Oleh: Efremtus Danggur
(Penulis adalah Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Teologi WS Malang-Asal Manggarai NTT)
Abstrak
Pertumbuhan dan perkembangan panggilan hidup selibat dalam Gereja Katolik masih aktual hingga sekarang. Pambaharuan cara hidup demi aktualitas pada setiap masa terus diupayakan. Panggilan hidup religius sebagai biarawan/biarawati di dalam Gereja sudah berlangsung sejak lama. Aneka persoalan dalam mengemban tugas juga sudah ada sejak dahulu. Pada umumnya persoalan bersifat internal dan ekternal. Internal berkaitan dengan persoalan dalam komunitas. Eksternal berkaitan dengan situasi sosial Gereja secara umum. Situasi sosial dan Gereja di Indonesia saat ini menunjukkan keprihatinan bersama. Aneka persoalan menggerogoti nurani bangsa dengan munculnya radikalisme agama, terorisme, ketimpangan sosial, pandemi covid-19, dst. Beragam situasi tersebut membutuhkan penanganan efektif dan berkualitas yakni orang-orang yang punya integritas, daya pembangunan, solidaritas dan visi perdamaian. Paper ini hendak mengurai panggilan dan perutusan kaum hidup bakti dengan bercermin dari hidup Santo Filipus Benizi dengan menggunakan metode historis kritis. Dari studi ini saya menemukan sikap hidup Filipus Benisi patut untuk diteladani kaum terpanggil saat ini.
Kata Kunci: Panggilan hidup selibat, Perdamaian, Kekudusan, Pelayanan.
1. Pendahuluan
Kata panggilan tidak asing bagi kuping umat kristiani. Panggilan dipahamni sebagaianugerah Allah bagi mereka yang dianugerahi rahmat panggilan khusus (biarawan,biarawati, rohaniwan). Seseorang dipanggil untuk suatu tujuan atau misi pewartaan kerajaan Allah di tengah dunia. Dalam mengemban tugas perutusan tidak jarang seorang utusan mengalami keraguan, ketakutan, kecemasan lebih-lebih ketika diketahui tempat misinya adalah daerah rawan konflik atau tempat-tempat terpencil. Orang lalu merasa meragukan dirinya dalam menjalankan misi tersebut. Tentu disadari bahwa keraguan itu dialami semua orang. Akan tetapi adalah keliru ketika keraguan, kekhawatiran menjadi alasan untuk menjadi alasan menolak tawaran pelaksanaan mewartakan kebenaran Allah bagi dunia. Manusia kerap kali meragukan segala sesuatu yang ada di semesta ini. Dalam dunia filsafat ragu ragu adalah salah satu tema yang amat penting. Karenanya ragu-ragu merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari.[1]
Dunia saat ini sedang memasuki era baru. Era yang sering sebut sebagai era digital. Dimana kemajuan teknologi komunikasi dan internet merambat hingga ke pelosok-pelosok negeri. Hampir semua orang merasakan dan mengalami dampak kemajuan tersebut. Bukan sesuatu yang aneh saat ini ketika melihat anak yang masih mengenyam Sekolah Dasar sudah bisa mengoperasi gadget, computer (bahkan sudah mulai eksis di media sosial seperti facebook). Persoalan muncul dalam beraneka rupa, bisa dalam rupa kemajuan teknologi, dalam rupa situasi yang menantang, dan seterusnya.
SantoFilipus Benizi adalah orang kudus dari Ordo Hamba-hamba Maria OSM. Sejarahpanggilan dan perutusannya menunjukkan segala kemungkinan, keraguan yang hanya dapatdiatasi dalam rahmat dan pertolohan Tuhan. Tuhan yang memanggil, Tuhan pulalah yang memampukan dalam karya dan perutusan, itulah yang membuat Filipus Benizi tetap optimis dalam menjalankan tugasnya. Motivasi awal masuk biara adalah ingin menjadi bruder OSM. Tapi keinginannya untuk menjadi seorang biarawan berawal ketika ia merasa tersapa oleh Tuhan saat dia mengikuti perayaan Ekaristi di gereja paroki tempat pelayanan para pastor OSM. Dalam Ordo Filipus adalah orang memiliki pengaruh dan bukan hanya untuk Ordo tetapi juga untuk Gereja umumnya. Ia memiliki kepribadian yang rendah hati dan menaruh keppedulian terhadap orang- orang miskin dan menyuarakan perdamaian.
Dalam tulisan ini saya akan mengurai mengenai tugas perutusan dalam konteks panggilan dengan belajar dari salah seorang santo dari OSM, yakni Filipus Benizi. Tulisan ini digarap dengan menggunakan metode historis kritis atas sepakterjang panggilan dan perutusan Santo Filipus Benizi, serta relevansinya bagi kaum hidup bakti di Indonesia saat ini.
2. Panggilan dan Karya Filipus Benizi
2.1. Riwayat hidup
Sebelum melihat lebih jauh mengenai karya dalam tugas perutusan Filipus, terlebi dahulu mengetahui riwayak hidupnya. Filipus benizi lahir di Florense pada awal abad ke-13 tahun 1233, hampir bersamaan dengan berdirinya Ordo hamba-hamba Maria. Ia masuk Ordo Hamba-hamba Maria sebagai bruder, namun berkat doktrinya ia pun ditahbiskan menjadi imam. Pada tahun 1627 ia dipilih menjadi prior jendral dan tetap mengemban tugas ini hingga akhir hayatnya. Ia memimpin ordo dengan kebijaksanaan yang luar biasa, menguatkannya dengan aturan-aturan yang bijak, mampu mempertahankan kelangsungan hidupnya dengan penuh keuletan dan ia dikenal dengan kekudusannya. Ia menerima sejumlah besar saudara yang juga memiliki komitmen serius dalam hidup membiara: bagi para biarawan yang hidup pada masanya, Filipus adalah guru dan model hidup yang seturut injili dan pelayanan kepada bunda Maria. Oleh karena itu ia dianggap sebagai “Bapa Ordo”. Ia meninggal pada tahun 1285 di Todi, tempat kerangkanya masih dihormati sampai hari ini. Filipis Benisi dikanonisasi oleh Paus Klemens X pada tahun 1671.
2.2. Sejarah Panggilan Filipus Benizi
Pada tahun 1254 Filipus pergi ke Biara Santa Maria Cafaggio,[2] dan memohonkan untuk ikut bergabung dalam Ordo kepada prior Biara. Prior biara pada waktu itu ialah salah seorang dari ketujuh Bapa Pendiri OSM yakni Bonfilio. Bonfilio menerima Filipus dengan sukacita. Filipus lalu menerima jubah biarawan OSM dan memeluk perisai kerendahan hati dan ketaatan luar biasa, yang dipakainya untuk mengalahkan godaan si jahat. Allah berkenan mengarahkan pandangan kepadanya dan memperlihatkan kebijaksanaan sebagai biarawan, dan hidupnya seutuhnya untuk Ordo. Sekali peristiwa demi ketaatan, ia diutus untuk pergi ke Siena dengan seorang saudara yang bernama Frater Viktor. Di tengah perjalanan, mereka berjumpa dengan duaorang biarawan dari Ordo Pengkotbah, yang berasal dari Jerman. Kedua biarawan dari Ordo Pengkotbah itu merasa takjub tatkala melihat kedua biarawan OSM tesebut terutama pada jubahnya yang tidak mereka kenal. Karena itu mereka berbincang-bincang dengan Filipus seraya menanyakan perihal jubah yang mereka kenakan. Filipus kemudian menjawabi pertanyaan mereka, katanya: jika anda sekalian ingin mengetahui segala sesuatu tentang kelahiran kami, kami lahir dikota ini (florense); jika Anda bertanya mengenai kondisi kami, kami adalah para hamba Perawan Mulia, jubah kami melambangkan kejandaannya; kami hidup mengikuti corak dan cara hidup Para Rasul kudus dan berusaha menghayatinya menurut Regula Santo Agustinus. Sambil berbincang-bincang mereka lalu membicarakan hal-hal yang sulit Filipus mengutarakan argumentasi-argumentasi yang meyakinkan, sambil mengedepankan peran iman sebagai yang utama. Setelah itu mereka kemudian berpisah dan melanjutkan perjalanannya masing-masing.
Selanjutnya rekan perjalanan Filipus mengajukan pertanyaan kepada Filipus: saudara, mengapa ketika di dalam Ordo saudara tidak mengatakan apa pun tentang pengetahuan yang saudara miliki, padahal hari ini saudara telah berdiskusi dengan para biarawan itu mengenai banyak hal dari yang sederhana sampai pada hal-hal yang sulit? Sesungguhnya hari ini terang kebijahsanaan Sang Ilahi telah terbit di antara kita. Lalu Filipus berlutut dan memohon kepadanya agar tidak memberitahukan peristiwa itu kepada siapa pun. Akan tetapi ketika keduanya tiba di Florense, rekan seperjalaan Filipus langsung memberitahukan kepada para biarawan lainnya tentang situasi yang telah mereka alami terutama mengenai kemampuan, kecerdasan Filipus dalam Tanya jawab dengan biarawan dari Ordo Pengkotbah yang mereka jumpai di jalan. Setelah mendengar kabar itu semua biarawan bersukacita. Para biarawan lalu memutuskan untuk memilih Filipus sebagai calon imam dan dalam formasinya sebagai imam, semuannya berjalan lancar hingga ia kemudian ditahbiskan menjadi Imam dalam Ordo Hamba-hamba Maria.
2.3. Situasi Gereja di Kota Florense Abad XIII
Sebelum melihat lebih jauh mengenai kiprah perjalanan hidup dan karya- karya Santo Filipus Benisi baiklah melihat konteks politik, sosial, ekonomi dan religius di kota Florense sepanjang pertengahan pertama abad XIII. Sejarah Florense sejak tahun 1200 sampai 1250 menunjukkan bahwa kota itu mengalami kelipatan penduduk urban. Terhitung dari 40. 000 jiwa berlipat mencapai 80.000 jiwa. Demikian wilayahnya diperluas. Florense memiliki matanya sendiri: mula-mula mata uang perak, kemudian mata uang emas 24 karat, tak lama berselang menjadi mata uang komersial internasional pada masa itu.[3] Dikemudian hari florense menjadi salah satu kota diabad pertengahan dan Renaisans yang paling megah di Italia. Kota ini merupakan tempat di mana penyair besar yakni Alighieri tinggal.[4]
Situasi Gereja dan kota Firense diabad XIII berada dalam kekacauan akibat konflik. Perang saudara Siena melawan Pisa, berbagai ekskomunikasi yang diakukan para paus terhadap kaisar dan orang-orang terpandang dan punya indikasi sebagai provokator di Florense, peperangan melawan para bidaah, dan seterusnya. Namun semua fenomena itu tidak menghalangi kemajuan kota Florense, yang disebut juga kota bunga,[5] terutama karena pesatnya kemajuan mereka dalam bidang perdagangan.
Berbagai korporasi Negara ditemukan. Tingkatannya beraneka ragam: mulai dari yang paling besar, lalu sedang dan yang kecil. Di antara yang paling besar, misalnya: korporasi untuk para pengacara, para notaris, para banker, para penukar uang, para pedagang kain sutra, para perawat, para ahli dan para pedagang barang. Ada juga korporasi tingkat menegah, seperti: para pedagang barang bekas, juru kunci tukang besi, tukang sepatu dan pembuat topi wanita. Sedangkan yang termasuk dalam korporasi kecil meliputi: para pedagang anggur, pengusaha jasa penginapan, pedagang minyak, garam dan keju, penyamak kulit, penempa belati dan senjata, penempa tembaga dan berbagai jenis besi, pedagang kayu dan tukang roti. Persaingan antara korporasi-korporasi ini menyebabkan ketergantungan untuk mengembangkan monopoli tertentu, dan tak ada istilah saling berbagi antara satu korporasi dengan korporasi lain. korporasi-korporasi yang terkemuka biasanya lebih mendukung partai Guelfe terutama para banker dan para pedagang wol.
Pada pertengahan abad XIII, Florense merupakan kota besar dan ramai. Namun, perselisihan antara kaisar Frederikus II (Partai Gibelin) dan para Paus (partai Guelfe) tidak menghambat kemajuan kota ini. Pada umumnya golongan masyarakat yang terbilang pintar dan bijak sering mendukung kepausan, namun tetap menjaga hubungan baik dengan kaisar. Akan tetapi, bila mereka berhadapan dengan sebuah pelayanan (wajib mendukung kaisar), mereka tetap menjaga jarak demi kehormatan Florense.
Patut juga untuk diperhitungkan menganai hal positif di Florense, kita tidak memperhitungkan hal-hal baik di Florense, kita tak akan pernah memahami bagaimana atau apa sebab kemunculan gerakan hidup dari para biarawan yang berjumlah besar dan yangterus berlipat ganda pada masa itu.[6] Kemiskinan juga disebut-sebut juga sebagai kenagan bersama yakni” menangis bersama Kristus yang tersalib.” Tentu saja baik itu gerakan kaum bidaah yang sering dihukum dan diekskomunikasi oleh otoritas Gereja Katolik maupun gerakan para biarawan yang setia pada ajaran Gereja merupakan bagian dari sejarah bersama dan pada akhirnya muncul suatu kemauan untuk bertobat dalam hidup kemiskinan.
2.4. Hidup Dalam Kerendahan Hati dan Kekudusan
Filipus benisi dikenal dengan karakter kerendahan hati dan hidup dalam kekudusan. Di tengah hingar-bingar kota Firense, ia mengambil jalan hidup yang berdeda dari kebanyakan orang pada jamannya, melalui hidup dalam doa, keheningan, askese.
Sejak masih muda ia tekun menjalani studi kedokteran dan teologi. Kecintaannya kepada ilmu pengetahuan tidak mengurangi intensitas hidup spiritual. Bahkan ia sendiri tekun membaca buku- buku rohani, membaca serta merenungkan Kitab Suci. Karena tertarik dengan ajaran iman yang termuat dalam Injil, ia lalu menghayati nilai-nilai Injili, hidup bermatiraga, membantu orang miskin, setia kepada hidup doa, dan terutama pada pendarasan ofisi harian Santa Perawan Maria.[7]
Suatu kali, pada hari kamis paskah ia datang ke Gereja Hamba- hamba Maria di Florenze, untuk merenungkan sebuah kalimat dalam bacaan Kitab Suci pada misa hari itu, yakni: lalu kata Roh kepada Filipus, “ Pergilah ke situ dan dekatilah kereta itu! (bdk. Kisah Para Rasul 8: 29)”. Filipus Benisi lalu mengangap kata-kata itu ditujukan kepada dirinya. Ungkapan itu dipahaminya sebagai seruan Tuhan bahwa hendaklah ia ikut bergabung dalam “kereta” perawan Mulia Sang Bunda dalam OSM. Itulah kisah awal perjalanan panggilan orang kudus ini untuk membaktikan hidupnya menjadi palayan Tuhan. Hidup kekudusan terus dipupukinya, terus dirawat dengan carahidup, dengan doa yang tekun.
Sikap rendh hati dan kekudusannya membuat anggota komunitas mengaguminya. Tidak berlebihan apabila dia disejajarkan dengan para perintis pertama Ordo oleh karena sikapnya.
Nel frattempo, del primo gruppo dei Sette si perdono le tracce: forse qualcuno è già morto, altri vivono ancora a lungo, come fra Alessio, ma in disparte, nella penombra. Sul piano interno, l'Ordine codifica la propria legislazione, dando vita alle Constitutiones antiquae, a partire dall'anno 1280, nelle quali un posto di rilievo è riservato ai rapporti dei frati con la Vergine: il capitolo de reverentiis beatae Mariae virginis diventa il primo capitolo della legislazione servitana. Alle Constitutiones antiquae vanno ad aggiungersi, a partire dal 1295, le Constitutiones novae, costituite dai decreti emanati dai capitoli generali. Questi ultimi si celebrano annualmente, mentre i priori generali rimangono in carica vita natural durante. Oltre ai Sette, gli uomini più illustri del periodo delle origini, sia per santità, come furono: il beato Filippo (†1285), il beato Giacomo da Città della Pieve (†1304), il beato Gioacchino da Siena (†1305). Da ultimo, i priori generali, oltre al già nominato fra Filippo Benizi, fino al 1304 furono cinque e cioè: fra Figliolo da Firenze (1249-1256?), fra Bonagiunta da Firenze (1256-1257), fra Giacomo da Siena (1257-1265?), fra Manetto da Firenze (1265-1267), fra Lo- taringo da Firenze (1285-1300/5).[8]
Pada tahun 1266 Masehi, para biarawan berkumpul untuk mengadakan kapitel di kota Florense, Italia. Frater Manetus dari Florense yang pada waktu itu menjabat sebagai Prior Jendral Ordo. Kapitel ini dimaksudkan untuk memilih penggati Frater Manetus untuk menjabat sebagai Prior Jendral. Maka dengan diilhami oleh Roh Kudus, para biarawan peserta kapitel memilih Filipus dengan suara bulat, kendati pada waktu itu Filipus sedang berada di Biara Cesena. Sebagai seorang yang rendah hati Filipus awalnya menolak hasil keputusan kapitel itu, namun karena penghayatannya pada kaul ketaatan ia kemudian patuh pada kepercayaan dari para saudaranya.
Filipus Benizi lalu mengemban tugas pelayanan sebagai Prior Jendral selama 19 tahun. Dalam setiap kapitel tahunan ia memohon agar para saudara menurunkannya dari jabatannya tersebut sambil berkata bahwa ia tidak cocok mengemban tugas semacam itu. namun karena para biaran mempertimbangkan kerendahan dan kekudusannya mereka tidak ingin agar Filipus berhentu dari jabatannya sebagai pemimpin. Segala upaya dia lakukan terutama membujuk para Frater untuk dimintai persetujuan atas pengunduran dirinya, maka suatu kali ketika sedang berada di Roma dengan beberapa rekan untuk berbicara tentang kepentingan Ordo, Filipus sempat mengutarakan niatnya untuk pengunduran dirinya kepada Kepausan (pada masa itu prior Jendral disahkan oleh otoritas kepausan).
Il seme gettato da Filippo per salvare l'Ordine dalla condanna a morte decretata dal Concilio Lionese II, fruttificò sotto il suo successore Lotaringo da Firenze. Ed infatti, ad un solo anno dalla morte di Filippo, cominciò una nuova serie di «pareri» favorevoli degli avvocati della curia romana, che contribuiranno a sbloccare definitivamente la situazione, portando l'Ordine in zona di sicu- rezza ed avviandolo ormai, senza ulteriori seri intralci, verso la sua definitiva approvazione da parte della s. Sede. Questa lunga e laboriosa controversia aveva avuto certamente un suo prezzo. Come si è detto, l'«atto di povertà» del 1251 era stato incorporato nella bolla che papa Alessandro IV aveva desti- nato all'Ordine nel 1256. Ebbene, nei riconoscimenti ottenuti dal- la s. Sede nel periodo compreso tra il 1274 ed il 1304 non si fa mai menzione di quell'atto di povertà.[9]
Fray Lotaringo dari Florenze, seorang biarawan OSM yang bijak mengetahui maksud Filipus untuk mengundurkan diri dari jabatannya. Lotaringo lalu bergegas menjumpai Filipus untuk mengklarifikasi pergulatan batinya. Pada kesempatan perjumpaan itu, Filipus mengutarakan mengenai pergulatan batinnya itu kepada Frater Lotaringo dan memohon bantuan Lotaringo untuk mewujudkan keinginannya itu. Mendengar itu, Lotaringo merasa sedih dan bingung harus bagaimana, solusi seperti apa. Lotaringo mendesak Filipus agar mengurungkan niatnya itu, karena hal itu justru akan mendatangkan kesedihan bagi Ordo mengingat kemajuan Filipus selama menjabat sebagai Prior Jendral. Akhirnya Frater Lotaringo menyatakan bahwa ia tidak akan pernah menemani Frater Filipus menghadap Sri Paus untuk tujuan ini. Dengan demikian niat Filipus untuk mundur dari jabatannya dihalangi.
Pada suatu hari Abdi Allah, Filipus mengadakan visitasi Ordo (kunjungan). Dengan semangat persaudaraan yang tinggi ia mengadakan visitasi ke biara-biara dan menempuh perjalanan yang tidak nyaman ketika itu. suatu kali setelah berdoa dengan sungguh-sungguh kepada Maria, Bunda para hamba secara ajaib ia mendapatkan roti untuk menuatkan para biarawan Arezzo yang menderita kelaparan karena kehancuran yang mereka alami akibat perang. Ketika sedang lewat di dekat pemukiman Gagliano, ia berjumpa dengan seorang penderita kusta yang berbaring di pinggir jalan dan mengemis. Filipus Benizi memberikan jubahnya, dan ketika mengenakan jubah tersebut penderita kusta itu langsung sembuh dan sambil berlari-lari mengejar Filipus ia berteriak “Oh, orang kudus, berkenanlah menunggu saya, supaya saya dapat berterimaksih kepadamu!” ketika Filipus melihat orang yang tadinya kusta itu dan sudah sembuh, ia berkata kepadanya “muliakanlah Allah Bapa dan pergilah dalam damai, tetapi jangan katakan apa yang sudah terjadi ini kepada siapapun!”
2.5. Masa Kepemimpinan Filipus dan Situasi Gereja abad XIII
Ada dua peristiwa penting terjadi pada tahun 1215 dan 1274. Pada tahun 1215 di bawah bimbingan Paus Inosensius III, Konsili Lateran diselenggarakan. Pada tahun 1274 dibawah bimbingan Paus Gregorius X Konsili Lyon diselenggarakan.[10] Antara dua tahun bersejarah itu muncul Ordo Dominikan dan Fransiskan. Apa alasan kedua konsili tersebut begitu penting dalam sejarah Ordo Hamba-hamba Maria? Di antara banyak hal yang didiskusikan selama Konsili Lateran ke- IV, selain perlawanan terhadap ajaran sesat, konsili tersebut membahas suatu topic yakni untuk mengurangi jumlah komunitas religius yang muncul dalam jumlah yang sangat besar dalam Gereja Katolik.[11]
Kebijakan unificatrice dari Paus Inosensius III hanya bisa ditolerir melalui para Kuria untuk mengontrol gerakan-gerakan religius tersebut. Lagi pula, hukum Kanonik no. 13 sesuai ketentuan Konsili Lateran ke-IV menyatakan secara imperative bahwa barang siapa baik secara individu maupun kelompok, ingin memeluk hidup religius ia harus memilih Ordo-ordo yang sudah ada dan telah disyahkan oleh otoritas Gereja: apabila seseorang atau sekelompok orang ingin membangun sebuah komunitas baru, jadi ia harus meneladani aturan yang sudah ada, artinya Regula Santo Agustinus atau Regula Santo Benediktus untuk umat Timur (Oriental) harus menggunakan Regula dari Santo Basilius.
Tentu saja keputusan tersebut bukan hanya menempatkan satu institusi religius di bawah ordo yang sudah eksis, melainkan juga merupakan kesulitan besar bagi Ordo baru untuk masuk dalam Gereja Katolik. Hal ini sengaja dibuat untuk menghapus institusi-institusi yang berlabel “baru” supaya tidak dikenal dan diakui Gereja. Meskipun demikian, setelah konsili Lateran ke-IV, masih tetap muncul gerakan-gerakan religius dan sebagian besar di antaranya menggunakan pedoman atau regula dari Santo Agustinus dan Santo Benediktus. Seperti yang ditegaskan sebelumnya bahwa pengesahan dari otoritas eklesial Kuria Roma juga tidak salah, dan hal ini dilakukan sejak tahun pertama berdirinya Ordo Hamba-hamba Maria (OSM). Beruntung Paus Inosensius III diganti, sehingga muncul keputusan-keputusan baru, dan OSM pun selamat dari ancaman pemusnahan itu, meski sebelumnya harus melewati kenyataan pahit. Bagaimana selanjutnya? Apakah dengan peristiwa itu adalah menjadi jaminan untuk Ordo Hamba-hamba Maria dapat menarik napas bebas?
Ketika konsili di Lyon di bawah bimbingan Gregorius X, “ bangkit dari debu keputusan ” no. 13 Konsili Lateran ke- IV secara keras dan takterbantahkan. Setelah dibahas kembali, konsili lalu menyimpulkan bahwa bukan hanya dilarang keras mendirikan Ordo baru, tapi juga semua Ordo yang dibangun setelah tahun 1215 tidak diperbolehkan menerima calon baru lagi dan dibiarkan begitu saja. Menurut hasil keputusan konsili tersebut semua Ordo yang muncul setelah tahun 1215, meskipun telah mendapat izin resmi dari Tahta Suci; sekali lagi itu berarti tidak terkecuali Ordo-ordo yang mewartakan kemiskinan dan bermatiraga “ incerta mendicita ” artinya yang bertahan hidup dari sedekah yang diberikan orang. Inilah kenyataan yang buruk dihadapi Ordo Hamba-hamba Maria (OSM). Menanggapi aksi kemiskinan yang dikeluarkan pada tahun 1213 sebelumnya, para anggota Ordo telah mengabaikan semua penghasilan mereka serta kekayaan yang mereka miliki (untuk menghayati hidup miskin).
Kali ini lebih berat ketimbang apa yang diputuskan dalam Konsili Lateran ke-IV. Tambahan pula bahwa ketentuan baru ini memiliki banyak pengecualian. Sesungguhnya, meskipun ciri khas dari Ordo mendikan yang dibahas dalam konsili Lyon ke II termasuk saudara- saudara Dominikan dan Fransiskan.[12] Tetapi kedua Ordo ini dengan tegas mendapat kelakuan baik/ mendapat keistimewaan dari hasil Konsili. Sebagaimana hasil Konsili yang tidak memperhitungkan semua Ordo mendikan yang baru lahir, secara teoritis Ordo Hamba-hamba Maria terancam punah.
Dalam daftar Ordo-ordo yang akan dihapus, penulis kronik pada masa itu mencantumkan juga nama Ordo Hamba-hamba Maria. Bagaimana pun, satu hal yang pasti bahwa Ordo Hamba-hamba Maria saat itu masuk dalam tahap krusial dalam sejarahnya.[13] Secara manusiawi, mereka berhasil menyelamatkan diri dari ancaman penghapusan itu, berkat semangat, ketangkasan dan keberanian dari prior Jendral Filipus Benizi seorang biarawan asal Florense.
2.6. Gerakan Perubahan
Pada abad XIII terutama dengan munculnya kepputusan yang diambil Gregorius X dalam konsili di Lyon membuat rung gerak Ordo terhimpit, terancam punah. Ditengah kepenatan, kebingungan Filipus Benizi menemukan sebuah langkah kecil setelah keputusan Konsili Lyon ke–II, yang menghapus ordo-ordo mendikan yang didirikan dalam kurun waktu enam puluh tahun terakhir. Ada sebuah bisikan intuitif yang mengabarkan bahwa inilah waktunya untuk Ordo Hamba-hamba Maria. Rupanya kita hanya menunggu waktu tak terduga terjadi. Inilah yang dialami oleh para biarawan OSM. Peristiwa yang tidak terduga yang pertama adalah kematian beruntun para Paus, setelah Konsili Lyon ke-II. Gregorius X yang ( memiliki wewenang mengambil keputusan pada konsili tersebut) menggagas Konsili tersebut serta mengaplikasikan berbagai keputusan, meninggal pada tahun 1276, bahkan sebelum masuk Roma setelah sidang Lyon. Penggantinya Inosensius V menjabat beberapa bulan saja, penerusnya adalah Yohanes ke XXI tinggal di Tahta Santo Petrus selama satu tahun. Nikolaus III lalu naik Tahta dan berlangsung hanya tiga tahun, diteruskan oleh Martinus IV selama empat tahun diteruskan lagi oleh Honorius IV selama dua tahun, diteruskan oleh Nikolaus IV selama empat tahun, selanjutnya diiteruskan selama Sembilan bulan oleh Paus Bonifasius VIII dan akhirnya pada masa Paus Benediktus XI meski masa kepemimpinannya begitu singkat tapi beliau yang menentukan Ordo Hamba-hamba Maria menhirup udara baru dan menerbitkan sebuah bulla Dum Levamus untuk meresmikan secara definitive Ordo Hamba- hamba Maria tepatnya pada tanggal 11 Februari 1304.
Il seme gettato da Filippo per salvare l'Ordine dalla condanna a morte decretata dal Concilio Lionese II, fruttificò sotto il suo successore Lotaringo da Firenze. Ed infatti, ad un solo anno dalla morte di Filippo, cominciò una nuova serie di «pareri» favorevoli degli avvocati della curia romana, che contribuiranno a sbloccare definitivamente la situazione, portando l'Ordine in zona di sicu- rezza ed avviandolo ormai, senza ulteriori seri intralci, verso la sua definitiva approvazione da parte della s. Sede. Questa lunga e laboriosa controversia aveva avuto certamente un suo prezzo. Come si è detto, l'«atto di povertà» del 1251 era stato incorporato nella bolla che papa Alessandro IV aveva desti- nato all'Ordine nel 1256. Ebbene, nei riconoscimenti ottenuti dal- la s. Sede nel periodo compreso tra il 1274 ed il 1304 non si fa mai menzione di quell'atto di povertà.[14]
Seorang sejarawan OSM hidup pada abad XVI mengatakan bahwa Filipus bisa jadi mengundang semua Prior OSM dan para penanggungjawab Ordo ke Monte Senario sebelum membuat keputusan yang tepat dalam suasana genting ini yang menentukan arah perjalanan OSM selanjutnya melalui pertemuan bersama. Pada kesempatan inilah Filipus sekaligus menetapkan sebuah rangkaian doa yang secara istimewa didedikasikan kepada Bunda Maria, Ibu yang menjadi panutan para Hamba-hamba Maria hingga hari ini. rangkaian doa yang dimaksudkan ialah Benedicta tu, diambil dari bahasa Latin dalam antiphon pembuka yang hari ini disebut sebagai Vigilia de Domina atau Ibadat Berjaga-jaga. Menurut Legenda de Origine, Filipus Benizi Filipus dalam mempertahankan Ordo, ia juga berhasil dalam aneka inisiatif lainnya, yang kemudian disebut inisiatif indirect.
2.7. Menjadi Duta Perdamaian
Baik di kota Florense[15] maupun di kota Forli, Filipus juga dikenal sebagai duta damai. Ia juga dipuji Paus atas Pelayanannya. Ia kemudian diutus untuk bemisi ke Forli. Di Forli ia tinggal di Biara OSM di Forli, saat itu kota Forli sedang dalam situasi konflik yakni pemberontakan terhadap kepausan (Paus Martinus IV).
Si tenga inoltre presente che, tra i cardinali del sacro Colle. ad esempio, Ottobono Fieschi, che divenne papa Adriano V, an- gio, non mancavano quelli legati da sincera amicizia ai Servi coe che se la morte lo colse prima ancora dell'incoronazione. Secondo la Legenda de origine ed altre fonti autorevoli, l'azio. ne di Filippo Benizi per la sopravvivenza dell'Ordine si valse an che di iniziative che potremmo chiamare indirette: fu uomo ce a Firenze ed a Forlì, meritando l'apprezzamento dei legati del papa i quali benemerenze. La missione forlivese ebbe un risvolto memorabile. Filippo si recò al convento di Forlì nel periodo in cui la città romagnola era colpita dall'interdetto di Martino IV (26 marzo 1282 - 1 settem- bre 1283). Predicando alla cittadinanza, Filippo l'invitò a ritornare sotto l'obbedienza al papa. Non tutti però ascoltarono l'invito; un gruppo di animosi mise in mezzo, come suol dirsi, il santo, lo percosse e lo costrinse a lasciare la città. Tra questi esaltati era il giovane Pellegrino Laziosi, che si pentì presto della bravata fino a chiedere di entrare nell'Ordine dei Servi, per diventare poi il pa- trono molto amato ancor oggi della città di Forlì. Il convento che attualmente ne porta il nome nella città romagnola e ne conserva le reliquie è un gioiello di memorie, soprattutto dopo i recenti ed attentissimi restauri. La situazione di incertezza andava risolvendosi molto lenta- mente e Filippo era costretto a frequenti viaggi a Roma.[16]
Di tengah keganasan situasi konflik tersebut Filipus tetap berani menjalankan misinya. Ia lalu berupaya meredakan situasi dan agar orang-orang di Forli lekas berdamai dengan Paus melalui khotbah- khotbahnya. Namun tidak ada yang peduli dengan ajakannya. Ia malahan dipukuli, dicemooh serta diusir dari kota. Salah seorang dari kelompok yang memukuli Filipus adalah Peregrinus Laziosi seorang pemuda asal kota Forli. Pemuda tersebut dikemudian hari bertobat, lalu menggabungkan diri untuk menjadi seorang biarawan OSM yang kini dikenal dengan Santo Peregrinus Laziosi sebagai pelindung kota Forli dan pelindung para penderita sakit kanker.
3. Gereja dan Panggilan Hidup Bakti
Dalam Gereja (katolik) dikenal istilah panggilan hidup bakti atau selibat. Hidup bakti atau selibat bukan pertama-tama dipahami seperti sekte, seolah mereka yang menyandang predikat hidup selibat terpisah dari Gereja. Kata hidup bakti atau selibat mengacu kepada mereka yang membaktikan diri secara khusus melayani Tuhan dengan tidak menikah baik laki- laki maupun perempuan. Mereka adala orang-orang yang peka akan bisikan suara Tuhan sehingga menyediakan diri, menyatakan kehendak-Nya di tengah zaman dan situasinya masing-masing.[17] Pada umumnya mereka menerima dan sekaligus mengikrarkan tiga kaul; ketaatan, kemiskinan, kemurnian. Lantas apa tujuan dari masing- masing kaul tersebut? Baiklah secara sekilas arti dan makna dari ketiga kaul.
Pertama, kaul ketaatan. Mengikuti konsep ketaatan dari Santo Agustinus, ketaatan yang di maksud ialah ketaatan kepada pemimpin; “taatilah pemimpinmu bagaikan seorang bapak. Jikalau tidak demikian anda bersalah terhadap Tuhan dalam diri pemimpin”.[18] Kedua, kaul kemurnian atau kaul keperawanan. Artinya bahwa ungkapan totalitas diri pada rencana dan kehendak Tuhan. Kaul keperawanan, kemurnian dimaksudkan untuk ungkapan seutuhnya bagi Tuhan, dipersembahkan secara khusus untuk-Nya (Mat. 19:11- 12) semata- mata demi Kerajaan Surga.[19]
Kelompok hidup bakti tetap merubakan bagian dari persekutuan Gereja. Kehadiran hidup bhakti menjadi kekayaan spiritual dalam Gereja katolik. Kaum selibat mengemban tugas yang agak berbeda dari anggota Gereja lainnya terutama terkait intensitas karya pewartaan. Dalam vita consecrate no 32 menegaskan;
Dalam keseluruhan laras- serasi kurnia- kurnia itu, masing- masing dari status hidup yang mendasar itu diserahi tugas mmewartakan Kristus. hidup sebagai awam mempunyai misi khusus mengusahakan agar amanat Injil diwartakan dalam lingkup duniawi. Sedangkan dalam lingkup persekutuan gerejawi pelayanan yang mutlak perlu dilakukan oleh mereka yang ditahbiskan, dan secara khusus oleh para Uskup. Mereka bertugas membimbing umat Allah dengan mewartakan Sabda, menerimakan sakramen- sakramen dan menggunakan kuasa kudus dalam melayani persekutuan gerejawi, yang merupakan persekutuan organis dan berstruktur hirarkhis.[20]
Hidup bakti merupakan jalan menuju kekudusan, karenanya dalam hidup bakti Kristus menjadi teladan unggul yang dipegang teguh. Dengan begitu panggilan hidup bakti memuat nilai- nilai Injili dan sekaligus menjadi ungkapan sempurna hidup Gereja, yakni kekudusan umat manusia. Hidup bakti mewartakan dan dalam arti tertentu mengantisipasi jaman yang akan datang, bila kepenuhan Kerajaan Allah yang sudah hadir dalam buah- buahnya pertama dan dalam misteri akan tercapai, dan bila putera-puteri kebangkitan tidak lagi beristeri atau bersuami, tetapi akan menjadi bagaikan malaikat-malaikan Allah.[21] Gereja selalu mengajarkan keunggulan kemurnian yang sempuna demi Kerajaan Allah, dan tepatlah memandangnya sebagai “pintu” seluruh hidup bakti.[22]
Gereja memandang suci pada panggilan hidup bakti. Sejatinya hidup bakti bukan hanya untuk kekudusan dirinya semata, tetapi juga memperhatikan kekudusan orang lain juga serta keselamatannya. Lantas bagaimana dengan hidup berkeluarga? Keluarga- keluarga juga memiliki peran dalam hidup dan kesucian Gereja. Bahwa kaum hidup bakti lahir dari keluarga- keluarga. Hidup keluarga tidak beda istimewa kesuciannya dari hidup bakti. Karena itu Gereja juga menjunjung tinggi panggilan hidup berkeluarga, yang menjadikan kedua mempelai saksi serta pendukung kesuburan Bunda Gereja. Mereka menjadi tanda sekaligus juga ikut serta dalam cinta kasih Kristus terhadap mempelai-Nya, sehingga Ia menyerahkan Diri untuknya.[23]
Panggilan hidup bakti dalam Gereja katolik beranekaragam bentuk. Berbagai macam untuk menyebutnya, misalnya Ordo, tarekat religus, serikat, congregasi. Sebutan- sebutan semacam itu tentunnya juga dipengaruhi seiring perjalanan Gereja. Untuk menyebut komunitas- komunitas religius awal umumnya disebut Ordo, setelah itu disusul dengan sebutan kongregasi, lalu serikat, dan seterusnya. Aneka sebutan itu sebetulnya untuk menyebut sebuah kelompok yang apabila dilihat dari tujuan akhir dari semuanya sama, yakni kekudusan dan keselamatan melalui kebaktian hidup selibat. Kaum hidup bakti juga dipanggil untuk mewartakan Kerajaan Allah kepada banyak orang, melayani dan membantu orang- orang sakit dan menderita, berupaya mempertobatkan para pendosa bagi hidip yang lebih baik dan berbaik hati terhadap semua orang.
Suatu tugas kusus hidup bakti ialah mengingatkan umat yang dibabtis akan nilai mendasar injil, dengan memberi kesaksian yang cemerlang dan luhur, bahwa dunia tidak dapat diubah dan dipersembahkan kepada Allah tanpa semangat Sabda Bahagia. Begitulah hidup bakti tiada hentinya memupuk pada umat Allah kesadaran akan perlunya menaggapi dengan kekudusan hidup cinta kasih Allah yang dicurahkan ke dalam hati mereka oleh Roh Kudus (bdk. Rom 5:5), dengan memantulkan perilaku mereka pentakhdisan sacramental, yang terlaksana berkat kuasa Allah dalam Babtis, Krisma, dan Tahbisan.[24]
Filipus telah memberi banyak contoh sikap bagaimana seharusnya dimiliki seorang selibater yakni mengikuti Kristus. Karakter hidup selibatnya ialah suatu upaya dinamis yakni dambaan untuk mencari dan mengalami Allah dalam hidup.[25] Panggilan hidup menjadi pengikut Kristus merupakan panggilan mulia yang darinya orang digiring untuk secaraa personal mengalami sapaan, mengalami pengalaman akan Tuhan dalam hidup. Alasan mengapa hal itu mungkin terjadi, barangkali karena manusia tiada lain adalah ciptaan luhur dari Allah. Bahwa Allah telah menciptakan manusia, sekaligus telah menanamkan dalam dirinya suatu kerinduan dasariah akan Allah, yang telah membuat hidup manusia it uterus resah sehingga manusia bisa sampai bisa menemukan Allah.[26] Singkatnya dinamika dasariah hidup manusia adalah mencari Allah.
4. Dipanggil Untuk Diutus: Belajar dari Filipus Benizi
(Relevansinya Bagi Kaum Selibat Di Indonesia Saat Ini).
Saat ini dunia tengah mengalami beraneka tantangan dan persoalan. Beraneka nama untuk menyebut persoalan tersebut, misalnya pandemi Covid- 19, wabah yang mematikan, persoalan kemiskinan, intoleransi, merebaknya pelaku kekerasan/terorisme, dan masih banyak lainnya. Daftar konflik tersebut merupakan situasi yang dialami manusia terutama di Indonesia. Indonesia merupakan Negara yang pluralis, memiliki keragaman budaya, agama, suku, dan seterusnya. Lantas sejauh mana peran para pewarta Sabda atau para biarawan, biarawati, kaum tertahbis dengan penuh mewartakan tentang Injil Kristus bagi Gereja Indonesia? Dibawah ini akan diuraikan beberapa persoalan yang relevan dengan persoalan yang pernah dialami Filipus pada zamannya. Teladan hidup Filipus dan penerapannya dalam konteks situasi di Indonesia.
4.1. Ancaman Terorisme
Diskursus mengenai terorisme bukan hal baru. Pengaruh denominasi terorisme menggerogiti tatanan dunia. Dunia internasional menjadikan pemberantasan terorisme sebagai salah satu agenda yang penting untuk dibahas. Tindakan terorisme merupakan sebuah pelanggaran moral.[27] Lebih dari itu terorisme juga memiliki motif religius. “Bin Laden’s messages portray terror as the response of the powerless and oppressed peoples to the arrogance of the mighty and as the righteous punishment for their arrogance.”[28] Kalau demikian ketika terorisme mengandung unsur agama: bukankah agama mesti mampu memberikan edukasi yang baik bagi pemeluknya dan bukan yang sebaliknya? Agama semestinya sebuah kuasa yang menyembuhkan, melindungi dan menyelamatkan. Bukan sebaliknya malah membasmi secara membabi-buta orang berkeyakinan lain, merampas hak hidup orang lain. Sikap demikian tentu tidak berkemanusiaan, minimnya sikap toleransi atau menghargai perbedaan.
Secara real praktis Filipus tidak secara langsung berhadapan dengan para teroris pada masanya. Tetapi baik untuk disimak peristiwa saat ia diutus Kepausan bermisi di kota Forli yang mana saat itu ada banyak kelompok-kelompok agresif dan ekstrim menolak Paus. Dengan bermodalkan kaul ketaatan dan komitmen dengan panggilannya sebagai imam OSM, ia berani hadir di tengah- tengah Gereja dan orang banyak yang hadir lalu menyuarakan perdamaian. Perdamaian merupakan prioritas Filipus bermisi ke kota Forli.
Situasi serupa terjadi di Indonesia? Apa tindakan yang diambil oleh para pewarta Sabda Allah dalam menyikapi situasi konflik di tanah air? Dalam beberapa waktu belakangan ini, Gereja Indonesia dikejutkan dengan peristiwa-peristiwa yang miris yang mengancam eksistensinya. Peristiwa pemboman gedung Gereja di Surabaya misalnya, yang sedikitnya menyebabkan 13 orang meninggal dan puluhan menderita luka.[29] Tragedy pemboman gereja Oikumene Samarinda yang menyebabkan 4 orang terluka.[30]Masih ada peristiwa lain terkait aksi teroris di Indonesia. Tragedi itu tentu saja budaya maut yang berikhtiar melenyapkan kelompk lain. Dampak dari peristiwa itu kehadiran atau keberadaan Gereja Indonesia seakan terancam. Filipun Benizi sendiri saat bermisi ke Forli ia dihadang oleh sekelompok pemuda lalu memukulinya. Ironis bahwa konteks perutusan bermaksud menyiarkan perdamaian, tetapi yang didapat ialah penolakan dan bahkan penganiayaan atas dirinya. Hal serupa terjadi Indonesia, apabila ada orang yang berkoar- koar menyuarakan perdamaian, dalam hitungan waktu ia pasti akan diamankan.
Filipus Benizi saat mengalami penganiayaan ia tidak melawan, tapi sebaliknya ia mengingatkan salah seorang pemuda yang bernama Peregrinus, jangan kamu hanya menampar pipi kananku saja, tetapi tampar juga kiriku. Alhasil sikap kerendahan hatinya itu membuahkan hasil yang memuaskan, Peregrinus lalu bertobat dan mengikuti jejak Filipus untuk menjadi seorang biarawan dalam OSM. Yesus sendiri mengajarkan kepada pengikut-Nya; apabila ada yang menampar pipi kananmu, berilah juga pipi kirimu, dan bukan sebaliknya. Yesus Kristus sendiri juga mengajarkan mengenai cinta kasih. Bahwa mencintai Allah dengan segenap jiwa, pikiran dan hati. Akhirnya jalan lain yang perlu untuk dilalui oleh segenap jemaat ialah membaktikan diri dalam hidup berdevosi kepada Bunda Maria. Melalui Maria menuju Yesus.[31] Kasih dapat melanggengkan hidup berbangsa, dan bernegara selain jalan kasih sebagaimana diajarkan Yesus Kristus sendiri. Pelayanan dan pewartaan menjadi sarana menegakkan sikap toleransi bagi Gereja Indonesia.
4.2. Ancaman Pandemi Covid-19
Dipenghujung Desember 2019 dunia umumnya dan China khususnya dikejutkan dengan munculnya pandemi yang dikenal dengan sebutan Covid-19. Covid-19 merupakan wabah mematikan yang hingga saat ini menyusup hampir seluruh dunia termasuk juga Indonesia. Kehadiran covid-19 di Indonesia melahirkan krisis baru. Tidak sedikit orang mengalami kecemasan, ketakutan, akibat wabah yang yang membawa kematian. Banyak orang menderita akibat covid-19.[32] Pengaruh lainnya berimbas pada soal ekonomi, politik, agama. Dalam konteks hidup agama, kemunculan pandemi mencetuskan aneka refleksi dan tafsiran. Bagi Gereja katolik fenomena ini menjadi tantangan juga. Bahwa krisis hidup sosial mesti diupayakan mencari jalan keluar. Pelaku pastoral ikut ambil bagian membantu mereka yang terkapar pandemi.
Dampak lain juga mengenai peran dan kehadiran Tuhan yang diyakini. Kehadiran covid disatu sisi mendatangkan dampak negative, sebagai malapetaka, kematian[33] disisi lain mendatangkan dampak positif yakni perubahan perilaku manusia. Masyarakat dunia menjadi lebih serius menanggpi pesan kesehatan masyarakat.[34] Bagi kaum selibat, situasi ini menjadi ujian sejauh mana daya kepekaan itu ada. Pandemi seperti membangunkan kita dari kenyamanan hidup sebagai religius dan bergerak keluar menyapa, melayani mereka yang terdampak pandemi. Sama halnya Filipus ketika menjumpai seorang Sakit, ia bersedia memberikan jubahnya untuk diberikan kepada si penderita. Filipus merasa tergerak hatinya oleh belaskasihan. Sebagai pengikut Kristus kita semestinya belajar dari Filipus untuk membantu, menolong sesama yang menderita.
4.3. Arus Modernisme
Kemajuan dunia dibidang teknologi komunikasi (impak dari modernisme) merupakan fakta yang mesti diterima dan diakui secara eksistensial. Tentu dalam konteks Gereja atau bidang pastoral praktis kehadiran media justru memberikan kontribusi terutama dalam berkarya atau berpastoral, misalnya katekese online melalui media sosial (youtube, whatsapp, facebook, dll), untuk sosialisasi tentang nilai-nilai iman. Dengan begitu karya reksa pastoral Gereja justru akan menyentuh bagi semua kalangan termasuk kaum milenial. Emeritus Benediktus XVI pada hari Komunikasi Sedunia ke-44 tanggal 16 Mei 2010 pernah berkata:
“Komunikasi digital adalah suatu bidang pastoral yang peka dan penting, yang memberikan kemungkinan baru bagi para Imam dalam menunaikan pelayanan kegembalaannya demi dan untuk Sabda. Menyangkut kita semua di zaman globalisasi seperti sekarang, kita adalah konsumen dan operator komunikasi sosial. Menggunakan teknologi baru merupakan hal yang perlu dalam menjawab secara tepat tantangan-tantangan yang dirasakan kaum muda di tengah pergeseran budaya masa kini. Dengan demikian Sabda Allah dapat berjalan melintasi berbagai persimpangan dan menunjukkan bahwa Allah memiliki tenpat-Nya yang tepat pada setiap zaman, termasuk di zaman kita ini.”[35]
Gereja mesti menumbuhkan dalam dirinya sikap keterbukaan akan kemajuan dunia. Dengan sikap terbuka terhadap perkembangan zaman, Gereja dan karya pewartaannya akan menjadi Gereja yang misioner dab berdaya pikat.[36] Santo Filipus Benisi telah menunjukkan itu. bahwa ditengah tantangan sosial terutama mentalitas yang suka untuk menerima jadi atau instant harus menumbuhkan kepekaan dan kesadaran untuk berusaha. Menjadi pengikut Kristus tentu juga mesti mengalami kesulitan.[37] Arus modernisme bukanlah tembok yang menghalangi daya kreativitas kita sebagai pewarta Sabda Sukacita Kristus. Tentu disertai dengan sikap kritis dan selektif. Kritis-selektif memaksudkan melihat perkembangan secara mendalam, menggali motif-motifnya sehingga apabila menemukan sesuatu yang menyimpang dengan ajaran iman akan ditolak. Sebaliknya kemajuan yang punya intensi membantu menumbuhkan pertumbuhan dan perkembangan iman bisa dipakai sebagai sarana pewartaan iman.
4.4. Membawa Perdamaian
Indonesia sebagai suatu bangsa memiliki Pancasila sebagai falsafah hidup. Sebagai falsafah hidup, pancasila memainkan peran dalam menggerakkan roda pedamaian hidup berbangsa dan bernegara. Kekuatan pancasila sebagai falsafah, cita-cita, nilai terpatri pada kepadatannya yang memuat aspek-aspek pokok kehidupan yakni: Ketuhanan, kemanusiaan, kesatuan, permusyawaratan dan keadilan. Kelima aspek tersebut merupakan tonggak atau benteng hidup bagi bangsa Indonesia. Namun hingga hari ini persoalan dan konflik masih menunjuk rupa dengan beragam bentuk. Krisis tatanan sosial masih terlihat jelas dalam fenomena yang terjadi dihari-hari ini (koflik berbau agama, terorisme, tindakan kekerasan).
Selain sebagai wilayah politis Indonesia juga merupakan ladang misi bagi para misionaris. Sebagai tempat misi pewartaan iman kristiani, Indonesia memiliki tantangan tersendiri terutama mengenai kemajemukan yang meliputi bahasa, budaya, agama, etnis atau suku. Namun menjadi murid Kristus berarti siap untuk memikul salib hidup yakni penderitaan. Sebagaimana dikatakan Rasul Paulus “bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan (Flp 1:21)”. Demikian juga halnya Filipus ketika diutus untuk meredakan konflik di kota Forli, ia mengalami penolakan bahkan dipukul. Tapi ia tidak putus asa, melainkan ia justru berdoa agar para pelaku criminal lekas bertobat. Akhirnya satu dari anggota yang memukulnya yakni Peregrinus bertobat bahkan menyerahkan diri untuk mengikuti Kristus melalui OSM.
Dalam konteks pewartaan dan hidup sebagai pengikut Kristus (sebagai rohaniwan, biarawan/ biarawati) di Indonesia mengikuti teladan hidup Santo Filipus, maka beberapa hal penting untuk dipelajari.
Pertama, kerendahan hati. Salah satu karakteristik Filipus adalah kerendahan hati. Dalam hal pengetahuan, Filipus adalah seorang terpelajar bahkan ia menyandang studi filsafat, teologi dan kedokteran. Namun motifasi awal masuk biaranya adalah ingin menjadi Bruder. Mengapa Bruder? Pada masanya Bruder diperuntukan bagi mereka yang tidak memiliki kapasitas yang memadai dalam hal belajar,pengetahuan dan berkhotbah. Tetapi setelah diketahui oleh anggota komunitas akan kecerdasannya, dia lalu diusung menjadi imam. Demikian dia juga menjabat pemimpin umum OSM pada waktu yang lama. Bukan karena ia krasan dan ingin menjadi pemimpin, melainkan karena dipercayakan oleh para frater karena dedikasi dan totalitas pelayanannya. Filipus menyadari hakikatnya sebagai ciptaan Allah yang kosong atau berada dalam ketelanjangan[38] yang harus dibalut rahmat Tuhan sendiri.
Tuhan sendiri bersabda; apabila engkau diundang, pergilah duduk ditempat yang paling rendah (bdk. Luk 14:10). Hal yang mau disampaikan oleh Tuhan sendiri ialah kerendahan hati. Agar saat tuan pesta datang ia mempersilakan kita untuk duduk di depan, dengan begitu kita menerima hormat diantara tamu. Sebab barang siapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan (Luk 14:11).
Kedua, hidup doa. Sebagai pengikut Kristus (biarawan/ imam) Filipus tekun dalam hidup doa, matiraga, askese. Doa menjadi senjata spiritualnya melawan segala kemunkinan hasrat kejahatan yang setiap kali menggodanya. Ketika dia melakukan visitasi ke komunitas di Prancis yang sedang dalam krisis kekurangan makanan, setelah ia berdoa mukjizat adanya roti. Selanjutnya salah satu mata air yang sekarang dikenal dengan sebutan bagni di Filipe merupakan mata air yang muncul secara ajaib setelah ia berdoa lantaran ia bersama beberapa frater yang kelelahan dan tidak mendapatkan air.
Kisah lainnya ialah pertobatan Santo Peregrinus adalah buah doa Filipus. Bagi kaum terpanggil diera milenial saat ini, hidup doa adalah akses masuk untuk mengalami relasi dengan Tuhan sendiri. Hingga Filipus kemudian merumuskan sebuah rangkaian doa kepada perawan Maria yang hingga saat ini dikenal dengan sebutan Benedicta tu atau Vigilia de Domina yang berarti Ibadat berjaga-jaga. Bercermin dari Filipus kita saat ini juga dipanggil dalam hidup kekudusan melalui doa-doa, devosi-devosi agar hidup rohani senantiasi bertumbuh.
Hidup doa menyingkapakan suatu relasi manusia dengan Tuhan yang beraoma kasih dan kemesraan.[39] Ketiga, keberanian. Tidak sedikit kaum yang secara khusus dipanggil untuk mewartakan kabar Sukacita Injil memilih serta memilah tempat mana yang bisa ia layani atau bersedia bertugas ditempat yang dirasa aman dan menolak bermisi ditempat rawan konflik. Artinya keberanian itu tidak ada. Takut ambil resiko. Pengalaman misi perdamain Filipus di Forli menampilkan sikap kesediaan rela menderita demi pewartaan perdamaian. Salah satu tugas pewartaan ialah menebarkan panji perdamain Kristus bagi dunia. Demikian dalam konteks Indonesia yang adalah bangsa yang majemuk. Hidup rukun dan damai adalah cita-cita dan menjadi kerinduan bersama dan bukan perang dan konflik. Dipanggil berarti siap untuk diutus. Diutus untuk menebarkan Kerajaan Allah, agar semua orang sungguh menyadari, mengalami pengalaman akan Allah dalam dan melalui mereka yang secara khusus dipanggil untuk tugas pewartaan Sabda Allah.
5. Penutup
Perdamaian dan konflik bagai dua sisi dari satu keping mata uang. Dalam setiap jaman, setiap masa tertentu memiliki situasi dan persoalan tersendiri. Pada awal Gereja persoalan yang dijumpai ialah orang-orang Yahudi yang memandang umat kristiani sebagai sekte baru, lalu ketika Gereja masuk ke daerah Yunani, pola pemikiran filsafat menjadi persoalan Gereja. sebelum awal abad pertengahan (abad XIII) masa Filipus, Gereja katolik berhadapan dengan pesoalan kemunculan sekte-sekte ajaran sesat, kelompok-kelompok atau gerakan hidup religius berkembang pesat. Otoritas Gereja lalu berupaya untuk menghindari kemungkinan kemunculan biara-biara baru (dengan hanya meresmikan Ordo dominikan dan Fransiskan sebagai biara yang diakui secara resmi) akibat kecurigaan terhadap praktek-praktek yang tidak jarang menyimpang dari ajaran Gereja. OSM sebagai sebuah Ordo juga mengalami ancaman kepunahan yang kemudian diatasi dengan kerja keras Santo Filipus Benisi. Dalam Ordo Filipus Benisi dianggap sebagai bagian dari kumpulan para pendiri. Filipus sendiri memiliki karakter kerendahan hati, hidup doa (devosi kepada Bunda Maria) yang tekun, memiliki keberanian dalam mewartakan Kabar Sukacita Injil kepada semua orang.
Daftar Pustaka
Banno, Antony, Ikutilah Aku. Yogyakarta: Kanisius, 2009.
Benassi, Vincenzo, Dias J. Odir, Faustini Faustin, I Servi di Maria Breve Storia Dell’ Ordine, Roma: Le Mission Dei Servi Di Maria, 1984.
Bessutti, Giuseppe, Saint philippe Benizi. Que’bec: Education Chretienne Populaire, 1985.
Cahyadi, Krispurwana,Teresa dari Kalkuta. Yogyakarta: Kanisius, 2010.
Candido, De Luigi, Il Cammino Dei Servi Di Maria, Vicenza: Servitium editrice, 2001.
Carolus, Putranto, Dihimpun Untuk Diutus. Yogyakarta: kanisius, 2019.
Fonseca, Michael, Hidup dalam Dekapan Kasih Allah. Jakarta: Obor, 2005.
Hardawirjana, R. Vita consecrata. Seri Dokumen Gerejawi no. 51. jakarta: departemen dokumentasi dan penerangan KWI. 1996.
Inocentio (penerj). Augustinus dari Hippo, Regula Untuk Persekutuan, Yogyakarta: Kanisius, 1984.
Irawan, Bagus Al. (Ed), Gereja Misioner yang Diterangi Sabda Allah. Yogyakarta: Kanisius, 2011.
Leteng, Hubertus, Spiritualitas Pertobatan. Jakarta: Obor, 2010.
Mardi, Prasetyo, Mudji Sutrisno, dan Sugino (penerj), Kaul Harta Melimpah Dalam Bejana, Yogyakarta: Kanisius, 1984.
Moi, Djono A. Alberto. Hidup dalam hening. Yogyakarta: Pustaka Nusatama, 2020.
Musakabe ,Herman, Bunda Maria Pengantara Rahmat. Bogor: Citra Insan Pembaru, 2005.
Riyanto, Armada, Menjadi-Mencintai. Yogyakarta: Kanisius, 2013.
Setiawati, Yuni Veronika (Penerj), Ibadat Harian OSM, Malang: Komunitas Tujuh Bapa Pendiri, 2019.
Wijanarko, Robertus Dan Saptowidodo, Adi (ed). Seri Filsafat Teologi Widya Sasana, Vol. 20 No. Seri 19, 2010. Iman Dan Pewartaan Di Era Multimedia. Malang: Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana, 2010.
Internet:
https://www.halodoc.com/kesehatan/coronavirus. Diakses pada kamis 10/12/2020. Pkl 22:00.
https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-5106402/dampak-positif-dan-negatif-virus-corona-yang-bisa-jadi-pelajaran. Diakses pada kamis 10/12/2020. Pkl 22:30.
https://darisejarah.blogspot.com/2016/07/sejarah-kota-florence-dan-napoli-italia.html. Diakses tgl. 10/12/2020 pkl. 08:56.
[1] Armada Riyanto, Menjadi-Mencintai. ( Yogyakarta: Kanisius, 2013). 150.
[2] Giuseppe Bessutti, Saint philippe Benizi. (Que’bec: Education Chretienne Populaire, 1985), 17.
[3] Severinus Deo, Deo (Penerj), Ordo Hamba-hamba Maria Sejarah Singkat. (Malang: Komunitas Tujuh Bapa Pendiri, 2018) 12-13. (Buku Asli: Les Servites de Marie: Breve histoire de L’Ordre).
[4] https://darisejarah.blogspot.com/2016/07/sejarah-kota-florence-dan-napoli-italia.html. Diakses tgl. 10/12/2020 pkl. 08:56.
[5] Severinus, Ordo Hamba-hamba Maria Sejarah Singkat. 13.
[6] Ibid., 13-14.,
[7] Veronika Yuni Setiawati (Penerj), Ibadat Harian OSM, (Malang: Komunitas Tujuh Bapa Pendiri, 2019). 274. (Buku Asli: Liturgia Delle Ore OSM)
[8] Luigi De Candido, Il Cammino Dei Servi Di Maria, (Vicenza: Servitium editrice, 2001). 21.
[9] Vincenzo Benassi, Odir J. Dias, Faustin M. Faustini, I Servi di Maria Breve Storia Dell’ Ordine, (Roma: Le Mission Dei Servi Di Maria, 1984). 29.
[10] Severinus, Ordo Hamba-hamba Maria Sejarah Singkat. 22.
[11] Ibid.,
[12] Ibid., 23.
[13] Ibid., 24.
[14] Vincenzo Benassi, Odir j. Dias, Faustin M. Faustini, I Servi Di Maria Breve Storia Dell’ Ordine. 29.
[15] Giuseppe Bessutti, Saint philippe Benizi. 39.
[16] Vincenzo Benassi, Odir J. Dias, Faustin M. Faustini, I Servi Di Maria Breve Storia Dell’ Ordine. 28.
[17] Krispurwana Cahyadi,Teresa dari Kalkuta. (Yogyakarta: Kanisius, 2010). 22.
[18] Inocentio (penerj). Augustinus dari Hippo, Regula Untuk Persekutuan, (Yogyakarta: Kanisius, 1984), 50. (Buku asli: Augustinus Van Hippo, Regel Voor De Gemeenschap).
[19] Mardi Prasetyo, Mudji Sutrisno, dan Sugino (penerj), Kaul Harta Melimpah Dalam Bejana, (Yogyakarta: Kanisius, 1984). 94. (Buku asli: I Voti, Un Tesoro In Vasi D’argilla Rifleksioni Psicologico- Spirituali).
[20] R. Hardawirjana (penterj), Vita Consecrata. Seri Dokumen Gerejawi no. 51. (Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI. 1996). 48.
[21] bdk. Mat 22:30.
[22] Hardawirjana. Vita consecrata. 49.
[23] Ibid.,.
[24] Ibid., 50.
[25] Carolus Putranto, Dihimpun Untuk Diutus. (Yogyakarta: kanisius, 2019). 2.
[26] Ibid., 3.
[27] Adrianus Sunarko. Dialog Teologis Dengan Jurgen Habermas. Dalam paul budi kleden dan adrianus sunarko (ed). Dialektika Sekularisasi. (Yogyakarta: Lamalera, 2010). 103.
[28] ibid.,
[29] https://megapolitan.kompas.com/read/2018/05/13/17013221/gubernur-dki-kecam-aksi-bom-bunuh-diri-di-3-gereja-di-surabaya. Di akses pada selasa 02 desember 2020, pukul 12:14.
[30] https://nasional.tempo.co/read/821731/7-tersangka-bom-gereja-di-samarinda-terhubung-dengan-isis/full&view=ok. Di akses pada selasa 02 desember 2020, pukul 12:23.
[31] Herman Musakabe, Bunda Maria Pengantara Rahmat. (Bogor: Citra Insan Pembaru, 2005). 15.
[32] Alberto A. Djono Moi. Hidup dalam hening. (Yogyakarta: Pustaka Nusatama, 2020). 9.
[33] https://www.halodoc.com/kesehatan/coronavirus. Diakses pada kamis 10/12/2020. Pkl 22:00.
[34] https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-5106402/dampak-positif-dan-negatif-virus-corona-yang-bisa-jadi-pelajaran. Diakses pada kamis 10/12/2020. Pkl 22:30.
[35] Errol Jonathans, Era Multimedia: Sebuah Kosmologi Baru. Dalam Robertus Wijanarko Dan Adi Saptowidodo (ed). Seri Filsafat Teologi Widya Sasana, Vol. 20 No. Seri 19, 2010. Iman Dan Pewartaan Di Era Multimedia. (Malang: Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana, 2010). 1-2.
[36] A.M. Sutrisnaatmaka, Misi Gereja Yang Pluralis dan Dinamis. Dalam: Al. Bagus Irawan (Ed), Gereja Misioner yang Diterangi Sabda Allah. (Yogyakarta: Kanisius, 2011). 58.
[37] Antony Banno, Ikutilah Aku. (Yogyakarta: Kanisius, 2009)22.
[38] Hubertus Leteng, Spiritualitas Pertobatan. (Jakarta: Obor, 2010). 44.
[39] Michael Fonseca. Hidup dalam Dekapan Kasih Allah. (Jakarta: Obor, 2005). 57.
No comments:
Post a Comment