Oleh: Afri Ampur (Mahasiswa STFT Widya Sasana Malang)
Inpirasiindo.my.id-Umat manusia memiliki proyek besar sepanjang sejarah yakni menemukan kunci kebahagiaan. Sepanjang sejarah, banyak pemikir, nabi, dan orang biasa mendefinisikan kebahagiaan, bukan kehidupan itu sendiri sebagai kebaikan tertinggi. Pada jaman Yunani kuno, ada seorang filsuf bernama Epicurus. Epicurus menjelaskan bahwa menyembah Tuhan itu membuang-buang waktu, bahkan tidak ada eksistensi setelah kematian, dan kebahagiaan merupakan tujuan tunggal kehidupan. Pada waktu itu, sebagian besar orang menolak Epicureanisme, tetapi kini menjadi pandangan baku.
Skeptisisme terhadap kehidupan sesudah kematian mendorong manusia mencari kebahagiaan duniawi. Bagi Epicurus, pencarian kebahagiaan adalah pencarian personal. Sebaliknya, para pemikir modern cenderung melihatnya proyek kolektif. Meskipun tanpa perencanaan pemerintah, sumber daya ekonomi, dan riset saintifik, individu-individu tidak akan bisa jauh melangkah dalam mencari kebahagiaan.
Pada akhir abad ke-18 filsuf Inggris Jeremy Benthan mengatakan bahwa kebaikan tertinggi adalah kebaikan yang dilakukan bagi banyak orang. Benthan juga menyimpulkan bahwa tujuan tunggal negara, pasar, dan komunitas saintifik adalah meningkatkan kebahagiaan global. Para politisi harus menciptakan perdamaian, para pebisnis harus memperkuat kemakmuran, dan para sarjana harus mempelajari alam, bukan demi kejayaan raja, negara, atau Tuhan, melainkan agar Anda dan saya bisa menikmati kehidupan yang lebih bahagia.
Pada tahun 1776, para Bapak Pendiri Amerika Serikat menegaskan hak untuk mencari kebahagiaan sebagai salah satu dari tiga hak asasi manusia yang tak bisa diingkari, selain hak untuk hidup dan hak untuk kebebasan. Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat menjamin hak untuk mencari kebahagiaan, dan bukan hak kebahagiaan itu sendiri. Secara krusial, Thomas Jefferson tidak menjadikan negara bertanggung jawab atas kebahagiaan warganya. Namun, dia hanya berusaha membatasi kekuasaan negara. Hal itu untuk melindungi ruang pilihan privat individu-individu, yang bebas dari pengawasan negara.
Beberapa dekade terakhir visi Bentham diperhatikan lebih serius. Orang semakin percaya bahwa sistem-sistem besar yang dibuat lebih dari seabad lalu untuk memperkuat negara itu sesungguhnya harus ditujukan untuk kebahagiaan dan kesejahteraan para warga sebagai individu. Kita di sini bukan untuk melayani negara, melainkan negara yang harus melayani kita. Hak untuk mencari kebahagiaan yang pada mulanya diangankan untuk mengekang kekuatan negara, tanpa terasa telah berubah menjadi hak untuk kebahagiaan. Seakan-akan manusia membawa hak alamiah untuk bahagia, dan segala hal yang membuat kita kecewa adalah pelanggaran hak-hak dasar kita sebagai manusia sehingga negara harus berbuat sesuatu.
Pada abad ke-20, Gross Domestic Product (GDP) per kapita menjadi tolok ukur untuk mengevaluasi keberhasilan bangsa. Dari perspektif ini, Singapura, yang setiap warganya menghasilkan rata-rata barang dan jasa bernilai $56.000 dalam setahun, merupakan negara yang lebih berhasil dari Costa Rika, yang warganya hanya memproduksi $14.000 setahun. Namun, kini para pemikir, politisi, dan bahkan ekonom menyerukan GDH (Gross Domestic Happiness “kebahagiaan domestik kasar”). Jadi, apa sesungguhnya yang diinginkan orang? Mereka tidak ingin memproduksi. Mereka ingin bahagia. Produksi penting karena memberi basis material bagi bahagia. Namun, itu hanya sarana, bukan tujuan.
Hasil survei terhadap masing-masing negara menunjukkan, masyarakat Costa Rica memiliki tingkat kepuasan hidup lebih tinggi dibandingkan orang Singapura. Apakah Anda akan memilih menjadi orang Singapura yang sangat produktif tetapi tidak puas atau orang Costa Rika yang kurang produktif tetapi puas? Jenis logika inilah yang mendorong manusia menjadikan kebahagiaan sebagai tujuan utama kedua (setelah imortalitas) pada abad ke-21. Jika kelaparan, wabah, dan perang menghilang, jika manusia mengalami perdamaian dan kemakmuran yang belum pernah ada sebelumnya, dan jika harapan hidup meningkat secara dramatis, pasti semua itu akan membuat manusia bahagia, bukan?
Bukan. Di Peru, Filipina dan Ghana-negara berkembang yang menderita akibat kemiskinan dan instabilitas politik-tak sampai 100.000 orang yang melakukan bunuh diri setiap tahun. Di negara-negara kaya dan damai seperti Swiss, Prancis, Jepang, dan Selandia Baru, lebih dari 10 per 100.000 orang mengakhiri hidup mereka sendiri setiap tahun. Pada tahun 1985, Korea Selatan merupakan sebuah negara yang relatif miskin, diikat oleh tradisi ketat dan diperintah oleh rezim otoriter.
Kini, korea selatan menjadi sebuah negara yang memiliki kekuatan ekonomi terkemuka, warganya termasuk yang paling terdidik di dunia, dan menikmati rezim demokrasi yang stabil dan relatif liberal. Namun, kalau pada tahun 1985 sekitar sembilan dari 100.000 orang Korea Selatan melakukan bunuh diri, kini angka tahunan bunuh diri mencapai 16 per 100.000. Hal ini menunjukkan bahwa kebahagiaan bukan terletak pada kemakmuran sebuah negara.
Pada level biologis, baik ekspektasi maupun kebahagiaan kita ditentukan oleh biokimia kita, bukan oleh situasi ekonomi, sosial, atau politik. Menurut Epicurus, kita bahagia ketika merasakan sensasi-sensasi menyenangkan dan terbebas dari yang tidak menyenangkan. Jeremy Bentham berpendapat serupa, bahwa alam melingkupi manusia dengan kekuasaan dua tuan yakni kesenangan dan rasa sakit. Kedua hal ini menentukan apa pun yang kita lakukan, katakan, dan pikirkan. Penerus Bentham, John Stuart Mill, menjelaskan bahwa kebahagiaan tidak lain adalah kesenangan dan kebebasan dari rasa sakit, dan di luar kesenangan dan rasa sakit tidak ada yang baik dan jahat yang berasal dari sesuatu yang lain.
Menurut sains kehidupan, kebahagiaan dan penderitaan tidak lain adalah ragam keseimbangan sensasi-sensasi ragawi. Kita tidak pernah bereaksi terhadap peristiwa-peristiwa di dunia luar, tetapi hanya pada sensasi-sensasi dalam tubuh kita sendiri. Sensasi-sensasi menyenangkan akan cepat reda dam lambat laun akan berubah menjadi sensasi yang tidak menyenangkan. Bahkan, mencetak gol penentu kemenangan dalam final piala dunia tidak menjamin kebahagiaan sepanjang hidup. Faktanya, sensasi-sensasi itu bisa langsung turun. Jadi, seperti apakah kebahagiaan itu?
Aristoteles mengajar dengan baik, bahwa kebahagiaan itu bukan pertama-tama keadaan fisik atau status jiwa. Bahagia merupakan aktivitas manusia. Logika ini menandai kebenaran yang sehari-hari, bahwa kodrat manusia adalah beraktivitas. Kengangguran sebaliknya identik dengan ketidkbahagiaan atau kondisi yang tidak manusiawi. Aristoteles tidak sedang menunjukkan secara persis disposisi bahagia, sebab bahagia adalah identik dengan aktivitas mengejar kebahagiaan itu sendiri.
Logika Aristotelian ini menegur kesempitan cara pandang kebanyakan orang. Bahagia itu bukan sebuah produk, hasil atau ganjaran. Artinya, aktivitas itu sendiri tidak berhubungan dengan sesuatu yang membahagiakan; Kebahagiaan itu bukanlah ganjaran nanti atas aktivitas yang sedang kita jalankan.
Thomas Aquinas sebagai “murid” Aristoteles mengadopsi logika aktivitas ini dengan baik. Aquinas mengatakan jika kebahagiaan identik dengan produk aktivitas virtus (keutamaan) dan bukan kejahatan, maka aktivitas membela dan mengejar virtus adalah aktivitas yang membahagiakan. Bagi Aquinas, keutamaan bukanlah sebuah prestasi melainkan perbuatan berkali-kali dan menjadi sebuah kebiasaan (habitus). Dengan kata lain, kebahagiaan terletak pada aktivitas itu sendiri.
Kebahagiaan adalah aktivitas keutamaan yang harus dikerjakan terus-menerus sepanjang hidup. Jika orang berhenti sekali saja untuk tidak melakukan kebaikan kepada yang lain, dia telah kehilangan momen aktivitas yang membahagiakan. Ia kehilangan kebahagiaan itu sendiri. Saya bahagia ketika melihat istri saya bahagia. Maka, secara terus-menerus, saya membuat istri saya bahagia, agar kebahagiaan saya tidak hilang.
Apakah makna kebagaiaan sebagaimana diuraikan di atas masih relevan untuk konteks saat ini? utarakan pendapat Anda!
ReplyDelete
ReplyDeletesejatinya, Kebahagiaan adalah aktivitas keutamaan yang harus dikerjakan terus-menerus sepanjang hidup.