Oleh: Efrem Danggur
1. Pengantar
Hati nurani memiliki peranan penting dalam mempertimbangkan sebuah aktivitas dan pengambilan sebuah keputusan. Menghargai keputusan hati nurani berarti mengakui kebenaran yang didasari pertimbangan moral. Namun perlu diakui keakuratan dan ketepatan sebuah keputusan diambil berdasarkan pertimbangan hati nurani dapat saja keliru karena kemampuan hati nurani dalam menilai sesuatu sangat bergantung pada kemampuan manusia mengasah hati nuraninya. Karena itu hati nurani bisa saja keliru yaitu ketika tidak dibiasakan dengan kebenaran-kebenaran sejati.
Paper ini hendak mengurai mengenai peranan hati nurani prospektif dalam memperimbangkan sebuah aktivitas yang hendak dikerjakan. Uraian paper ini dibagi dalam enam bagian. Pertama, Fenomena bom bunuh diri sebagai wujud otonomi atas tubuh; kedua, Memaknai kehadiran orang lain; ketiga, Hati nurani sebagai acuan penilaian moral; keempat, Hati nurani prospektif sebagai pertimbangan dan tanggung jawab moral; kelima, Kesimpulan.
2. Fenomena Bom Bunuh Diri Sebagai Wujud Otonomi atas Tubuh
Di Indonesia ada beragam persoalan yang dihadapi masyarakat. Di antara rentetan persoalan tersebut, salah satu diantaranya ialah persoalan terkait masalah kemanuaian. Salah satu contoh persoalan kemanusiaan yakni aksi bom bunuh diri di gereja Katedral Makasar 28/03/2021.[1]
Sebagaimana dilansir dalam media massa (online) aksi pelaku bom bunuh diri mengakibatkan 20 umat paroki Katedral Makasar terluka dan dua pelaku meninggal di tempat kejadian[2]. Fenomena semacam itu memberi indikasi bahwa masih ada kelompok-kelompok atau orang-orang yang cenderung menyalahgunakan makna otoritas diri.
Setiap orang tentu memiiki kebebasan bertindak, kebebasan berbicara, kebebasan untuk berekspresi. Namun kebebasan yang tidak diimbangi dengan pertimbagan moral yakni melibatkan hati nurani niscaya tatanan kesejahteraan dalam hidup bermasyarakat akan menjadi kacau.
Aksi bom bunuh diri yang terjadi di gereja katedral Makasar menuai banyak komentar. Perjuangan kemanusiaan dari kelompok HAM yakni memperjuangkan hidup manusia seolah ditentang oleh para teroris. Menanggapi peristiwa itu Presiden RI Joko Widodo mengutuk aksi terorisme. “Saya mengutuk keras aksi teroris tersebut dan saya sudah memerintahkan Kapolri untuk mengusut tuntas jaringan-jaringan pelaku dan membongkar jaringan itu sampai ke akar-akarnya”[3].
Apa pun dalilnya aksi para terorisme merupakan tindakan pelanggaran hak hidup orang lain. Dari sendirinya sikap para teroris itu tidak bermoral. Baik dan buruknya tindakan tidaklah berbasis pada legitimasi sebuah kelompok kecil. Perlu mempertimbangkan segala aspek serta niai etika yang berlaku universal.
3. Memaknai Kehadiran Orang Lain
Perlu diakui cara pandang dan pemaknaan bagi kehadiran sesama dalam sebuah masyarakat itu beragam. Ada yang memandang sesama sebagai rekan hidup, karenanya keharmonisan relasi perlu dijaga. Namun ada juga yang melihat sesama sebagai musuh karenanya harus dilenyapkan, dimusnahkan. Jean Paul Sartre misalnya memaknai sesama dengan kacamata negatif. Sartre mengklaim sesama sebagai neraka.
Menurut Sartre neraka itu tidak jauh, tidak titemukan setelah kematian melainkan hadir saat ini. Sebab neraka sesunggunya adalah sesamamu: sesamamu menjadikan dirimu objek pemikirannya, sesama yang menginginkan kehancuranmu[4]. Neraka tidak perlu dimengerti sebagai kenyataan nanti, tetapi merupakan kenyataan sekarang. Neraka itu ada di sini saat ini yakni sesama. Sesama adalah dia yang membuat kita jengkel, membuat kita menderita, membuat kecewa. Dalam kenyataan yang demikian, Sartre lalu menyimpulkan sesama tiada lain adalah neraka.
Tentu saja pemaknaan akan sesama sebagaimana dikatakan Sartre adalah naif. Sarte memiliki pandangan yang negatif terhadap sesama. Konsekuesi dari logika Sartrenian yang demikian yakni apabila sesama sebagai neraka maka saya adalah surga yakni pikiran dan semua yang kukehendak sendiri. Surga adalah dirinya sendiri. Surga ada ketika dirinya dan dunianya tidak diusik.[5] Karenanya letak keniscayaan surga hanya ada di dalam eksistensi manusia.
Berbeda dengan Sartre, Emanuel Levinas (1912) seorang filsuf keturunan Yahudi memaknai sesama sebagai yang lain, yang asing, dan yang bukan aku[6]. Sesama tiada lain adalah orang-orang kecil, mereka yang terpinggirkan, mereka yang hak-hak hidupnya tidak diakui.
Karena itu sesama sebagai yang lain menuntut sebuah kesadaran yakni tanggung jawab. Artinya dihadapan penderitaan orang lain, kesusahan orang lain saya mesti tergerak untuk membantu. Ketergerakan untuk membantu merupakan cetusan dari tanggung jawab terhadap sesama. Levinas juga mengajarkan prinsip etis terhadap kehadiran manusia yang lain.
Manusia dari kehadirannya serentak sebagai subjek.[7] Karena manusia merupakan subjek maka tidak ada alasan untuk dijadikannya sebagai objek. Sebagai subjek manusia memiliki kesetaraan keluhuran martabat dengan manusia yang lain. Manusia sebagai subjek harus dihargai tanpa harus memandang golongan, etnis, atau kedudukan sosial. Sikap menghormati sesama berlandaskan pada kesadaran bahwa manusia yang lain memiliki keluhuran (martabat) kemanusiaan.
Dalam bingkai kehadiran orang lain tersemat juga sebuah relasi. Kehadiran orang lain atau sesama mengandaikan relasi. Tanpa kedekatan melalui relasi, keakraban persahabatan mustahil. Manusia tidak bisa hidup tanpa menjalin relasi dengan yang lain. Manusia sejatinya merupakan makhluk relasional. Armada Riyanto memahami konsep relasionalitas sebagai kodrat manusia.
Kodrat manusia bukan hanya rasional seperti yang banyak diurai, melainkan juga relasional. Kemanusiaan bukan hanya berada dalam ranah rasionalitas, tetapi juga relasionalitas. Relasionalitas dalam pandangan saya berarti natura (kodrat) kemanusiaan kita.[8]
Relasionalitas sebagai kodrat manusia menjadi jelas dalam pengalaman hidup manusia sehari-hari. Manusia betapapun kaya dan makmur hidupnya pasti membutuhkan orang lain entah sekedar untuk berbagi, sebagai sahabat, rekan kerja, dst. Manusia yang eksklusif tanpa menjalin relasi dengan orang lain cederung terjebak dalam egologi-pemuliaan diri.[9] Egologi-atau pemuliaan diri merupakan penghambat jalinan relasi antara sesama manusia yang satu dengan yang lain.
4. Hati Nurani Sebagai Acuan Penilaian Moral
Dalam konteks hidup sehari-hari terminologi hati nurani sering dimengerti sebagai suara hati atau suara batin. Hati nurani dapat juga dimengerti sebagai sebuah kesadaran. Kesadaran yang dimaksud adalah kemampuan manusia untuk mengenal diri, kesanggupan untuk membuat refleksi tentang diri.
Orang mengikuti suara hati berarti ia mengambil sikap atau melakukan sesuatu karena itu disadrinya sebagai baik, baik bukan baginya sendiri, melainkan baik pada dirinya sendiri, baik bahkan kalau ia sendiri rugi atau direpotkan olehnya.[10] Misalnya manusia tidak boleh membunuh manusia yang lain, bukan karena takut dipenjara atau dihukum, melainkan karena membunuh itu tindakan tidak manusiawi, melanggar hak hidup orang lain. Pelaku bom bunuh diri sebagaimana diuraikan sebelumnya merupakan tindakan tidak manusiawi dari sudut pandang moral (hati nurani).
4.1.Peran Hati Nurani
Hati nurani menjalankan peranannya apabila ia harus menilai aspek moral suatu pedoman perilaku konkret yang hendak diikuti dan menilai kewajiban moral dalam suatu situasi konkret.[11] Hati nurani memiliki otoritas praktis memberikan penilaian moral. Dikatakan demikian karena penilaian moral yang diputuskan berdasarkan kenyataan riil, bukan asumsi dan hasil abstraksi semata.
Hati nurani memiliki wewenang untuk mendorong segala tindakan yang memiliki tujuan yang benar pada dirinya sendiri dan mencegah aneka perbuatan atau tindakan yang dapat mendatangkan keburukan bagi pelaku dan juga orang lain. Dapat dikatakan bahwa hati nurani mempunyai peran ganda.
Pertama penilaian tentang aspek moral sebuah tindakan konkret yang telah dan hendak dijalankan pribadi.[12] Penilaian semacam ini bisa saja keliru bergantung pada pemahaman seseorang tentang suatu aktifitas. Aksi bom bunuh diri bagi kelompok tetentu, kelompok terorisme misalnya dianggap sebagai tindakan baik. Meski sesungguhnya itu keliru, naif.
Kedua, terkait dengan perintah atau kewajiban untuk melaksanakan sesuatu yang sudah dikenal sebagai baik, dan menolak melakukan sesuatu yang dikenal buruk atau sesuatu yang harus dielakkan.[13] Penilaian semacam ini dikategorikan sebagai niscaya atau wajib untuk dilaksanakan.
Penilaian-penilaian moral yang dicetuskan oleh hati nurani tidak datang begitu saja dari sendirinya, melainkan disertai oleh kesadaran akan tujuan personal dan panggilan individu dalam melayani maksud Allah dan rencana penciptaan.[14] Disadari penilaian norma moral amat ditentukan juga oleh kesadaran manusia sendiri akan makna dan tujuan sebuah tindakan.
Dalam konteks iman kristiani penilaian-penilaian moral hati nurani berbasis pada keselarasan maksud Allah dan nilai-nilai iman yang dianut. Artinya penilaian hati nurani tidak mungkin bertentangan dengan ajaran iman kristiani. Keluhuran nilai-nilai iman memiiki peranan dalam membentuk hati nurani untuk menjadi semakin lebih baik.
4.2.Kerangka Kerja Hati Nurani
Dalam tindakan manusia Hati nurani memiiki kerangka kerja ganda yakni hati nurani mengikuti (consequent, retrospektif) dan hati nurani mendahului (antecendent, prospektif).[15] Apa yang bisa dikatakan tentang hati nurani yang bekerja mengikuti (consequent, hati nurani retrospektif) dan mendahului (antecendent, hati nurani prospektif) dalam sebuah tindakan?
Pertama, hati nurani dikatakan mengikuti atau retrospektif apabila sebuah tindakan sudah dijalankan dan hati nurani menilai perbuatan yang telah dilakukan atau telah dielakkan. Pada tahap ini seseorang bertindak dan pada gilirannya aktivitas tersebut dievaluasi, dinilai berdasarkan hati nurani. Hati nurani jenis ini disebut retrospektif karena memberikan penilaian untuk perbuatan yang sudah dilakukan.
Hati nurani yang demikian seakan-akan menoleh ke belakang, membuat retrospeksi atas sebuah pekerjaan yang sudah selesai. Akibat dari penilaian semacam itu bisa positif dan negatif bergantung pada muatan kebenaran dari sebuah tindakan. Dampak positif, mendatangkan kegembiraan, sukacita terutama apabila tindakan dinilai benar. Dampak negatif mengakibatkan kecemasan, kekecewaan, penyesalan yakni apabila tindakan dinilai buruk atau berdampak buruk bagi pelaku dan orang lain.
Kedua, hati nurani disebut mengikuti (consequent, prospektif). Hati nurani jenis ini berfungsi dalam situasi yang mendahului sebuah tindakan. Hati nurani prospektif dikatakan mendahului karena dalam memberikan penilaian tentang aspek moral suatu tindakan dan tentang kewajiban untuk melaksanakannya atau mengelaknya sudah dijatuhkan sebelum tindakan itu dilakukan atau dielakkan.[16]
Cetusan dari hati nurani prospektif ialah melakukan sebuah tindakan tidak gegabah melainkan berdasarkan pertimbangan moral. Sehingga pada akhirnya seseorang memutuskan untuk melakukan atau justru menolaknya. Dapat dikatakan bahwa hati nurani prospektif lebih melihat ke masa depan, mengevaluasi sebuah aktivitas sebelum dilakukan. Pembedaan antara hati nurani yang bekerja sebelum dan sesudah tindakan sebagaimana sudah diuraikan tidak berarti ada dua instansi yang berbeda dalam hati nurani. Sebab dalam kenyataan hanya ada satu hati nurani yang bekerja sebelum dan sesudah sebuah tindakan dilakukan.
5. Hati Nurani Prospektif Sebagai Pertimbangan dan Tanggung Jawab Moral
Pada penjelasan sebelumnya sudah dijelaskan mengenai dua kerangka kerja hati nurani. Akan tetapi umumnya dikenal hanya sebutan hati nurani tanpa embel-embel retrospektif dan prospektif. Namun kerangka ini baik untuk disimak bahwa memang ada pertimbangan hati nurani sebelum tindakan dilakukan dan ada penilaian moral setelah sebuah aktivitas dijalankan. Dalam pandangan umum, Hati nurani sering juga disebut sebagai perasaan hati yang sedalam-dalamnya atau lubuk hati yang terdalam karena di dlam hati bersemayam cinta, kejujuran, ketulusan, dan kepedulian yang mendalam terhadap sesama.[17] Dalam konteks pertimbangan sebelum menjalankan sebuah tindakan, hati nurani sebagai acuan yang memutuskan tentang kebenaran dan kesalahan suatu actus humanus atau tindakan manusia dalam situasi konkret.
Karena itu dengan hati nurani manusia bisa menjadi hakim untuk dirinya sendiri, memberikan keputusan apakah sebuah tindakan dilakukan atau tidak. Letak otonomi peran hati nurani adalah pada diri manusia sendiri. Karena itu ukuran penilaian berada pada diri manusia sendiri. Logikannya apabila keputusan hati nurani itu bersifat subjektif maka tidak bisa dicampuri oleh orang lain. Pada tahap ini diakui keputusan hati nurani punya kelemahan. Hati nurani bisa salah terutama apabila melakukan tindakan-tindakan yang salah dan keliru.[18]
Mengatasi kecederungan melakukan tindakan yang tidak bermoral perlu menyadari peranan dan keterlibatan hati nurani prospektif. Artinya mempertimbangkan secara matang dengan memperhatikan segala konsekuensi setelah sebuah tindakan dilakukan. Kebenaran sebuah aksi tidak tinggal dalam perasaan sendiri, mengikuti kemauan pribadi, tetapi mempertimbangkan kesejahteraan dan keselamatan orang lain juga. Dengan demikian tindakan atau aksi terorisme dengan melakukan bom bunuh diri merupakan cetusan kekejaman manusia terhadap sesamanya, sebuah aksi kriminal yang secara gamblang melanggar moral. Apapun dalil atau alasannya, tindakan terorisme dari dirinya sendiri adalah naif. Semua manusia sejatinya memiliki hak dan martabat yang sama. Setiap orang ingin hidup berdamai, ingin dihargai sebagai manusia yang bermartabat dan berelasi dengan siapa saja tanpa terbatas pada suku, etnis/kelompok tertentu. Maka manusia perlu mengakui, menerima kehadiran orang lain dalam societas-ruang lingkup masyarakat.
6. Kesimpulan
Tindakan terorisme (dengan melakukan aksi bom bunuh diri) apapun alasannya merupakan tindakan naif dan buruk dari dirinya sendiri. Manusia memiliki hak dan martabat yang sama yakni ingin hidup damai, hidup sejahtera, bisa menjalin relasi yang harmonis dengan siapa saja. Salah satu keunggulan manusia dari ciptaan yang lain terletak pada jalinan relasi. Hidup dalam societas-masyarakat karenanya mengandaikan adanya relasi. Sehingga tindakan yang mendatangkan keburukan bagi diri sendiri dan orang lain dari sendirinya naif. Dengan demikian dalam menjalankan sebuah tindakan perlu melibatkan hati nurani prospektif. Hati nurani prospektif berperan mempertibangkan, menilai sebuah aktivitas sebelum aktivitas itu dikerjakan. Sehingga dengan menyadari bahwa sebuah aksi berindikasi akan mendatangkan keburukan bagi pelaku maupun orang lain dapat dihindari.
Daftar Pustaka
Armanjaya, Alex, Florisan M. Yosef, Kirchberger, G. (penerj), ETIKA KRISTIANI Jilid I Pendasaran Teologi Moral. Maumere: Ledalero, 2003.
Kleden, Paul Budi. Aku Yang Solider, Aku Dalam Hidup Berkaul, Sebuah Refleksi Tentang Aku Yang Berkaul dari Perspektif Mistik dan Politik. Maumere: Ledalero, 2002.
Kurniawan, F.X., Situmorang Markus, Setiawan Virgenius Charles (ed). Kamu Adalah Sahabat, Seri Filsafat Teologi Widya Sasana, Vol. 30 NO. SERI 29 2020.
Phang, Benny. Andai Kautahu KARUNIA ALLAH, Peran Roh Kudus dalam Moralitas Kristiani. Malang: Karmelindo.
Riyanto, Armada. Relasionalitas, Filsafat Fondasi Interpretasi: Aku, Teks, Liyan, Fenomen. Yogyakarta: Kanisius, 2018.
Riyanto, Armada, Christi Marcelinus Ari, Widodo Paulus Panjung (Ed), Aku & Liyan Kata Filsafat dan Sayap. Malang: Widya Sasana Publication, 2011.
Surbakti, E.B. Manajemen dan Kepemimpinan Hati Nurani. Jakarta: Gramedia, 2012.
Suseno, Franz Magnis, Iman dan Hati Nurani Berhadapan dengan yang Ilahi: Sebuah Esai. Dalam Andre Ata Ujan, Febiana R. Kainama, T. Sintak Gunawan (ed) MORALITAS LENTERA PERADABAN DUNIA. Yogyakarta: Kanisius,2011.
[1] Kasus yang diangkat dalam artikel ini dikutip dari, https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210328111452-20-622989/kronologi-bom-bunuh-diri-di-gereja-katedral-makassar. Diakses 11 Mei 2021 pkl 09:00 a.m.
[2] https://www.kompas.com/tren/read/2021/03/29/100000165/bom-gereja-katedral-makassar-kronologi-kejadian-keterangan-polisi-dan-sikap?page=all. Diakses pada 11 Mei 2021 pkl 09: 20 a.m.
[3] Peryataan Presiden Joko widodo dikutip dari halaman web kompas. Ibid.,
[4] Bdk. Paul Budi kleden, Aku Yang Solider, Aku Dalam Hidup Berkaul, Sebuah Refleksi Tentang Aku Yang Berkaul dari Perspektif Mistik dan Politik. (Maumere: Ledalero, 2002)55.
[5] Bdk. Armada riyanto, Marcelinus Ari Christi, Paulus Panjung Widodo (Ed), Aku & Liyan Kata Filsafat dan Sayap. (Malang: Widya Sasana Publication, 2011) 45.
[6] Paul Budi kleden, Op. Cit., 55-56.
[7] Armada Riyanto, Marcelinus Ari Christi, Paulus Panjung Widodo (Ed), Op.Cit., 54.
[8] Armada Riyanto, Relasionalitas, Filsafat Fondasi Interpretasi: Aku, Teks, Liyan, Fenomen. (Yogyakarta: Kanisius, 2018), i.
[9] Pius pandor, Menyoal Persahabatan sebagai Problem Relasionalitas: Sebuah Konstruksi atas Konsep Alteritas Emanuel Levinas dan Pluralitas Hannah Arendt. Dalam F.X. Kurniawan, Markus Situmorang, Charles Virgenius Setiawan (ed), Kamu Adalah Sahabat, (Seri Filsafat Teologi Widya Sasana, Vol. 30 NO. SERI 29 2020) 91.
[10] Franz Magnis Suseno, Iman dan Hati Nurani Berhadapan dengan yang Ilahi: Sebuah Esai. Dalam Andre Ata Ujan, Febiana R. Kainama, T. Sintak Gunawan (ed) MORALITAS LENTERA PERADABAN DUNIA (Yogyakarta: Kanisius,2011) 190-191.
[11] Alex Armanjaya, Yosef M. Florisan, G. Kirchberger (penerj). ETIKA KRISTIANI Jilid I Pendasaran Teologi Moral (Maumere: Ledalero, 2003). 198.
[12] Ibid., 199.
[13] Ibid.,
[14] Ibi.,
[15] Ibid.,
[16] Ibid.,
[17] E.B. Surbakti, Manajemen dan Kepemimpinan Hati Nurani. (Jakarta: Gramedia, 2012) 1.
[18] Benny Phang, Andai Kautahu KARUNIA ALLAH, Peran Roh Kudus dalam Moralitas Kristiani. (Malang: Karmelindo)119.
No comments:
Post a Comment