya, seolah-olah dunia milik berdua, pak Jokowi hanya ngontrak hehehehehe. Sedangkan aku sibuk memikirkan hari esok dan esok-nya lagi.
Aku tidak bisa memprediksi esok makan apa. Bahkan aku mulai bertanya, apakah hari esok aku bisa makan? Aku juga memikirkan cara agar dompetku diisi oleh pundi-pundi rupiah. Iya, berbanding terbalik dengan di penjara suci ini. Bisa memprediksi menu makanan selama seminggu bahkan sebulan ke depan, karena semuanya sudah terjadwal.
Sebelum meninggalkan kamar, aku memandang jubah yang ada di gantungan. Aku sulit melukiskan perasaanku saat melihat jubah itu.
Teman angkatan-ku mengantar barang-barangku ke kos Transisi yang ada di seberang jalan. Aku juga menunggu respon keluarga setelah mendengar kabar bahwa aku keluar dari penjara suci ini. Otak-ku bekerja ekstra memikirkan hari esok dan esoknya lagi. Aku seperti ikan teri yang lepas di laut lepas. Aku harus siap-sedia menghadap ombak kehidupan yang tidak bisa diprediksi.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan. Sang waktu terus berjalan tanpa mempedulikan keadaan dompet anak kos yang belum siap membayar tagihan bulanan. Sang waktu juga mengantar aku berjumpa dengan seorang perempuan.
Kehadiran perempuan tomboi itu dalam hidupku memutuskan permusuhan-ku dengan Februari. Iya, gadis tomboi yang rambutnya sebahu itu menjadi pemeran utama dalam khayalan-ku tentang masa depan. Gor badminton mempertemukan aku dengannya. Dia membawa Februari versi terbaik kepadaku. Dia hadir dalam hidupku pada bulan Februari. Dia juga menyelesaikan perkuliahan-nya pada bulan Februari.
Semenjak kehadiran perempuan itu dalam hidupku, banyak peristiwa menarik yang terjadi dalam bulan Februari. Februari semakin indah ketika putri kecilku lahir pada bulan Februari. Aku seperti orang gila menanti kehadiran-nya.
Rahim istriku lebih nyaman bagi-nya dari pada dunia yang diwarnai oleh tipu-tipu. Berita tentang drama dari pejabat negeri ini sampai ke telinga anakku yang ada di dalam rahim. Tidak heran kalau dia tidak mau keluar dari rahim ibunya meskipun menggunakan obat perangsang. Dia takut dengan negeri yang penuh sandiwara.
Agama kerap kali ditunggangi untuk kepentingan politik. Perhelatan piala dunia U-20 batal dilaksanakan di negeri ini karena ada oknum menolak kedatangan Timnas Israel. Oknum-oknum itu menganggap diri sebagai panitia masuk surga.
Mereka keliru menafsirkan pernyataan Bung Karno puluhan tahun yang lalu. Aku menutup telinga dan mata putri-ku ketika berita kelucuan negeri ini mewarnai layar kaca setiap hari. Aku takut putri-ku masuk lagi ke perut ibunya yang sangat nyaman.
Aku menikmati segala sesuatu yang dilakukan oleh putri-ku. Aku menikmati nangis-nya. Suara tangisan-nya merupakan suara terindah yang pernah kudengar. Aku menikmati tatapan sinis-nya kepada dunia yang penuh sandiwara. Aku akan mengisi hal-hal positif dalam lembaran putri kecil-ku. Aku akan meyakinkan-nya bahwa di dunia ini masih ada makhluk yang baik bernama ayah dan ibu.
“Ite bersyukur punya istri seperti aku? tanya istriku sambil memamerkan senyum terbaik-nya. “jawabannya ada di Kitab Filemon 1:4” jawabku sambil ketawa.
Dia membuka Alkitab yang ada di pojok rohani lalu membacanya dengan keras, “ Aku mengucap syukur kepada Allahku, setiap kali aku mengingat engkau dalam doaku”. “idihhhh, mentang-mentang eks frater gombal pake ayat Kitab Suci” katanya sambil senyum.
Baca: Silence Night diBeranda Kapela Santa Maria Parakan
Oh iya kemarin aku telepon dengan ibunya. aku bilang di ibunya kalau anak perempuannya tambah manis. Ibunya yang ramah itu menanggapi pujian-ku terhadap anak sulungnya dengan ketawa. Aku memanggil ibunya dengan mama dan ayahnya dengan papa.
Aku sangat mencintai adik-adiknya. Aku mencintai apa yang dicintainya terutama keluarganya. Saking cintanya aku pada adik-adiknya, aku menulis nama adik laki-lakinya pada baju bola-ku. Iya, karena adiknya suka sepak bola.
NB: Cerpen ini dibuat di Kedai Transisi, disaksikan oleh kopi-nya para Filsuf dan gorengan-nya para Teolog. Banyak inspirasi yang muncul kalau duduk di kedai ini heheheheheheh.
No comments:
Post a Comment