Iklan

Senja, Kopi, dan Puisi: Kisah Cinta Dito dan Jalia di Ledalero

Thursday, 15 May 2025 | May 15, 2025 WIB Last Updated 2025-05-16T02:56:40Z

 


Oleh: Ryan Arnold

Di sudut tenang kantin Ledalero, ketika sore mulai merekah dalam nuansa jingga, seorang pemuda duduk sendiri dengan secangkir kopi hitam yang masih mengepul. Dito, namanya. Sosok sederhana yang gemar menyeduh kopi dan membiarkannya menua bersama senja. Ia tidak terlalu banyak bicara, tapi tatapannya menyimpan rindu akan segala hal yang tak bisa ia rangkai dalam kata-kata.

Tak jauh dari sana, duduk seorang gadis berjaket abu yang hampir selalu sama setiap harinya. Di hadapannya ada buku puisi—hari ini Aku Ini Binatang Jalang. Esok mungkin Rendra atau Sapardi. Namanya Jalia. Orang mengenalnya sebagai kutu buku yang sulit disentuh percintaan. Cuek, tak peduli rayuan laki-laki, dan tak pernah terlihat berdansa dengan hal-hal manis seperti bunga atau coklat.

Dunia Jalia penuh kata dan keheningan, sementara dunia Dito dipenuhi aroma kopi dan semburat langit senja. Mereka dua semesta yang nyaris tak bersinggungan. Hingga suatu sore, langit menyusun kebetulan dalam warna yang tak biasa.

“Senja hari ini cantik ya?” Dito membuka suara, lebih kepada dirinya sendiri sebenarnya.

Tapi Jalia mendengarnya, dan menoleh pelan.

“Senja selalu begitu. Tapi orang-orang baru menyadarinya kalau hati mereka sedang kosong,” jawabnya, lalu kembali membaca.

Dito terdiam. Senyum tipis menghias bibirnya. Sejak saat itu, ia selalu duduk di dekat Jalia. Bukan karena ingin merayunya, tapi karena ingin mengenal dunia yang begitu sunyi namun memikat. Setiap sore, mereka berbagi ruang dan waktu, walau tanpa banyak bicara.


Hingga pada sore keempat sejak percakapan singkat itu, Jalia meninggalkan secarik kertas di samping cangkir Dito. Ia tidak berkata apa-apa, hanya berdiri dan pergi setelah menutup bukunya.


Dito membuka kertas itu. Isinya, puisi.

---

Ada kopi yang tidak kau minum sampai habis,
seperti kenangan yang tak sempat dituliskan tuntas.
Ada senja yang kau pandangi terlalu lama,
seolah di sana kau temukan jawab dari semua tanya.

Dan aku, mungkin hanya puisi tak selesai,
tapi bersamamu, aku ingin ditulis sampai bait terakhir.


-----

Hari berikutnya, Dito tak menunggu lama. Ia tahu, puisi seperti itu tidak datang dari tangan yang sembarangan. Ia pun membalas. Bukan lewat ucapan, tapi lewat puisi juga—ia selipkan di halaman buku yang dilihat Jalia tinggalkan di bangku kantin.


Puisi bukan hanya tentang kata yang indah,
tapi tentang siapa yang mengucapkannya diam-diam.
Kau datang bukan sebagai kilat atau badai,
tapi seperti gerimis yang lambat namun lekat.
Jalia, jika aku adalah kopi,
maka kau adalah senja yang membuatku hangat—meski pahit.



Sejak saat itu, hubungan mereka tumbuh dalam diam. Tak ada pengakuan, tak ada janji. Hanya kopi yang dibagi, senja yang dinikmati, dan puisi yang ditulis tanpa pamrih. Kadang mereka naik ke Bukit Nilo membawa buku dan termos kopi. Dito menyeduh kopi, Jalia membaca keras-keras puisi dari halaman-halaman yang usang.

Kadang mereka ke Pantai Koka, duduk bersisian, mendengar debur ombak yang seperti irama napas mereka sendiri. Dito tidak pernah menggenggam tangan Jalia, tapi kehadirannya adalah genggaman paling erat yang pernah dirasakan gadis itu.
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Senja, Kopi, dan Puisi: Kisah Cinta Dito dan Jalia di Ledalero

No comments:

Post a Comment

Trending Now

Iklan