Oleh: Sary Dafrossa
Mahasiswa Keperawatan Unika St. Paulus Ruteng
Pagi itu, di depan rumah pak Max sangat ramai. Ada Ema Hanes, om Fabi dan beberapa teman mereka lainnya. Suasananya sedikit kacau, sebab apa pun topik pembicaraan mereka ujungnya ya pasti mengarah ke debat kusir.
Tapi lucu juga sih, sebab perdebatan mereka bisa dikatakan asal bersuara. Dari candaan dan ujungnya mengarah pada penyerangan pribadi. Mata Najwa sekalipun moderatornya, tetap tak kuasa mengendalikan perdebatan mereka sebab maklum mereka hanya bermodal insting dan instan tanpa di dukung oleh daya nalar yang kritis dan cermat.
“Pak Max, kalau saya dan istri saya sudah kompak akan memilih pasangan cabup dan cawabup yang lama. Buat apa memilih yang baru, belum tahu apa-apa”, Ema Hanes berusaha menggiring mereka pada topik Pilkada.
Om Fabi rupanya tidak setuju dengan pendapat Ema Hanes. Matanya menyipit menatap Ema Hanes dengan sinis lalu disusul suara yang sedikit berat, “oh iya, pastinya. Mereka kan sudah tahu seluk beluk uang yang masuk dan keluar, demikian pula jumlah uang yang tertahan di kantongnya semakin mudah diatur”.
Kalau pak Max yang penyanggah pendapat Ema Hanes, suasananya sekejap langsung sepi. Namun, apabila om Fabi yang menyanggahnya, maka akan picu terjadinya perang dunia ketiga. Ema Hanes kemudian melanjutkan percakapannya, “saya tangkap maksud saudara menikmati jalan bagus menuju ibu kota kabupaten, apakah saudara mati rasa?”.
Tentunya itu bukan pertanyaan retoris, maka om Fabi pun serentak menyerang, “Ema, tidak ada salahnya dengan rakyat yang menikmati infrastruktur. Sudah sepantasnya untuk rakyat menikmati jalan yang bagus, air yang bersih, pekerjaan yang layak dan aspirasi rakyat harus didengar. Supaya Ema tahu ya, korupsi yang sudah dilakukan bupati dan wakil bupati sangat banyak dan yang paling kentara itu mereka menyembunyikan ratusan juta uang rakyat di kantong pribadi”.
Ema Hanes mulai naik pitam, “ya.... bagaimana mereka tidak korupsi, orang-orang seperti om Fabi kan sudah menerima amplop sebelum fajar tiba. Kalau orang-orangnya pak Max berani menolak, ya...pasti pemerintah terpilih tidak korupsi, hahahhaha”.
Yah ...perlu dimaklumi. Begitulah psikologi orang yang tidak bersekolah. Ketika mereka berhadapan dengan sesuatu yang bombastis dan emosional, seketika langsung diliputi rasa marah, kesal, dan benci yang berlebihan. Dalam perkumpulan itu, Cuma pak Max satu-satunya yang menyandang gelar sarjana.
Wajah om Fabi tampak memerah, kulitnya yang putih membuatnya makin kentara. Seketika ibu Margaretha istri pak Max pun datang dari dapur dengan membawa serta kopi panas dan sepiring singkong. Setiba di meja, ibu Margaretha menyambar, “om Fabi memang tidak nggak salah pilih, orang amplopnya dilengkapi foto dan nama calon bupatinya”. Kata-katanya terlantun bersama tawa ria, sebab Bu Margaretha merasa lucu dengan debat kusir mereka. “Ayo silahkan diminum”, tambah Bu Margaretha. Bu Margaretha adalah orang Jawa, dialeknya yang meskipun halus tetapi lumayan menyayat hati.
Dengan terpaksa, Pak Max angkat bicara, “praktek politik di kampung kita ini terdistorsi oleh pandangan yang kurang rasional. Singkatnya, orang -orang kita tidak pikir dulu baru nyoblos. Karena sekarang kita yang berhak menunjuk pemimpin. Namun, tuntutannya ialah kita semua harus menjadi pemilih yang cerdas ya bapak-bapak”.
Om Fabi mengerutkan dahi. Ia pun segera memberi tanggapan, “yang bagaimana itu pemilih cerdas ya Pak Max? Saya yakin kita semua sudah berpikir sebelum memilih. Saya memilih untuk ganti Bupati, ya karena mereka lebih kompeten. Partainya saja menjadi salah satu partai yang berkoalisi dengan Presiden. Visi dan misinya benar-benar untuk mengangkat derajat hidup para pertani”.
“Saudara Fabi, Bupati yang sekarang pun punya visi dan misi yang sama loh. Bahkan dia berjuang membangun pengusaha pribumi agar mampu bersaing dengan pengusaha Cina”, sanggah Ema Hanes.
Pak Max mencoba menengahi “siapa pun calon Bupati yang terpilih, pada dasarnya memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk meningkatkan taraf hidup kita. Pertanyaan yang perlu kita jawab adalah, apakah kita sudah siap hidup sejahtera? Pemerintah sudah memberikan bantuan rumah, uang dan lain-lain, tetapi kalau kita rakyat malas-malasan saja yah bagaimana taraf hidup kita meningkat?”..
Om Fabi lanjut bertanya, “bagaimana seharusnya menjadi rakyat, Pak Max?”. “Nah itu pertanyaan yang sangat bagus dan reflektif”, tegas pak Max. “begini bapak-bapak , kita itu harus pandai membaca peluang. Sekarang pemerintah sudah memberikan kita banyak kemudahan dalam bekerja sama dengan pengusaha pribumi untuk penjualan daging.
Nah, bapak-bapak perlu menanam tanaman yang mendukung usaha daging tersebut. Kita di sini memiliki tanah yang subur dan kalau bapak-bapak menanam rumput yang banyak, itu kan mendukung usaha untuk memelihara sapi. Nah, di tempat yang sama juga bapak-baoak bisa menanam kayu yang berharga.
Pemerintahkan sudah membagikan bibit kayu sengon dan kayu jati. Menanam kayu itu seperti menabung dan menanam rumput itu seperti menanam kopi, kemiri dan cengkeh, karena panen daging itu permusim. Jadi kita tidak boleh hanya cerdas memilih dan memilah pemimpin saja, tetapi harus berpikir untuk mendukung program mereka. Itu baru pemilih cerdas bapak-bapak”, jelas pak Max.
Ema Hanes dan Om Fabi terkesima mendengarkan penjelasan Pak Max. Mereka pun menganggukan kepala, meskipun wajah mereka belum menunjukkan kalau mereka sudah paham betul dengan penjelasan Pak Max tadi.
Sambil tersenyum lebar, Ibu Margaretha mengacungkan jempolnya. Rupanya ibu Margaretha memang agak paham dengan penjelasan suaminya. Pagi pun berlalu, setelah menghabiskan minuman dan singkong, Ema Hanes dan Om Fabi pun sepakat untuk pamit.
No comments:
Post a Comment